Pemetaan Partisipatif

Peta demi masa depan hutan Indonesia

Jakarta (ANTARA News) – Indonesia belum memiliki satu peta yang dapat memberikan angka pasti berapa jumlah hutan yang dimiliki maupun deforestasi.
Avi Mahaningtyas, Penasihat dari Climate and Land Use Alliance (CLUA), mengatakan jumlah hutan di Indonesia berkisar antara 80-137 juta hektar.

“Berapa besar laju deforestasi kita? Jawabannya beda-beda. Cakupannya antara 1-1,8 juta,” kata Avi dalam acara “Memetakan Masa Depan Hutan Indonesia” di kawasan Senayan, siang ini.

Padahal, peta sangat penting untuk melihat fakta di lapangan, berapa luas hutan, apa batasnya, hingga siapa yang memiliki suatu lahan.

Kasmita Widodo, Direktur Eksekutif jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), mengatakan peta partisipatif merupakan upaya dari masyarakat untuk mengamankan tanah mereka.

Pemetaan partisipatif adalah metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku, sekaligus menjadi penentu perencanaan pengembangan wilayah mereka sendiri. Dalam peta itu, dapat terlihat di mana letak lahan, siapa pemiliknya, dan bentuk lahan tersebut.

Informasi dalam peta itu dapat berfungsi untuk masyarakat, pemerintah, maupun pengusaha. Dengan adanya peta tersebut, dapat terlihat dengan jelas seberapa banyak deforestasi hutan, lahan yang beralih fungsi.

“Yang penting dari peta ini kan angka. Kalau nggak tau tepat angkanya, kita nggak bisa monitoring, misalnya,” kata Avi.

Menurut Kasmita, belum banyak pihak yang mengakui peta partisipatif tersebut sehingga tidak dimasukkan ke tata ruang. Padahal, lanjutnya, konflik kerap terjadi karena ketidakjelasan hak.

Menurut Avi, peta yang akurat dan bisa diakses publik dapat membentuk suatu komunikasi. Misalnya, dengan mengecek koordinat suatu lahan pada peta, pemangku kepentingan dapat mengambil kebijakan untuk lahan tersebut.

Lebih jauh, peta itu nantinya dapat digunakan sebagai alat untuk menunjang penegakan hukum.

“Tujuannya bukan untuk mengatakan kesalahan ada di mana. Tapi, mengajak semua pihak untuk melihat sebenarnya kita punya hutan berapa sih,” kat Avi.

Avi pun menghargai sebuah peta dalam jaringan yang baru-baru ini ini diluncurkan, Global forest Change.

Global Forest Change merupakan kerja sama 15 universitas (salah satunya University of Maryland), Google, dan peneliti pemerintahan yang memuat perubahan hutan di dunia, termasuk deforestasi dan jumlah hutan yang masih ada, berdasarkan studi dari tahun 2000 hingga 2012.

Budaya

Lahan erat kaitannya dengan budaya setempat. Abdiyas Yas dari Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) Kalimantan Barat, menceritakan di desa tempat tinggalnya, Sanggau, banyak warga yang menjual lahannya untuk dikonversi menjadi lahan kelapa sawit.

Sebagian masyarakat berpikir kesejahteraan hidup diukur dari materi “Sering mereka pikir sejahtera iu punya parabola, televisi,” katanya.

Padahal, masyarakat Sanggau awalnya menjadikan lahan yang mereka miliki untuk kehidupan mereka.

“Bagi kami, sejahtera itu, misalnya, ada hewan di hutan,” katanya.

Selain peta, ia menilai pendidikan juga tidak kalah penting untuk memberi pengetahuan pada warga tentang besarnya nilai hutan bagi kehidupan.

“Dengan punya tanah, mereka bisa tanam padi untuk makan.”

Ketika lahan dikonversi, budaya bisa berubah. Kasmita mengatakan di daerah Sekadau, Kalbar, terdapat tradisi upacara panen yang disebut “Gawai”.

“Sedangkan di beberapa tempat sudah nggak ada ladang lagi. Perlahan, mereka bisa kehilangan kebudayaan,” katanya. (Suryanto)