Pemetaan Partisipatif

Banjir, Persoalan Lingkungan yang Masih Menghantui Aceh

Inilah kondisi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang rusak. Foto: Junaidi Hanafiah

Banjir yang melanda Aceh pada Desember 2014 lalu, tidak hanya merendam 73 kecamatan di tujuh kabupaten yang menyebabkan 120.966 warga mengungsi. Namun juga membuat tambak masyarakat di sejumlah daerah seluas 40.884 hektar rusak dan gagal panen.

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah menyebutkan, kerugian yang diderita akibat banjir tersebut mencapai 230 miliar rupiah. “Ini karena tambak rusak dan gagal panen, ribuan hektar sawah terendam, dan banyak ternak yang mati. Kerugian ini juga ditambah dengan rusaknya rumah, sekolah dan fasilitas lainnya,” ujar Zaini Abdullah, belum lama ini.

Menurut Zaini, berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, tambak yang rusak berada di Kabupaten Aceh Timur (20.000 hektar), Aceh Utara (9.959 hektar), Aceh Tamiang (5.933 hektar), Bireun (3.130 hektar), Pidie dan Pidi Jaya (1.862 hektar). Sedangkan luas sawah yang terendam banjir mencapai 5.861 hektar yang menyebabkan benih padi yang telah disemai gagal tanam.

“Semua kerusakan yang timbul akibat banjir harus segera diperbaiki agar ekonomi masyarakat bangkit kembali. Saya telah perintahkan seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk bergerak,” papar Zaini.

Terkait banjir yang terjadi, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur menyebutkan bahwa salah satu penyebabnya adalah berkurangnya luasan hutan Aceh akibat pembukaan untuk perkebunan, pertambangan, juga illegal logging.

Menurut M. Nur, penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan disetujui pemerintah pusat, telah mengurangi luas hutan Aceh dan mengabaikan keberadaan Kawasan Strategis Nasional. ”Walhi Aceh bersama sejumlah lembaga sipil telah mengajukan uji materi Qanun No 19 tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh ke Mahkamah Agung (MA),” ujarnya.

Peraturan Daerah (Perda) Aceh tersebut mengabaikan pengaturan wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional (RTRWN).

“RTRW tersebut telah mengurangi 145.982 hektar hutan Aceh. Hutan lindung dan konservasi telah diubah menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 79.179 hektar. Sementara, penunjukan kawasan hutan baru seluas 26.465 hektar,” ujarnya

Selain itu, RTRW Aceh juga telah mengabaikan kawasan hutan yang dikelola mukim yang merupakan hak adat masyarakat Aceh, “Padahal, wilayah masyarakat adat diakui dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dalam RTRW Aceh, hak masyarakat adat yang telah ada turun-temurun dalam menjaga dan mengelola hutan itu telah dihilangkan.”

Banjir masih terjadi

Sejak 17 Januari 2015, banjir kembali terjadi di wilayah pantai selatan Aceh. Akibatnya, 2.300 warga yang tinggal di Kecamatan Trumon, Trumon Timur, dan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, harus mengungsi karena rumah mereka terendam air.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Selatan Cut Sazalisma, mengatakan banjir menggenangi rumah warga hingga ketinggaan di atas 50 cm. “Hingga kemarin, banjir masih terjadi di lima desa yang terdapat di tiga kecamatan. Banjir terjadi karena meluapnya sungai yang berhulu ke Kabupaten Aceh Tenggara.”

Menurut Cut, relawan dari berbagai instansi, terpaksa mengungsikan warga karena khawatir ketinggian air meningkat. “Warga terpaksa diungsikan, kalau air sudah tinggi, akan sulit dilakukan evakuasi,” jelasnya.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/01/21/banjir-persoalan-lingkungan-yang-masih-menghantui-aceh/