Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa dunia akan mengalami krisis pangan di akhir Agustus 2020 sebagai dampak penyebaran COVID-19 yang belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Kegagalan pemerintah untuk menyediakan pangan akan berdampak pada timbulnya kerawanan pangan, yaitu kondisi di mana masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam periode waktu yang lama. Dengan situasi seperti ini, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengkaji tiga provinsi yang terletak di pulau-pulau besar, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan untuk melihat kondisi ketersedian pangan yang dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi beras setiap penduduk dengan pendekatan pasokan dan permintaan (pasokan-permintaan) berbasis data spasial. Dari analisis ini dapat dimunculkan wilayah yang dianggap tidak mampu mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri atau bisa disebut sebagai defisit produksi pangan terutama beras, sekaligus memeriksa sebaran perizinan di lokasi yang dikaji dan laju konversi lahan sawah. Kedua aspek terakhir diharapkan dapat memberikan indikasi penyebab kerawanan pangan dilihat dari alokasi ruang untuk lahan pangan itu sendiri.
Download Buku Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Kajian JKPP menunjukkan bahwa negeri ini dalam dua dekade terakhir telah mengalami kehilangan lahan sawah secara signifikan di ketiga provinsi tersebut, yaitu seluas 409.790,57 hektare atau setara dengan kira-kira 2.048.952,84 ton, atau hampir sama dengan volume impor beras pada tahun 2018. Akar persoalan dari kehilangan lahan sawah dan produksi beras adalah perluasan konsesi dan izin yang mencaplok persawahan. Di semua lokasi kajian, total luas konsesi pada 2017 mencapai 12 % di Sulawesi Selatan, 32% di Sumatera Selatan dan 47% di Kalimantan Tengah dari luasan total wilayah administratif setiap provinsi.
Kajian JKPP juga menunjukkan bahwa di semua provinsi yang dikaji selalu terdapat wilayah yang defisit beras, meskipun bukan merupakan wilayah perkotaan. Bahkan salah satu provinsi, yaitu Sumatera Selatan, hanya mampu memproduksi beras pada tingkatan sekedar cukup, bahkan menjelang defisit. Kecenderungan defisit beras ini berimplikasi pada tingkat pengeluaran untuk pangan yang harus bertambah. Padahal wilayah-wilayah defisit beras non-perkotaan adalah wilayah-wilayah yang angka kemiskinan rata-ratanya berada di bawah angka kemiskinan provinsi. Kondisi kemiskinan diperparah oleh kecilnya nilai tukar petani di semua provinsi yang ditandai oleh penggureman atau semakin sempitnya penguasaan luas lahan sawah oleh petani.
Maka apabila perluasan cetak sawah baru skala luas dikelola bukan oleh petani, dapat dipastikan hal itu akan menjadi awal dari kematian pertanian skala kecil dan hancurnya penghidupan petani kecil. Penambahan luas sawah melalui program-program cetak sawah yang dianggap sebagai solusi, menurut berbagai pengalaman dan kajian, telah melipatgandakan masalah ke persoalan lingkungan dan sosial yang rumit. Oleh sebab itu, JKPP berpandangan bahwa:
1. Seharusnya pemerintah menjalankan UU Keterbukaan Informasi Publik dan memberikan hak kepada warga negara untuk mendapatkan data dan informasi yang sejelas-jelasnya atas segala kebijakan yang bertujuan mengubah penguasaan dan pemilikan tanah, serta mengubah fungsi dan peruntukan lahan dan wilayah.
2. Seharusnya pemerintah nasional merubah secara radikal pemberian hak dan perizinan skala luas untuk usaha perkebunan, pertanian, kehutanan dan pertambangan dengan menjalankan Reforma Agraria sejati, serta pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adat.
3. Alih-alih menyerahkan pertanian pangan pada bisnis korporasi, pemerintah seharusnya berorientasi pada pemenuhan pangan berbasiskan pada kedaulatan pangan dan kearifan lokal untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan alam dalam jangka panjang.
4. Dalam jangka waktu secepatnya, pemerintah seharusnya melakukan diversifikasi pangan dan mengembangkan pangan lokal yang tersebar di berbagai belahan negeri di Indonesia dan melakukan intensifikasi di lahan-lahan yang cocok atau di lahan eks Hak Guna Usaha (HGU)/ tanah terlantar di tanah mineral yang tidak dikelola oleh perusahaan untuk mengoptimalkan produksi pangan dan melakukan mekanisasi teknologi bagi petani, bukan di lahan gambut yang terbukti produktivitasnya rendah dan membutuhkan teknologi yang mahal.
5. Pemerintah segera melakukan pengakuan, perlindungan dan identifikasi lokasi lahan pertanian dan perladangan masyarakat secara menyeluruh yang saat ini masih masuk kedalam kawasan hutan, terancam dengan adanya investasi, berapa luasannya, apa saja jenis pangannya, berapa jumlah produksinya serta juga melindungi benih-benih lokal yang saat ini juga terancam akan punah.
Please wait while flipbook is loading. For more related info, FAQs and issues please refer to DearFlip WordPress Flipbook Plugin Help documentation.
Add Comment