Sejumlah pegiat Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Region Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua mendesak Pemerintah agar mengakomodir data peta yang disampaikan oleh kelompok masyarakat sipil berupa data hasil pemetaan partisipatif dalam implementasi Kebijakan Satu Peta. Pemerintah jangan hanya menerima data peta dari Kementerian/Lembaga pemerintah saja.
Demikian disampaikan Imam Hanafi, Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dalam acara Konsolidasi Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (JKPP), Rabu (8/5/2019) di Kuta Central Park Hotel, Kuta, Bali.
“Hingga kini pemerintah belum menyediakan acuan dan mekanisme peran serta masyarakat dalam implementasi kebijakan satu peta, padahal data peta partisipatif ini diharapkan bisa menjadi data indikatif untuk mengetahui sebaran tumpang tindih ruang dan lahan antara masyarakat dengan sektor lainnya.” ujar Imam.
Menurut Imam, data peta partisipatif akan membantu pemerintah dalam melakukan identifikasi ruang dan lahan yang terindikasi berkonflik, melakukan proses Verifikasi penyelesaian permasalahan serta penetapan status dan fungsi ruang/lahan melalui proses Registrasi. Hal tersebut seharusnya menjadi komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan dan mewujudkan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) secara menyeluruh.
Imam menambahkan, Kebijakan Satu Peta ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo melalui aturan Peraturan Presiden Nomor 9/2016 tentang Percepatan Kebijakan Satu Peta, dan telah launching pada Akhir tahun 2018 lalu, belum juga mengakomodir data masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lainnya, kebijakannya belum dapat mengakomodir kepentingan dan inisiatif masyarakat secara luas.
Kebijakan satu peta, diharapkan bisa memasukkan dan menerima data dari masyarakat, bukan sepihak hanya dari kementerian dan lembaga saja. Karena banyaknya konflik tenurial justru lebih banyak melibatkan kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari respon walidata yang cenderung lambat dalam merespon data yang telah diserahkan kepada walidata terkait.
“Bagaimana Kebijakan Satu Peta akan menjawab proses penyelesaian konflik tenurial bagi masyarakat, jika secara kebijakan, kelembagaan dan mekanisme teknis adopsi dan verifikasi data tidak terjadi” terangnya
Padahal, katanya, keterlibatan masyarakat merupakan komponen penting, baik dalam percepatan, validitas data maupun dalam proses penyelesaian konflik tumpang tindih ruang dan lahan. Mestinya kelompok masyarakat, baik desa maupun masyarakat adat, bisa menjadi ujung tombak penyediaan dan updating data spasial dan sosial di Infonesia.
Dengan kondisi ini, kata Imam, peta partisipasif hanya merupakan peta indikatif dan unofficial, karena pihak walidata tidak mau secara terbuka dan responsif untuk menerima dan mengakui data peta partisipatif ini.
“Setengah hati dan hanya melihat pada kepentingan parsial saja, padahal tujuan penyerahan data ini agar tersedia data indikatif yang selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan proses verifikasi oleh walidata, baik dari sisi kartografi, data sosial, dokumen pendukung maupun proses verifikasi di lapangan. Untuk hal ini JKPP pun siap untuk membantu dan bekerjasama.” ujarnya.
Hingga tahun 2018, JKPP bersama anggota dan jaringan telah berhasil memetakan dan mengkonsolidasikan area kelola rakyat sebanyak 12,44 Juta Ha dimana 10 Juta Ha lebih merupakan wilayah masyarakat adat dan lebih dari 50% tumpang tindih dengan perizinan. Pada awal tahun ini, tercatat bahwa hingga saat ini baru 49 hutan adat telah diakui sebagai hutan adat, 33 hutan adat mencapai total 17,243.61 ha diberikan hingga tahun 2018, sementaranya sisanya baru pada Februari 2019. Dari total luasan hutan adat yang telah ditetapkan pada tahun 2018 yaitu 17.243 ha, 63 % nya berasal dari fungsi Areal Penggunaan Lain (APL), sementara 37 % merupakan Hutan Negara. Hal ini berarti Hutan Adat masih didominasi dari wilayah Areal Penggunaan Lain (APL). Termasuk implementasi untuk TORA, masih jauh dari target yang dicita-citakan yaitu 9 juta ha.
Add Comment