Artikel Berita Pemetaan Partisipatif

Mengurai Konflik Pemanfaatan Ruang Laut dan Pesisir

Indonesia negeri kepulauan, tapi tak mudah mengelola konflik perairannya. Warga lokal dan komunitas adat membutuhkan jaminan bisa memanfaatkan pesisir dengan adil, tidak dimonopoli pihak tertentu.

Hal ini nampak dalam diskusi oleh Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), pada awal Juli 2024 secara daring dengan topik “Arah Kebijakan dan Kepastian Pengakuan serta Perlindungan Masyarakat Adat, Lokal dan tradisional di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil”.

Iwan Dewantama dari Yayasan Abdi Bumi masih bingung dengan izin pengelolaan dan pemanfaatan di pesisir dan laut dari contoh konten viral di media sosial. Seorang warga yang berselancar di Sumba namun dilarang staf resor sangat populer di lokasi itu.

“Resor di Sumba yang mengusir warga lokal yang melakukan surfing di kawasan resort mengaku punya izin pengelolaan. Apakah ada izin ke swasta padahal tidak ada fasilitas menetap,” tanyanya. Padahal kalau surfing, tidak perlu ada izin, bisa di pantai mana pun karena tidak pemanfaatan atau kegiatan menetap.

Tely Dasaluti, Ketua Tim Hukum Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, para pelaku usaha harus melihat wilayah pesisir sekitarnya, harus diteliti jenis izinnya apakah sesuai. Ia setuju lokasi surfing dan diving tidak boleh diklaim karena bukan kegiatan menetap. “Tidak boleh dimonopoli, kalau punya restoran di atas laut bisa mengurus izin PKKPRL. Ini izin dasar,” ujarnya.

Jaring Nusa menilai terdapat pengaturan mengenai perizinan pemanfaatan ruang pada perairan pesisir, laut dan pemanfaatan pulau kecil. Namun demikian, hingga saat ini banyak konflik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang terjadi melibatkan kelompok kepentingan antara masyarakat, investor dan pemerintah.

Permasalahan konflik ruang di wilayah pesisir dan perairan yang menjadi sebab dan banyak mendapat sorotan di Indonesia meliputi kegiatan deforestasi mangrove, pembukaan lahan tambak, pemukiman, pembangunan infrastruktur, pertambangan, industri pariwisata, pencemaran, reklamasi, IUU fishing, dan konflik pemanfaatan wilayah tangkap serta wilayah kelola di laut.

Banyak pihak mengungkapkan bahwa kebijakan tata ruang yang diharapkan dapat menjamin wilayah pengelolaan masyarakat pesisir justru kerap menjadi legitimasi perampasan ruang hidup masyarakat di pesisir dan ruang laut. Kepastian hak, akses dan kontrol masyarakat khususnya masyarakat lokal dan adat terhadap wilayah penghidupan mereka di wilayah pesisir dan laut seharusnya mendapatkan prioritas untuk dilindungi dan diakui.

Jejaring Belajar Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kawasan Timur Indonesia membedakan kedalam tiga tipe atau karakteristik masyarakat pesisir yakni masyarakat hukum adat, lokal dan tradisional. Perwujudan dari ketiga karakteristik ini memiliki perbedaan dalam skema pengakuan dan implikasi terhadap rezim perizinan pemanfaatan ruang laut.

Posisi masyarakat lokal/tradisional dinilai sangat lemah dalam konteks pengakuan wilayah kelola dan hal ini perlu mendapat kepastian mengingat terdapat ribuan desa-desa tepi pantai di Indonesia. Adakah peluang kebijakan untuk mengakui dan melindungi wilayah masyarakat lokal di dalam regulasi kita?

Regulasi pemerintah daerah menekankan bahwa pemerintah daerah mempunyai kewenangan melakukan penataan ruang. Penataan ruang bukan hanya mengatur struktur dan fungsi ruang yang ada di wilayah daratan saja, tetapi termasuk wilayah pesisir dan laut sejauh 12 mil.

Tely memaparkan izin pengelolaan dan pemanfaatan ruang laut ini tergantung kategorinya apakah termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, atau masyarakat tradisional.

Masyarakat hukum adat (MHA) adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di NKRI karena adanya ikatan pada asal usul leluhur; hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, pranata pemerintahan adat; dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesisir dan pulau- pulau kecil tertentu.

Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.

“Banyak regulasi perlindungan masyarakat hukum adat. Tahap fasilitasi perlindungan MHA bisa dinisiasi pemerintah daerahnya, bahkan lebih bagus karena tugas pemerintah daerah,” katanya. KKP juga bisa mengesahkan dengan surat keputusan seperti tradisi sasi. Tapi bukan pemetaan wilayah kelolanya.

Saat ini terdapat 33 MHA teridentifikasi, baru ditetapkan tersebar di lima provinsi. “Silakan dilaporkan MHA lainnya,” ajaknya. MHA Malaumkarta Distrik Makbon Kabupaten Sorong ditetapkan melalui Peraturan Bupati Sorong perikanan dan wisata bahari. MHA ini punya sistem sasi buka tutup sebagai praktik konservasi.

Diskusi berlangsung karena masih ada kebingungan masuk kelompok mana. Terlebih mana yang disebut pemanfaatan menetap dan tidak.

Amin Abdullah dari Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan, Lombok bercerita daerahnya punya pengelolaan perikanan dalam bentuk awiq-awiq, aturan adat tapi pendekatannya perairan bukan per kegiatan. Apakah bisa mengajukan izin kelola? Kegiatan pemanfaatan harus menetap bukan nelayan bergerak di wilayah tangkap lain.

Yasin Labente dari PHW Sulteng menyebut masyarakat adat Togean berkonflik dengan taman nasional terkait sertifikasi. Sementara Marthin dari FIAN Indonesia bertanya apakah ada kawasan perikanan khusus untuk nelayan kecil? Tely menjawab nelayan kecil dapat prioritas, punya akses 0-2 mil, sehingga seluruh kegiatan harus melibatkan mereka termasuk industri pariwisata.

Muhammad Ismail, pengajar Politeknik Kelautan dan Perikanan, Karawang menaparkan “Tantangan regulasi terhadap pengakuan wilayah Kelola Masyarakat lokal dan tradisional di wilayah pesisir.” Menurutnya tantangan perilaku masyarakat pesisir adalah kurang pengetahuan konservasi, berkegiatan tanpa pemulihan, dan pihaknya menerima keluhan masyarakat di pesisir NTT, Bali, soal monopoli kawasan pesisir. “Tindak lanjutnya, pengelolaan jangan parsial, top down, disesuaikan kebutuhan,” sebutnya.

Sementara itu Imam Hanafi, Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif mengajak mengenal pemetaan partisipatif sebagai metode identifikasi tata ruang laut versi masyarakat.

Keunggulan peta partisipatif adalah adanya kesepakatan batas dan penentuan fungsi ruang oleh warga.  Permasalahan belum ada walidata yang melakukan identifikasi, verifikasi dan registrasi terhadap wilatah tanah adat dan wilayah kelola rakyat, tumpang tindih pemanfaatan dan penguasaan ruang,

Rekomendasinya terbukanya ruang partisipasi dalam identifikasi dan verifikasi, kesadaran politis para pihak untuk melakukan sinkronisasi data, penguatan masyarakat melek data dan melek geospasial, adanya nomenklatur dalam geospasial melalui anggaran desa.

“Peta ini statusnya indikatif karena banyak walidata, bisa ada tumpang tindih. Perlu komunikasi dengan pihak terkait. Ruang dan peta sifatnya politis, kita ingin kebijakan peta partisipatif masuk ke satu data, terintegrasi,” harapnya.

Pengalaman menarik dibagi Agnes Ngura dari Yayasan TananuaFlores/Jaring Nusa. Ia terlibat pembuatan peraturan desa (Perdes) bersama lima desa di Kecamatan Ndori. Awalnya karena adanya ancaman pemanfaatan pesisir dan laut padahal memiliki potensi tinggi. Strategi pendekatannya, pada 2021 pendampingan dengan pendataan terutama nelayan gurita, ada umpan balik data dengan masyarakat dan Pemdes. Setelah itu buat forum diskusi dengan seluruh pihak. Kemudian membuat draft peraturan perdes bersama, konsultasi kabag hukum, revisi. “Cukup lama, proses berulang, sekitar 1,5 tahun. Jika Perbup prosesnya lebih panjang, kita mulai dari hal kecil,” kata perempuan muda ini.

Sumber :

Mengurai Konflik Pemanfaatan Ruang Laut dan Pesisir — oleh Luh De Suriyani dalam artikel Mogabay