Dalam rangka memberikan pemahaman kepada publik soal perkembangan Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (RUU KKHE), Working Group ICCAs di Indonesia (WGII) menyampaikan lima konsen utama WGII yang perlu diketahui publik soal perkembangan RUU KKHE melalui Press Releasenya pada Selasa (11/4) di Kantor Eknas Walhi, Jakarta.
Working Group ICCAs di Indonesia (WGII) adalah lembaga yang konsern untuk mempromosikan dan mengadvokasikan kawasan yang dilindungi oleh masyarakat (ICCAs) di Indonesia yang didirikan seusai Simposium ICCAs di Bogor pada Oktober 2011 lalu. Lembaga yang tergabung dalam WGII yaitu: JKPP, NTFP-EP, WWF Indonesia, KIARA, HuMa, PUSAKA, AMAN, Sawit Watch, WALHI, BRWA.
Kasmita Widodo, Koordinator WGII, dalam pengantarnya menyatakan bahwa Masyarakat Adat/Masyarakat Lokal merupakan salah satu aktor pengelola konservasi di Indonesia dengan sistem kearifan lokal (praktek dan nilai) dan sudah terbukti berhasil dalam melakukan ‘konservasi keanekaragaman hayati’ di wilayahnya.
“Namun, upaya tersebut belum sepenuhnya diakui pemerintah sebagai bagian Tata Kelola Konservasi” ungkapnya.
” Oleh karena itu, WGII berupaya mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk mengakui Areal Konservasi Kelola Masyarakat atau disingkat AKKM”
AKKM merupakan areal yang dikelola dengan fungsi konservasi oleh Masyarakat Adat/Masyarakat lokal dalam suatu kesatuan ekosistem (bagian tidak terpisahkan dari ruang hidup masyarakat adat (wilayah adat) mulai dari pemukiman, pemenuhan kebutuhan hidup dan ruang konservasi) berdasarkan kearifan lokalnya
Baca: Release Media Working Group ICCAs Indonesia (WGII)
Dengan melihat fakta keberadaan AKKM ini, maka Negara harus menyediakan mekanisme pengakuan (termasuk administrasi) untuk menjamin dan melindungi AKKM baik di dalam atau sebagian di dalam Kawasan Konservasi, maupun di Kawasan Ekosistem Penting lainnya.
Konservasi melalui mekanisme AKKM ini menggunakan pendekatan konservasi secara ‘holistik.’ Nilai-nilai budaya dan alam sangat terkait erat, dan Masyarakat Adat/Masyarakat Lokal setempat adalah kunci untuk mempertahankan sistem kearifan tradisional dalam konservasi. Sehingga ketika Masyarakat Adat/Masyarakat Lokal memutuskan untuk menjalankan konservasi pada wilayah tertentu semestinya harus diakomodir oleh Pemerintah melalui mekanisme AKKM sebagai bagian dari upaya menjaga kelestarian ekosistem dalam kerangka wilayah Indonesia.
Fokus penting dalam Perumusan RUU KKHE: Menjaga dan Memperbaiki Ekosistem
Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (RUU KKHE) saat ini berada di tangan Komisi IV DPR RI. Dimana, RUU KKHE telah memasuki Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan sebagai RUU Prioritas 2017. Dengan demikian RUU akan diundangkan dalam kurun waktu 2017 ini.
WGII menilai bahwa ada beberapa aspek yang harus mendapat perhatian serius dari public Indonesia terkait substansi dari RUU KKHE ini, beberapa di antaranya akan dipaparkan berikut.
Pertama, RUU KKHE harus difokuskan pada upaya untuk menemukenali Sistem Pengelolaan Konservasi di luar mekanisme Negara saat ini seperti AKKM. Hal ini menjadi penting karena dengan adanya AKKM maka pemerintah akan terbantu dalam menjalankan konservasi terutama di daerah yang terpencil dan jauh dari jangkauan aparat pemerintah. Dengan demikian, Konservasi yang dilaksanakan dengan keterlibatan penuh dari Masyarakat khususnya Masyarakat Adat/Masyarakat Lokal akan membuat Konservasi Indonesia akan semakin kaya dan efektif.
Kedua, RUU KKHE hendaknya mengatur lebih rinci dan menyelaraskan pengaturan konservasi yang telah ada (i.e.: UU Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah Dan Air; UU Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil; UU Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan; UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sehingga, RUU KKHE akan menjadi dasar hukum yang melandasi pelaksanaan konserasi secara menyeluruh di Indonesia.
Ketiga, RUU KKHE hendaknya memfokuskan pada upaya perbaikan ekosistem yang telah terlanjur rusak oleh pemanfaatan berlebihan terdahulu sehingga tidak perlu ada tambahan pengaturan yang berkaitan dengan pemanfaatan atau eksplorasi (i.e.: pengaturan geothermal sudah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang PANAS BUMI).
Keempat, RUU KKHE hendaknya mengatur sistem pengadministrasian Kawasan Konservasi dengan baik, bijak dan memperhatikan hak-hak Masyarakat Adat/Masyarakat Lokal. Dalam konteks penetapan Kawasan Konservasi penting ada kepastian atas batas-batas kawasan dengan FPIC dari Masyarakat Adat/Masyarakat Lokal. Pemberlakuakan batas kawasan tanpa FPIC tidak memberikan legitimasi kepada Negara untuk melakukan penghukuman atau upaya paksa terhadap Masyarakat Adat/Masyarakat Lokal dalam hal ada tumpeng tindih penguasaan ruang. Karena Asas Legalitas adalah asas penting dalam penerapan pidana dan upaya paksa nantinya dalam perlindungan kawasan konservasi ke depannya.
Kelima, Penegakan Hukum dalam Pengelolaan Konservasi dalam RUU KKHE hendaknya dilakukan oleh Aparat Pemerintah sesuai kewenangannya dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Pertanggungjawaban Pemerintah melalui aparat hukumnya adalah sesuatu yang dijamin oleh hukum. Oleh karena itu, keberadaan Pasal 128 jo Pasal 129 RUU KKHE dalam penegakan hukum, tentang keberadaan tenaga pengamanan hutan (swasta) tidak sesuai dengan Sistem Peradilan di Indonesia khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
Mendukung hal tersebut, Sandoro Purba (JKPP) menyatakan jika dalam RUU KKHE ini penting didorong supaya ada mekanisme yg partisipatif dalam penunjukan Kawasan Konservasi terlebih AKKM.
“Karena selama ini tumpang tindih kawasanlah yang mengakibatkan konflik”
“Juga, ketidaksesuaian penunjukan fungsi kawasan oleh negara menjadi momok bagi Masyarakat karena kerap mengakibatkan kriminalisasi bagi masyarakat khususnya Masyarakar Adat” ungkap Sando.
Add Comment