Pemetaan Partisipatif

Memperjuangan Kemerdekaan, Meraih Pengakuan Hak Masyarakat Adat

Warga adat Kajang, yang ketata menjaga alam hingga hutan terjaga dengan baik. Perda Masyarakat Adat Kajang tengah proses. Foto: Wahyu Chandra

“Menjembatani kesenjangan: melaksanakan hak-hak masyarakat adat.” Begitulah tema Hari Masyarakat Adat Internasional, tahun ini, yang jatuh pada 9 Agustus lalu. Tema ini,  merupakan simbol komitmen negara-negara anggota PBB untuk mengakui dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.

Bagaimana kabar masyarakat adat di Indonesia? Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi memutuskan hutan adat bukan hutan negara. Ini angin segar bagi pengakuan hak masyarakat adat di Indonesia. Gerakan masyarakat adat juga makin menguat.

Sayangnya, pengakuan lewat MK ini belum diikuti pada tataran pelaksana baik di pusat maupun daerah. Baru beberapa daerah, yang memiliki peraturan daerah mengenai pengakuan hak masyarakat adat, seperti Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, memiliki tiga perda. Di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, sedang penyusunan perda masyarakat adat Kajang. 

Pengakuan lambat ini mengancam wilayah adat dengan kekayaan alam, termasuk hutan bakal habis terbabat. Sebab, sebagian wilayah adat itu sudah ‘terbebani’ izin-izin yang dikeluarkan pemerintah kepada para pengusaha. “Padahal, sekitar 70% hutan terbaik yang tersisa di Indonesia itu ada di wilayah adat,” kata Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).”  

Lambannya pengakuan hak inipun memicu konflik-konflik di lapangan, baik antara masyarakat adat dengan pengusaha maupun pemerintah. Penangkapan-penangkapan warga adat yang berdiam di wilayah mereka terus terjadi hingga kini di berbagai daerah.

Salah satu palang ditancapkan di Kampung Wambi di Wambi, Merauke, menolak masuknya perusahaan yang bakal mengancam kehidupan mereka. Foto: Agapitus Batbual

Munadi Kilkoda, ketua BPH AMAN Maluku Utara mengatakan, gerakan masyarakat adat di Indonesia berhasil mencuri perhatian dunia internasional. Misal, lewat keterlibatan pada pertemuan-pertemuan penting di dunia. Termasuk, tekanan internasional hingga terjadi berbagai perubahan kebijakan di negara ini.

Namun, katanya, masyarakat adat belum merdeka. Saat ini, mereka masih berhadapan dengan masalah klasik dari periode ke periode pergantian kekuasaan. “Di berbagai daerah kita mengalami hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam dirampas, justru negara melegitimasi itu,” katanya, Minggu (10/8/14).

Menurut dia, Indonesia memiliki persoalan mendasar yang sulit diselesaikan sesegera mungkin. Yakni, tata kelola SDA yang tidak berpihak pada masyarakat adat. Pembangunan, lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan menguras habis SDA, dan hak-hak masyarakat adat diabaikan.

Akhirnya, kata Munadi, terjadi konflik dan kemiskinan. Ratusan kasus konflik agraria terjadi setiap tahun. “Siapa yang rugi? Masyarakat adat, mereka kehilangan sumber ekonomi sebagai sumber menopang hidup.”

Dia mengatakan, ada terobosan hukum dengan MK-35 tetapi respon pemerintah Indonesia, lain dari semangat keputusan itu. “Ini diabaikan mereka. Sudah satu tahun lebih masyarakat adat menunggu presiden dan kepala daerah membuat kebijakan lebih populis, yang terjadi sebaliknya. Jadi memang tidak ada niat baik dari mereka.”

Masyarakat adat, katanya, justru terus dihadapkan dengan pemilik-pemilik modal yang didukung militer. “Pemerintah memelihara konflik ini, karena itu mereka tak memiliki kesungguhan menyelesaikan lewat MK-35.”

Belum lagi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (PPHMA), yang sudah tiga tahun terkatung-katung. “AMAN menuntut pemerintah mengesahkan RUU ini karena sangat penting guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat.”

Namun, sampai akhir pemerintah saat ini RUU masih di meja persidangan DPR. “Ironis bisa membentuk negara rakyat sejahtera, kalau negara masih memandang investasi padat modal lebih penting daripada pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat,” ucap Munadi.

Buldoser yang digunakan oleh pihak perusahaan untuk membuka hutan adat di Muara Tae, Kutai Barat, kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim

Senada dengan Margaretha Seting Beraan, ketua BPH AMAN Kalimantan Timur. Dia mengatakan, pengakuan masyarakat adat di Indonesia, masih jauh dari harapan.

“Gak jauh beda. Sekarang, kami desak agar pembahasan perda adat tingkat provinsi segera diselesaikan. Sedangkan kabupaten-kabupaten segera membuat perda adat sebagai bagian dari pelaksanaan MK 35,” katanya.

Margaretha mengatakan, perda ini sangat penting demi kepastian hukum kawasan kelola masyarakat adat dan klaim mereka atas tanah adat. “Perda ini juga dasar pengelolaan atas hutan adat dan perliindungan hukum bagi mereka. Terutama dalam menjaga dan mengelola hutan adat.”

Sampai kini, katanya, masih banyak kabupaten belum punya perda adat. Bahkan, Kaltim dalam membahas perda ini masih tarik ulur. “Mungkin bagi mereka perda ini tidak seksi karena tidak ada duit. Belum lagi, terlalu banyak kepentingan bersinggungan, terutama kepentingan investasi,” ujar dia.

Pandangan serupa juga datang dari Deftri Hamdi, ketua BPH AMAN Bengkulu.  Menurut dia, pada dasarnya tidak ada yang berubah kondisi masyarakat adat di Indonesia. Berbagai macam tata peraturan perundangan-perundangan yang berpihak kepada masyarakat adat tidak cukup mampu melindungi dan memberi pengakuan terhadap hak-hak kepada mereka.

Ekskalasi konflik pengelolaan sumber daya alam, kehutanan makin meningkat sepanjang 2013- 2014. Pengusiran dan kriminalisasi masyarakat adat, katanya, menggerus keyakinan mereka akan bernegara.

“Tidak ada pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat akan makin menjadikan mereka obyek pembangunan di negeri ini.”

Belum lagi, keputusan MK-35 tidak mampu dijalankan rezim SBY.  “Imbas tidak ada komitmen SBY dalam menjalankan perintah MK berdampak pada kebijakan politik di tingkat lokal. Pemerintah daerah menjadi tidak berani mengimplementasikan keputusan MK ini.”

Keindahan Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan, yang terus dijaga oleh masyarakat adat Meratus. Foto: Greenpeace

Berharap pada Presiden terpilih

Untuk itu, katanya, perlu kemauan politik kuat pemerintah dalam mengimplementasi kebijakan bagi masyarakat adat. “Presiden terpilih diharapkan berani membuat kebijakan dan terobosan startegis guna menjalankan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat.”

Dalam siaran pers Abdon mengatakan, tahun ini menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat adat. Sebab, pada pilpres kali ini AMAN resmi mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Menurut dia, jika produk hukum yang penting bagi masyarakat adat tak keluar pada pemerintahan SBY-Boediono,  maka agenda ini harus menjadi prioritas pasangan Jokowi-JK.

”Mudah-mudahan pasangan Jokowi-JK tidak mengingkari janji setelah menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”

Abdon mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus melanjutkan kebijakan satu peta (one map policy), moratorium izin baru di kawasan hutan, nota kesepakatan bersama (NKB) 12 kementerian dan lembaga negara dimotori KPK – UKP4.  Lalu, pengembangan ekonomi kreatif berbasis keragaman budaya, ekonomi hijau dan REDD+ berbasis masyarakat adat.

Ada lagi program pemerintah yang harus dikaji ulang, bahkan dihentikan antara lain master plan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).

Penetapan MP3EI, katanya, dalam memilih wilayah tertentu dengan kekayaan sumberdaya dilakukan sepihak. Masyarakat termasuk warga adat tak pernah diminta pendapat dan persetujuan sebagaimana terkandung dalam prinsip Free, Prior, Informed Concent (FPIC).