Pemetaan Partisipatif

One Map Policy, Solusi Pertumbuhan Ekonomi dan Cegah Degradasi Lingkungan

Mencapai kesejahteraan ekonomi melalui kelestarian lingkungan serta ketahanan pangan, air, dan energi dibahas dalam workshop Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program dan Global Canopy Programme (GCP) di Jakarta, Senin (22/8).
Mencapai kesejahteraan ekonomi melalui kelestarian lingkungan serta ketahanan pangan, air, dan energi dibahas dalam workshop Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program dan Global Canopy Programme (GCP) di Jakarta, Senin (22/8).

Kebijakan satu peta (one map policy) bisa menjadi salah satu solusi dalam mencegah tumpang tindih pemanfaatan lahan. Hal tersebut juga bisa meredam degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) terus mendorong pencapaian satu peta tersebut dan terus berkoordinasi dengan berbagai pihak yang terkait.

Demikian disampaikan Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin dalam workshop yang digelar Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program dan Global Canopy Programme (GCP) di Jakarta, Senin (22/8). Workshop membahas hasil kajian WCS dan GCP tersebut diantaranya menghadirkan sejumlah perwakilan dari KLHK, Kementerian Pertanian, beberapa pakar dan akademisi, serta utusan pemerintah daerah dan masyarakat Aceh, Kalimantan Tengah, Papua, dan Papua Barat.

Salah satu hasil kajian WCS dan GCP menyebutkan bahwa target swasembada pangan, komoditas pertanian, dan bahan bakar hayati memerlukan perluasan lahan yang mungkin mengancam target reduksi emisi penggunaan lahan dan konservasi hutan. Untuk itu, pemanfaatan lahan terdegradasi merupakan strategi lain yang dapat mengurangi tekanan pada hutan.

Nur menjelaskan bahwa pendekatan kebijakan satu peta tersebut sangat penting sehingga tidak ada lagi kecenderungan seolah-olah saling rebutan lahan. Selama ini, basis data yang digunakan masing tumpang tindih sehingga menyulitkan strategi dan kebijakan dari para pihak yang terkait.

“Solusi paling tepat adalah melihat basis data yang sama. One map policy menjadi salah satu pegangan. Contohnya, mana saja 10 juta hektare lahan terdegradasi,” ujarnya.

Selanjutnya, ujar dia, koordinasi menjadi hal yang penting agar masing-masing instansi tidak mengejar target sendiri-sendiri. Hal tersebut tidak mudah karena untuk koordinasi pemanfaatan lahan saja melibatkan setidaknya tujuh instansi kementerian, diantaranya KLHK, Kementeria Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Seperti diketahui, dalam Paket Kebijakan Jilid VIII yang diluncurkan pemerintah pada Desember 2015 mengenai kebijakan satu peta untuk lahan. Dan pada 2 Februari 2016, Presiden Joko Widodo telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Skala 1:50.000. Penetapan Perpres dimaksudkan sebagai salah satu upaya penyelesaian konflik pemanfaatan ruang dan dalam rangka mendorong penggunaan informasi geospasial guna pelaksanaan pembangunan nasional dan mendukung terwujudnya agenda Nawacita.

Hasil kajian WCS dan GCP juga menyebutkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan signifikan dalam pengelolaan sumber daya alam dan perencanaan penggunaan lahan serta terkait dengan pencapaian tujuan ketahanan air, energi dan pangan. Namun, rencana pembangunan daerah mencerminkan prioritas dan kepentingan lokal, yang seharusnya selaras dengan rencana pembangunan nasional.

 

Sumber: http://www.beritasatu.com/politik/381200-one-map-policy-solusi-pertumbuhan-ekonomi-dan-cegah-degradasi-lingkungan.html