Pemetaan Partisipatif

Emil Salim: RUU Tata Ruang Punya Kelemahan Besar yang membahayakan

Jakarta-RoL– Pakar lingkungan yang juga mantan menteri lingkungan hidup Emil Salim mengatakan Rancangan Undang-Undang Tata Ruang yang kini sedang dibahas DPR mempunyai kelemahan besar yang membahayakan karena tidak melibatkan sektor-sektor secara koordinatif. 

“RUU ini berbeda dengan UU No 24 Tahun 1992 yang memberikan kewenangan pada Menteri Ekuin (Ekonomi Keuangan dan Industri) sebagai koordinator dalam penyelenggaraan tata ruang,” katanya dalam seminar mengenai tata ruang yang diselenggarakan Pansus RUU tata Ruang DPR di Jakarta Rabu.

Emil mengatakan, RUU Tata Ruang yang sedang dibahas DPR ini memberikan kewenangan pada Menteri Pekerjaan Umum sebagai pemegang kendali utama dalam penyelenggaraan tata ruang. “Ini berbahaya karena akan berhadapan dengan sektor kelautan, pertambangan dan lingkungan yang masing-masing mempunyai menteri-menterinya sendiri,” katanya.

Emil mengatakan, konflik antara UU Hutan Lindung dan UU Pertambangan yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa tidak ada koordinatif di antara para menteri dalam masalah pemanfaatan tata ruang. “Sekarang tiap menteri punya UU sendiri. Semuanya jadi semrawut sehingga seperti hutan undang-undang,” katanya.

Menurut Emil, UU No 24/ 1992 Tata Ruang di era Orde Baru menempatkan Menko Ekuin sebagai bos. “Sekarang setiap menteri merasa menjadi bos. RUU tata Ruang yang sedang dibahas DPR ini mengandung kesalahan fatal karena disusun dengan logika sektoral. Padahal tata ruang tak bisa disektorkan,” katanya.

Sementara itu pakar tata kota yang juga Rektor Undip Semarang Eko Budihardjo mengatakan selama korupsi berlangsung, tata kota yang dibuat bagus tidak mempunyai makna.

“Tata ruang itu berusaha menciptakan keseimbangan dan berusaha melenyapkan kesenjangan. Tapi korupsi menciptakan kesenjangan. Kalau ada perwira polisi mempunyai ratusan miliar rupiah sementara jutaan rakyat tetap miskin, kesenjangan itu tak akan teratasi oleh penataan kota,” katanya.

Eko mengatakan, penataan ruang harus diikuti oleh penciptaan kondisi sosial politik ekonomi budaya yang menunjang kesetaraan. “Hanya dengan demikian maka penataan ruang dapat menciptakan efek bagi keseimbangan dan keadilan di masyarakat,” katanya.

Eko juga mengajak anggota Pansus RUU Tata Ruang untuk mengembalikan karakter dan ciri khas budaya masing-masing daerah dalam menata kota-kota. Selama ini kultur lokal tak dihargai sehingga semua kota-kota di daerah tampak seragam.

“Penyeragaman kota-kota menghilangkan jati diri,” demikian Rektor Undip itu. antara/pur