Sekelompok ibu-ibu di Kabupaten Bener Meriah, Aceh menjadi penjaga hutan alias ranger. Mereka berpatroli keluar masuk hutan, menghadapi para perambah hutan, dan pelaku penebangan liar.
Medan curam, terjal, dan berbatu-batu di dalam hutan di Kawasan Ekosistem Leuser merupakan hal yang biasa mereka hadapi saat patroli hutan. Mengaku diberi imbalan Rp100.000 per orang setiap kali patroli, para ibu ini juga tak segan menggunakan sejumlah barang pribadi seperti jas hujan hingga motor dalam menjalankan tugas sebagai ranger.
Mereka menuturkan bahwa mereka bersedia menjadi ranger karena berharap hutan yang terjaga dapat memastikan pasokan air bagi kaum perempuan di desa mereka. Berikut cerita para ibu ranger hutan itu.
Masdalina namanya. Perempuan usia 43 tahun ini punya segudang profesi, mulai dari pekerja kebun, kader posyandu, hingga penjaga hutan alias ranger di Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh. Ia mengerjakan sedemikian banyak profesi untuk menjadi tulang punggung keluarga, setelah suaminya mengalami lumpuh sebelah badan lima tahun lalu. Sementara kedua orang anaknya masih bersekolah.
Masdalina mengatakan meski setumpuk pekerjaan sudah memenuhi hari-harinya, ia tetap menyisihkan waktu untuk berpatroli di hutan sebagai ranger. Masdalina memiliki keyakinan bahwa hutanlah yang menjaga kebutuhan air warga, dan air, menurutnya, tiga kali lebih banyak dibutuhkan oleh perempuan. Namun keyakinan Masdalina tak serta merta membuat suaminya menyetujui Masdalina menjalani peran sebagai ranger.
“Kalau melarang sih nggak, tapi ada juga di hatinya, ‘apa sanggup ke hutan?’ Tapi kami bilang ‘ya harus sangguplah karena bencana kan besar untuk kita, kan untuk menunjang perekonomian kita’. Apabila kita tidak menjaga hutan, apalah nantinya kejadian dampaknya untuk kita?” tutur Masdalina.
Apa saja tugas ranger perempuan?
Masdalina sudah dua tahun menjadi penjaga hutan. Salah satu peran rutinnya adalah patroli ke dalam hutan. Seperti pada suatu pagi di awal Desember, ketika Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, menyaksikan Masdalina dan kelompoknya bersiap untuk patroli.
Jarum jam menunjukkan pukul 09.00 WIB di desa tempat Masdalina tinggal, Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah.
Ia bersama sekelompok ibu, berseragam mengenakan kaos hijau lengan panjang dan sepatu bot berkumpul di satu titik. Perbukitan menjulang di belakang mereka. Kawasan ini memang kerap dikenal sebagai negeri di atas awan, karena letaknya yang tinggi, sekitar 100-2.500 meter di atas permukaan laut.
Salah satunya kemudian memulai sejumlah instruksi. Sumini, namanya. Perempuan usia 46 tahun yang merupakan ketua Lembaga Pelindung Hutan Kampung Mpu Uteun. Sumini mengatakan tujuan mereka mendirikan organisasi ini untuk menjaga hutan dari perambahan, terlebih lagi banjir bandang pernah menimpa desa mereka pada tahun 2015, yang merusak sekitar 12 rumah.
“Selama ini telah terjadi perambahan merajalela oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk dijadikan kebun kopi. Makanya sekarang, sudah banyak terjadi longsor, bencana alam terus terjadi di kampung kami.
“Jadi MpU Uteun ini sangat bersemangat untuk menjaga hutan, agar tidak terus terjadi banjir bandang yang sangat mengerikan,” kata Sumini.
Menurut Sumini, ada sekitar 251 hektare area hutan lindung yang berada di bawah tanggung jawab mereka. Mereka juga bertugas menjaga Daerah Aliran Sungai (DAS) Wih Gile yang menjadi sumber mata air untuk enam desa tetangganya.
“Karena kalau sudah terus terjadi bencana, sumber air minum kita sudah pasti terganggu. Dari situ kami terus ingin bersemangat dengan ibu-ibunya, gimana terus menerus kami akan menjaga hutan, agar tetap sumber air minum kami, sumber kehidupan kami itu tetap terjaga terus menerus.”
Kelebihan ranger perempuan hadapi perambah hutan
Untuk menjalankan tugas patroli, ranger MpU Uteun dibagi dalam dua tim. Siapa pun bisa bergabung asal mendapatkan izin dari suami atau orang tua. Sumini menjelaskan, “Kami melakukan patroli selama lima hari dalam satu bulan, dengan dibagi dua regu. Jadi dalam satu bulan itu kami 10 hari melakukan patroli. Satu regu itu delapan orang, lima laki -laki dan tiga perempuan. Nah, kami selama patroli juga didampingi oleh bapak-bapak dan anak muda juga.”
Kehadiran para ranger perempuan ini dinilai memudahkan para penjaga hutan dalam memberikan arahan bagi pelaku penebangan liar dan perambah hutan.
“Kalau kita ibu-ibu yang ngobrol dengan orang laki-laki yang [lakukan] ilegal logging atau perambah hutan lebih didengarkan, tapi kalau bapak-bapak yang ngomong langsung sama-sama panas,” kata Sumini.
Sejauh ini, menurut Sumini, perambah hutan atau pelaku pembalakan liar yang mereka temui adalah warga dari desa sekitar. Penuturan Sumini ini diamini oleh Bustami, Penghulu Hutan (navigator) MpU Uteun.
“Patroli ini sebenarnya sudah ada sebelum dibentuk ranger seperti sekarang. Dulu kami mengajak orang laki – laki nggak mampu, istilahnya tidak didengarkan [oleh perusak hutan] kalau kami yang berbicara. Dari situ terpikirlah kami untuk mengajak ibu-ibu, karena kalau ibu-ibu yang berbicara didengarkan,” kata Bustami.
Pintu masuk yang penting
Kehadiran Lembaga Pelindung Hutan Kampung MpU Uteun yang beranggotakan ranger dari kalangan ibu rumah tangga ini, tak lepas dari bantuan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh. Yayasan melihat upaya warga Desa Damaran Baru dalam melarang perambah hutan atau pelaku penebangan liar selama ini sudah sering dilakukan, tapi tak punya kekuatan hukum. Kehadiran lembaga diharap memperkuat dari aspek hukum.
Staf Community Conservation yayasan itu, Rubama, mengatakan, “Akhirnya proses panjang yang kita lakukan dari 2018, masyarakat Damaran Baru memperoleh izin mengelola kawasan hutan lindung yang nantinya akan berkontribusi banyak untuk sustainability ekologi.
“Juga bagaimana masyarakat punya akses dan kontrol agar tidak terjadi bencana dan mereka bisa memanfaatkan dari segi ekonomi hijaunya itu sampai 35 tahun ke depan. ”
Desa Damaran Baru yang berjarak 5-7 km dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan salah satu pintu masuk ke kawasan hutan lindung itu. Menurut pegiat, kerusakan di hilir akan berdampak bagi hulu yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati.
“Damaran ini menjadi salah satu penyangga, karena satwa liar juga ada disana, keanekaragaman hayati juga sangat luar biasa tumbuh disana, artinya di sekelilingnya juga harus tetap dijaga, jadi bicara penyangga juga tidak hanya berbicara 251 hektare tapi juga ada hutan lindung di sekitarnya yang harus tetap kita jaga bersama,” kata Rubama
Jas hujan dari plastik dan imbalan Rp100.000
Sejak terbentuk pada tahun 2018 hingga mendapat legalitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setahun kemudian, kelompok perempuan penjaga hutan ini sudah melakukan berbagai bentuk kegiatan secara swadaya. Mulai dari melarang perambahan hutan, memasang tapal batas, papan pemberitahuan, hingga patroli rutin. Setiap kali patroli mereka mengaku diberi imbalan sebesar Rp100.000 per orang.
Hutan lebat tropis, dengan jalan menanjak, yang tak jarang terjal dan dipenuhi batu-batu besar, merupakan hal yang dihadapi ranger perempuan ini tatkala berpatroli sehari-hari. Namun hal itu tak membuat gentar, justru hal lainlah yang mereka rasakan sebagai sisi duka dalam menjalankan tugas.
“Dukanya ini kami jadi ranger, yang selama ini kami lakukan dengan kemampuan fisik kami dan alat-alat yang kami pakai itu dengan memakai alat sendiri. Salah satunya sepeda motor.
“Atribut ranger juga begitu, baik dari seragam kami, mana baju hujan, kami hanya menggunakan plastik yang harganya satu meter Rp2.000. Di mana kami kehujanan, kami buat gubuk derita, walaupun dari daun pisang,” kata Sumini.
Namun semua itu tak membuat para ibu rumah tangga ini gentar. Sumini sebagai ketua Lembaga Pelindung Hutan Kampung MpU Uteun terus memotivasi kelompoknya.
“Kami sudah sepakat, memang kalau bisa, kami ranger ini [kerja] dengan ikhlas, dengan swadaya dan apapun yang terjadi, kami akan tetap berjalan. Mungkin dengan tetap berjalan yang kami lakukan secara swadaya ini, ada instansi lain yang memperhatikan kami, itu harapan kami. ”
Tulisan ini telah dimuat dalam BBC.Com dengan Judul: Kisah para perempuan penjaga hutan Aceh; ‘Kami lebih didengar oleh para pembalak liar’ pada (15/12/2020).
Hutan adalah sebuah ekosistem yang hrus dijaga odan dilestarikan oleh makhluk hidup lainnya terutama manusia. seperti yang dilakukan Masdalifa seorang ranger perempuan yang ada di aceh tersebut. karena sebagian besar bencana alam disebabkan oleh hutan itu sendiri.