Masyarakat Nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari (FP3) yang didukung oleh Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP) menolak Rancangan Peraturan Daerah terkait Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta 2019 – 2039. Beberapa perwakilan nelayan datang dengan membentangkan spanduk penolakan, Rabu (31/8/2019) di Halaman Kantor Bupati Kepulauan Seribu, Pulau Pramuka, Jakarta.
Koordinator Aksi damai, Buyung mengatakan jika kedatangannya ke Pulau Pramuka dalam rangka mengawal perwakilan warga Pulau Pari yang sedang mengikuti Sosialisasi Ranperda RZWP3K di Ruang Pola Kantor Kabupaten Administrasi Pulau Seribu, untuk menyampaikan penolakan Rancangan Perda RZWP3K DKI Jakarta. Menurut Buyung, Ranperda RZWP3K berorientasi untuk komersialisasi dan privatisasi daerah pesisir dan pulau-pulau kecil dan sangat mengutamakan industri pariwisata, sehingga dapat menyingkirkan keberadaan dan kehidupan nelayan Pulau Pari dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu lainnya.
“Ranperda RZWP3K ini tidak mengakomodir kepentingan nelayan terutama warga yang telah terlebih dahulu tinggal di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jauh sebelum Perancangan Zonasi yang akan disahkan melalui Peraturan Daerah ini disusun” terang Buyung.
Hal senada disampaikan oleh Pengurus Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP), Sulaiman. Dirinya mengatakan telah membaca seluruh pasal per pasal terhadap Ranperda, dokumen RTRW dan RDTR serta Permen KKP 23/2016 secara cermat serta mendiskusikannya dengan warga lainnya.
“Sehari-hari selain sebagai nelayan, saya juga bekerja sebagai ABK Kapal penumpang Pulau Pari – Kali Adem. Namun disela-sela kesibukan tersebut, saya masih sempat untuk membaca seluruh dokumen (Ranperda, dokumen RTRW dan RDTR serta Permen KKP 23/2016-red) tersebut, karena hal ini menyangkut kehidupan dan masa depan warga yang berada di Pulau Pari atau wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya di Kepulauan Seribu” tegas Sulaiman.
Menurutnya, Ranperda tersebut layak untuk ditolak karena dari proses penyusunan dan substansinya tidak melibatkan masyarakat nelayan serta terindikasi menyingkirkan warga nelayan yang berada di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu. Ditambahkan sulaiman, point penting penolakan Ranperda RZWP3K DKI Jakarta ini dilatar belakangi karena faktor-faktor sebagai berikut:
1. Alokasi Ruang untuk Nelayan Sangat Minim
Membicarakan tentang laut tidak akan terlepas dari nelayan yang mata pencahariannya sangat tergantung pada ekosistem laut. Dalam berbagai kesempatan, Pemerintahan telah menjanjikan laut Indonesia sebagai masa depan dan poros bangsa. Namun, faktanya regulasi-regulasi yang berlaku saat ini tidak dapat mendukung terealisasikannya janji manis tersebut. Salah satu permasalahan yang ada dirasakan oleh para nelayan di Pulau Pari dan sekitarnya adalah masih minimnya alokasi ruang kehidupan dan akses di wilayah laut untuk kaum nelayan. Alokasi ini seharusnya dituangkan dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau (RZWP-3-K) yang ditetapkan di tingkat Provinsi DKI Jakarta. Tidak hanya sekedar mengalokasikan ruang hidup nelayan dalam RZWP-3-K namun apabila merujuk pada Peraturan Menteri KKP Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah pun mewajibkan diri untuk mengalokasikan ruang dalam RZWP-3-K diprioritaskan untuk Kawasan konservasi, ruang penghidupan dan akses untuk nelayan dan petambak garam kecil.
Faktanya peruntukan lahan pada RZWP-3-K untuk nelayan sangat minim dibanding alokasi zona industri wisata dan pertambangan, sebut saja RZWP-3-K di Provinsi DKI Jakarta, Kebijakan mengatur beberapa hal yang justru menyengsarakan nelayan, seperti : Alokasi pemukian non nelayan sebesar 70 Ha di Penjaringan dan Pantai Mutiara, Pemerintah menyediakan pendanaan untuk merelokasi Rumah Nelayan sebesar 2,5 Milyar, artinya Pemerintah tidak menyediakan pemukiman untuk nelayan, selain itu dalam RZWP-3-K tidak mengatur bagaimana ruang tangkap nelayan. Dengan adanya fakta demikian dapat disimpulkan bahwa Pemerintah juga telah mengabaikan putusan Konstitusi (MK) No. 3 Tahun 2010 yang memandatkan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki empat hak mendasar.
2. Pekerjaan Nelayan Hanya Menjadi Pendukung bagi Kegiatan Wisata.
Aktifitas pekerjaan nelayan hanya menjadi pendukung bagi kegiatan wisata yang dikembangkan didaerah tersebut. Hal ini terlihat dalam Ranperda RZWP3K pasal 39 ayat (1) huruf c dan e, “Kegiatan yang boleh dilakukan di Sub Zona KPU-WSJ meliputi: (huruf c) perikanan tangkap tradisional pada saat tidak berlangsung kegiatan pariwisata, (huruf e) budidaya yang dapat mendukung kegiatan pariwisata;”. Selanjutnya dalam pasal yang 39 ayat (2) diatur bahwa “Kegiatan yang tidak boleh dilakukan di Sub Zona KPU-W-SJ meliputi: (huruf a) perikanan budidaya yang kontra produktif dengan wisata sejarah; (huruf d) semua jenis kegiatan penangkapan ikan pada saat berlangsung kegiatan pariwisata;Pengaturan yang sama juga dapat dilihat dalam pasal 40 ayat (1) yang mengatur bahwa “Kegiatan yang boleh dilakukan di Sub Zona KPU-W-BL meliputi: (huruf c) perikanan tangkap tradisional pada saat tidak berlangsung kegiatan pariwisata; (huruf e) budidaya yang dapat mendukung kegiatan pariwisata; Selanjutnya dalam pasal 40 ayat (2) diatur “Kegiatan yang tidak boleh dilakukan di Sub Zona KPU-W-BL meliputi: (huruf a) perikanan budidaya yang kontra produktif dengan wisata alam bentang laut; (huruf d) semua jenis kegiatan penangkapan ikan pada saat berlangsung kegiatan pariwisata; Pasal 41 ayat (1) “Kegiatan yang boleh dilakukan di Sub Zona KPU-W-P3K meliputi:(huruf d) perikanan tangkap tradisional pada saat tidak berlangsung kegiatan pariwisata; (huruf f) budidaya yang dapat mendukung kegiatan pariwisata. Pasal 41 ayat (2) Kegiatan yang tidak boleh dilakukan di Sub Zona KPU-W-P3K meliputi: (huruf a) perikanan budidaya yang kontra produktif dengan wisata alam pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil; (huruf d) semua jenis kegiatan penangkapan ikan pada saat berlangsung kegiatan pariwisata;
Dari pasal-pasal di atas dapat dilihat bahwa perikanan tangkap tradisional dapat dilakukan di KPU- W- SJ, KPU – W- BL, dan KPU – W- P3K pada saat tidak berlangsung kegiatan pariwisata, artinya kalau kegiatan pariwisata sedang berlangsung kegiatan perikanan tangkap tradisional di 3 wilayah tersebut tidak boleh dilakukan, sementara budidaya di tiga wilayah tersebut dapat dilakukan jika mendukung kegiatan pariwisata jika tidak mendukung kegiatan pariwisata kegiatan budi daya di tiga wilayah tersebut tidak bisa dilakukan. Aturan ini sangat merugikan nelayan apalagi wilayah-wilayah tersebut telah terlebih dahulu menjadi tempat kegiatan perikanan tangkap tradisional jauh sebelum ada pengaturan zonasi oleh pemerintah melalui peraturan daerah. Misalnya dalam RZWP3K DKI Jakarta yang diatur dalam Ranperda ini, di Pulau Pari ada KPU – W- BL 05, KPU – W- P3K – 09, KPU – W – P3K – 10, jika RZWP3K disahkan melalui Ranperda ini maka warga Pulau Pari yang mayoritas bermata pencaharian nelayan tidak boleh lagi melakukan kegitan perikanan tangkap tradisional saat kegiatan pariwisata berlangsung. Padahal wilayah tersebut adalah wilayah tangkap warga Pulau Pari turun temurun, mereka menangkap ikan siang dan/atau malam sesuai musim ikan, arah angin dan cuaca. Kegiatan menangkap ikan tidak pernah ditentukan oleh ada tidaknya kegiatan wisata. Pengaturan kegiatan menangkap ikan sesuai kegiatan wisata akan merampas hak hidup warga yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil. Begitu juga dengan kegiatan budi daya di tiga wilayah tersebut hanya dapat dilakukan jika kegiatan budidaya tersebut mendukung kegiatan pariwisata, kegiatan budidaya yang kontraproduktif dengan kegiatan pariwisata tidak boleh dilakukan di tiga wilayah tersebut. Selain itu, akan terbuka perlakukan sewenang-wenagn terhadap para nelayan dan pembudi daya, karena tidak diketahui apa ukuran mendukung tidak mendukung keigatan pariwisata, siapa yang menentukan ukuran tersebut, apa alat pengukurnya, dll?
3. Ranperda RZWP3K DKI Jakarta Mengharuskan Masyarakat Nelayan Mengurus Izin
Masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil diwajibkan mengurus izin berpenghidupan atau bermata pencaharian di pesisir dan pulau-pulau kecil. Keharusan mengurus izin ini diantaranya dapat dilihat dalam Ranperda RZWP3K Pasal, 39 ayat (3) huruf c dan d; Pasal 40 ayat (3) huruf c dan d, Pasal 41 ayat (3) huruf d dan e; Hal ini bertentangan dengan hak hidup dan hak bertempat tinggal yang dijamin dalam konstitusi yang diturunkan dalam Putusan MK No. 3 tahun 2010, hak melintas dan mengakses laut, hak mendapatkan perairan yang bersih dan sehat, hak mendapatkan manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan, hak adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.
4. Adanya paradoks di dalam RZWP3K DKI Jakarta yang akan disahkan dengan Perda tersebut, dimana terdapat alokasi ruang bagi pemukiman tetapi bukan untuk nelayan melainkan untuk non nelayan;
5. Ranperda RZWP3K disusun tidak terlebih dahulu mengukur dan mendata titik pasang tertinggi air laut, untuk dasar menentukan kewenangan RZWP3K dan RDTR;
6. Penyusunan Ranperda RZWP3K Tidak Melibatkan Partisipasi Publik atau Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang- Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Petambak Garam, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Persisir dan Pulau-Pulau Kecil;
7. Ranperda RZWP3K DKI Jakarta Rentan Dengan Kriminalisasi Nelayan.
Alasan mengapa RZWP3K harus ditolak adalah tidak hanya karena RZWP3K melegitimasi sekaligus melanggengkan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir melalui sejumlah proyek pembangunan, diantaranya: reklamasi, pertambangan pasir dan migas, industri pariwisata berbasis utang, konservasi berbasis utang, dan pembangan infrastruktur untuk pelabuhan serta industri maritim, namun juga
berpotensi akan adanya kriminalisasi pada nelayan, yaitu praktek-praktek pekerjaan nelayan yang telaah dilakukan turun temurun dan sama sekali bukan tindakan kejahatan atau kriminal akan menjadi tindakan kejahatan atau kriminal, potensi ini terlihat sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Rancangan Perda tersebut.
RZWP3K DKI Jakarta Jika Dilihat Khusus Terhadap Pulau Pari
Jika dipelajari secara khusus pengaturan ruang Pulau Pari menurut RZWP3K DKI Jakarta Tahun 2019 – 2039, maka akan terlihat beberapa hal yang tidak melindungi warga Pulau Pari sebagai warga negara, diantaranya:
1. Adanya tumpang-tindih antara RDTR dan Ranperda RZWP3K DKI Jakarta
Keduanya memblok wilayah darat sesuai kepentingan masing-masing. RDTR mem-blok ruang Pulau Pari untuk pemukiman, perdagangan dan bisnis, ruang terbuka hijau, RZWP3K mem-blok Pulau Pari sebagai Kawasan Konsevasi – Zona Inti, Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kawasan Pemanfaatan Umum Wisata Bentang laut, Kawasan Pemanfaatan Umum Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sementara warga Pulau Pari telah memfungsikan daratan, gugusan dan lautan Pulau Pari sesuai fungsi yang telah dipraktekkan turun temurun berdasarkan kondisi alam Pulau Pari. Lihat 1) Peta Penggunaan Lahan Pulau Pari – Kepulauan Seribu, 2) Peta Penggunaan Lahan Gugusan Pulau Pari – Kepulauan Seribu, 3) Peta Daya Jelajah Nelayan Pulau Pari- Kepulauan Seribu. Di gugusan Pulau Pari ada ada gobah-gobah yang menjadi tempat menangkap ikan, padang lamun, mengrove, dan terumbu karang tempat ikan bertelur, pesisir tempat menangkap kepiting, udang, dan kerang. RZWP3K DKI Jakarta tidak mengalokasikan ruang untuk budidaya ikan, budi daya rumput laut, budi daya kerapu dan tripang, padahal kegiatan tersebut telah lama memiliki ruang di Pulau Pari.
2. Ranperda RZWP3K Mengatur Daratan?
Bolehkah RZWP3K juga mengatur daratan? Faktanya Ranperda RZWP3K DKI Jakarta memasukkan darata Pulau Pari ke dalam KPU – W – P3K – 09 (Kawasan Pemanfaatan Umum Wisata Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) dan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
3. Ranperda RZWP3K Rentan Nelayan Dipidana
Nelayan tidak bisa dipisahkan dari lautan dan sumber-sumber kehidupannya, mereka telah menyatukan laut sebagai bagian dari kehidupan mereka. Namun, Renperda RZWP3K akan menjadikan praktek-praktek penangkapan ikan oleh nelayan Pulau Pari menjadi perbuatan pidana atau kriminal, jika pemanfaatan laut tidak sesuai dengan peruntukan yang diatur di dalam RZWP3K DKI Jakarta;
4. RZWP3K DKI Jakarta Ruang Membatasi Tangkap Nelayan
Ranperda RZWP3K DKI Jakarta mengatur ruang tangkap nelayan kedalam KPU – W- BL 05, KPU – W- P3K – 09, KPU – W – P3K – 10. Warga Pulau Pari menilai jika Ranperda RZWP3K disahkan, maka kegiatan perikanan tangkap tradisional hanya bisa dilakukan ketika tidak ada kegiatan pariwisata, jika sedang ada kegiatan pariwisata maka kegiatan perikanan tangkap tradisional tidak bisa dilakukan, padahal nelayan Pulau Pari sejak dari nenek moyang bebas menangkap ikan setiap waktu. Begitu juga kegiatan budi daya, kegiatan budidaya yang dapat dilaukan hanya kegiatan budi daya yang dapat mendukung kegiatan pariwisata. Jika tidak mendukung pariwisata maka kegiatan budi daya tidak diperbolehkan. Oleh karena itu RZWP3K DKI Jakarta ini akan menjadikan pekerjaan nelayan Pulau Pari menjadi subordinasi (bagian) dari kegiatan pariwisata, padahal pekerjaan nelayan adalah pekerjaan utama masyarakat Indonesia.
Tuntutan
Menolak Ranperda RZWP3K DKI Jakarta tahun 2019 – 2039 dan meminta melakukan Revisi sesuai dengan kebutuhan nelayan yang telah tinggal dan melakukan praktek hidup dan mata pecaharian secara turun temurun khususnya di Pulau Pari dan umumnya di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di DKI Jakarta.
Narahubung:
Sulaiman (KSPP) : +62 838-1938-2770
Fathilda Hasibuan (Walhi Eknas) : +62 812-6076-7526
Rewinda (Walhi Jakarta) : +62 813-1911-7808
Add Comment