Busyro mengatakan, NKB bukan semata-mata hanya fokus pada pengembalian potensi penerimaan negara saja, melainkan juga perbaikan pada tata kelola yang lebih berkeadilan. “Sebab dalam perundangan, rakyat yang berdaulat itu harus menjadi penerima manfaat utama dari kebijakan pemerintah yang adil dan sejahtera,†kata dia dalam rilis yang diterima Metrotvnews.com, Senin (10/11/2014).
Dari salah satu persoalan saja misalnya, perizinan sumber daya alam, masih rentan terjadi suap atau pemerasan. Berdasarkan hasil kajian KPK pada 2013, untuk satu izin Hak Pengusahaan Hutan/Hutan Tanaman Industri (HPH/HTI), potensi transaksi koruptif berkisar antara 688 juta rupiah sampai 22 miliar rupiah setiap tahun.
Ada pula persoalan mengenai ketidakpastian status pada lebih dari 100 juta hektar kawasan hutan, serta ketimpangan yang terjadi pada pengelolaan hutan oleh kepentingan skala besar. Hanya sekitar tiga persen yang dialokasikan untuk skala kecil. “Nilai manfaat sumber daya alam tidak sampai ke masyarakat,†kata Busyro.
Setahun berjalan, hingga saat ini total implementasi NKB baru mencapai 50 persen. Secara riil, angka tersebut seharusnya dapat menjadi indikator peningkatan kepastian hukum dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk memberikan kontribusi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada negara.
Di bidang harmonisasi regulasi dan kebijakan Sumber Daya Alam (SDA) misalnya, perkembangan implementasi telah menyusun rancangan yang merevisi Peraturan Pemerintah tentang Perencanaan Hutan; Penerbitan Permentan 98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan; serta Penerbitan Permen ESDM 37 tahun 2013 tentang Kriteria Teknis Peruntukkan Kawasan Pertambangan dan Pengembangan Minerba One Map Indonesia.
Sementara perkembangan implementasi pada hal teknis dan prosedural pengukuhan kawasan hutan telah tercapai beberapa hal, antara lain; Pemutakhiran peta dasar skala 1:50 ribu dan penyediaan citra satelit resolusi tinggi kepada pemerintah daerah; Pelaksanaan pelatihan pemetaan partisipatif dan rancangan SOP pemetaan partisipatif; serta Penerbitan Permenhut P.62/2013 tentang perubahan Permenhut P.44/2012 dan Permenhut P.25/2014 tentang Panitia Tata Batas.
Terakhir, terkait dengan resolusi konflik, telah tercapai dua hal, yakni PelaksanaanNational Inquiry oleh Komnas HAM, serta Penerbitan edaran kepada Pemerintah Daerah untuk segera melakukan pemetaan sosial terhadap masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal di sekitar hutan.
Namun demikian, sejumlah hambatan dan tantangan juga masih ada dalam perjalanan implementasi NKB ini, antara lain; Persoalan egosektoral dan koordinasi antarkementerian/lembaga; Implementasi rencana masih menjadi pemenuhan dokumen semata, belum memberikan kontribusi terhadap kepastian hukum; Pelibatan masyarakat belum optimal; Perlu memperhatikan arah pembangunan pemerintahan baru dan perubahan strukturnya; dan Rencana aksi kurang fokus pada hal-hal strategis.
Sebagai informasi, pada 11 Maret 2013 lalu, NKB telah ditandatangani 12 Kementerian/Lembaga, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan akar masalah sektor sumber daya alam atau sektor kehutanan. Ke-12 instansi itu antara lain Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Komnas HAM, dan Bappenas. NKB ini berlaku sejak ditandatangani hingga 11 Maret 2016 dan dilaksanakan secara keseluruhan di 18 provinsi.
Menurut keyakinan KPK, persoalan pengelolaan hutan tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Perlu kerja sama antarkementerian/lembaga, agar penanganan sejumlah persoalan bisa teratasi secara komprehensif. Karena itu, KPK berharap kegiatan ini bisa mengoptimalkan peran masing-masing lembaga untuk mewujudkan tujuan nasional.
OGI
Sumber:Â http://news.metrotvnews.com/read/2014/11/11/316847/kpk-evaluasi-setahun-perkembangan-nkb-kehutanan