“Punna ammangrakiko borong, Nupanrankii tuhu sengru”
(Jika anda merusak hutan, maka anda merusak generasimu)
Kalimat diatas merupakan prinsip dan pesan leluhur yang dianut oleh masyarakat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dalam mengelola hutan diwilayahnya.
Demikian disampaikan oleh H. Mansjur Embas, Tokoh Komunitas Adat Ammatoa Kajang saat ditemui disela-sela Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke V pada Minggu (18/3/2017) di Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara.Hutan Adat Ammatoa Kajang seluas 313,99 hektare termasuk dari 9 Komunitas Masyarakat Hukum Adat di Indonesia yang telah ditetapkan sebagai hutan adat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jum’at (30/12/2016) lalu di Istana Negara, Jakarta.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan pemerintah menindaklanjuti pengakuan wilayah hutan adat dari spot-spot wilayah hutan adat. Hutan adat tersebut telah diidentifikasi oleh sejumlah pihak pendamping atau yang telah menjadi usulan masyarakat adat sendiri secara langsung.
“Saat ini sedang terus dilakukan proses artikulasi dan verifikasi wilayah, dan peta hutan adat ini akan dicantumkan dalam peta kawasan hutan” kata Siti Nurbaya dalam sambutannya pada acara pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara V, di Kampong Tanjung Gusta, Sumatra Utara, Jumat 17 Maret 2017
Masyarakat Adat Ammatoa Kajang merupakan salah satu Komunitas adat di Provinsi Sulawesi Selatan yang sejak keberadaanya hingga saat ini mendiami wilayah adatnya secara turun temurun dan masih tetap teguh mempertahankan serta menjalankan adat istiadatnya.
Kehidupan masyarakat adat Ammatoa Kajang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan yang dianut yaitu Manuntungi Ada’ yang bersumber dari ‘Pasang rikajang’ yaitu berupa pesan, petuah, amanah yang sifatnya sakral dan hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Pasang ri Kajang berisi nilai-nilai, prinsip-prinsip, hukum dan aturan dalam merajut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antar sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Hutan adat Ammatoa Kajang sendiri dibagi atas dua jenis yakni Borong karamaka atau hutan keramat, dan Borong battasaya atau hutan batas.
Borong Kamaraka merupakan hutan terlarang yang terletak di Dusun Benteng. Hutan ini terlarang untuk dimasuki, diukur, maupun dicatat luas arealnya serta menganggu flora dan fauna yang ada dalam hutan. Sementara di Borong Battasaya dibolehkan mengambil kayu (menebang pohon) dengan syarat-syarat tertentu.
Di wilayah adat Ammatoa Kajang dikenal dengan Pantangan atau larangan, diantaranya sebagai berikut :
1. Ta’bang kaju
Dilarang menebang kayu tanpa ijin dari Ammatoa. Pengambilan kayu di borong battasayya hanya bisa dilakukan dengan seizin Ammatoa, dengan prosedur antara lain: 1) Masyarakat harus menyampaikan keinginannya ke Galla Puto; 2) Galla Puto menyampaikannya ke Ammatoa; 3) Ammatoa memutuskan boleh tidaknya pengambilan kayu dengan pertimbangan antara lain: tujuan, jumlah, ukuran, serta jenis kayu yang diminta; 4) Setelah ada persetujuan dari Ammatoa, Galla Puto dan Galla Lombo mengecek lokasi yang telah dtentukan dan memeriksa ketersediaan kayunya; 5) Proses pengambilan kayu ini harus disaksikan oleh Galla Puto dan galla Lombo untuk memastikan tak adanya pelanggaran. Penebangan kayu juga tidak menggunakan peralatan modern, seperti mesin chainshaw, tapi menggunakan peralatan tradisional yang disebut pangkulu’ atau wase (kampak).
2. Tatta Uhe
Dilarang meretas atau memotong rotan tanpa seijin Ammatoa.
3. Tunu Bani
Dilarang membakar lebah, karena lebah merupakan hewan yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat berupa penyerbukan. Jika lebah tidak, maka seluruh kehidupan akan gersang menunggu kematian.
4. Rau Doang
Dilarang mengambil hasil sungai berupa tangkapan udang, ikan atau sejenisnya terkecuali untuk perayaan ritual adat.
Dijelaskan H. Mansjur, Pelanggaran dalam pengelolaan hutan oleh warga kajang akan mendapatkan sanksi adat, belum lagi keyakinan adanya kekuatan gaib yang melindungi hutan itu dari gangguan pihak luar.
Sanksi tersebut dilihat dan diukur berdasarkan tingkatannya serta diputuskan oleh Adat dan koordinasi dengan pemerintah. Ada tiga Sanksi yang berlaku di adat Ammatoa Kajang, yaitu :
1. Poko ba’bala, yakni sanksi berat, biasanya dikenai kewajiban membayar denda sebesar Rp. 24.000.000,-
2. Tanga ba’bala, yakni sanksi sedang, biasanya dikenai kewajiban membayar denda sebesar Rp. 12.000.000,-
3. Capa ba’bala, yakni sanksi ringan, biasanya dikenai kewajiban membayar denda sebesar 6-8 Juta Rupiah.
Disinggung tentang penetapan SK Hutan Adat oleh Pemerintah, H. Mansjur menyatakan kegembiraanya yang luar biasa. Menurutnya, pemerintah telah mampu melihat upaya pengelolaan hutan secara adat yang mampu memberikan manfaat besar untuk banyak hal, baik itu ekonomi dan ekologi.
“Secara internal adat, kami mampu mengatur dan mengendalikan pengelolaan hutan, namun kami tidak mampu mengendalikan ancaman dari pihak luar” ungkapnya.
“SK Penetapan hutan adat ini adalah jawaban dari kegelisahan kami, karena inilah yang mampu menangkal pengaruh negatif dari pihak luar” tegasnya.
Imam Hanafi, Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengucapkan syukur atas ditetapkannya 9 komunitas masyarakat adat yang sudah mendapatkan sertifikat Hutan Adat, termasuk salah satunya Ammatoa Kajang. Namun Imam mengingatkan jika hingga saat ini masih banyak wilayah adat yang belum teridentifikasi.
“Untuk mendukung hal ini, diharapkan pemerintah mendukung dalam kontek kebijakan, kelembagaan, mekanisme dan metodologi agar dapat mempermudah proses identifikasi dan pengakuan masyarakat adat” ujar Imam. (@ajipanjalu )
Mudah-mudahan wilayah lain akan segera menyusul untuk mendapatkan hak dan pengakuan dari pemerintah
Divisi Pelayanan sudah mulai sibuk nih, tetap semangat kang Diar