Hutan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat adat Malalo, Sumatera Barat (Sumbar). Hutan menjadi penentu kelangsungan hidup mereka sebagai masyarakat hukum adat, dimana hutan merupakan bagian dari ulayat. Hutan adalah sumberdaya alam yang menjadi kekayaan adat, maka pengelolaannya harus berdasarkan aturan adat, bak bunyi pepatah “dimana ada masyarakat, disana ada hukum,†seperti itu pula yang terjadi dengan pengelolaan hutan adat Malalo. Masyarakat memiliki aturan tersendiri dalam melakukan pengelolaannya sumberdaya hutan.
Untuk kebutuhan pengelolaan dan pemanfaatannya, masyarakat adat Malalo membagi pengelolaan hutan tersebut menjadi tiga fungsi pengelolaan yaitu Hutan Larangan, merupakan hutan ulayat Nagari yang belum terbagi kepada suku-suku, seluruh isi hutannya tidak dapat dimanfaatkan baik berupa hasil hutan kayu maupun bukan kayu, biasanya letaknya jauh ditengah hutan.
Hutan Cadangan merupakan kawasan hutan yang belum terbagi kepada suku-suku namun memungkinkan untuk dibagi seiring dengan pertumbuhan penduduk, pemanfaatannya dapat berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu dan harus seizin ninik mamak penguasa ulayat. Hutan Paramuan merupakan kawasan hutan yang sudah terbagi kedalam suku-suku dan dapat dimanfaatkan oleh Anak Nagari baik berupa kayu, hasil hutan lainnya, maupun diolah menjadi areal peladangan.
Wilayah adat Malalo terbagi kedalam dua administrasi pemerintahan nagari yaitu Nagari Guguak Malalo dan Nagari Padang Laweh, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumbar. Masyarakatnya tinggal berbatasan langsung dengan Bukit Barisan Satu. Daerah yang terletak dibagian barat danau Singkarak itu berada dikelerengan 30-60 derajat, sehingga tidaklah heran jika kita sulit menemukan lahan datar ataupun landai didaerah tersebut. Sekitar 75 persen daerahnya merupakan kawasan hutan, 15 persen merupakan kawasan perairan Danau Singkarak, 0,9 persen merupakan areal persawahan, 0,1 persen merupakan pemukiman masyarakat. Nagari ini merupakan kawasan penyangga dari ekosistem danau singkarak, karena memiliki tutupan hutan yang luas daerahnya merupakan sebagai penghasil sumberdaya air terbesar di Kabupaten Tanah Datar.
Masyarakat Adat Malalo berasal dari nagari Pariangan (Nagari Tua Minangkabau) yang melakukan perjalanan untuk mencari daerah baru seiring dengan pesatnya perkembangan penduduk di Nagari Tua tersebut. Malalo adalah nagari yang dipilih untuk dijadikan daerah baru untuk pemukiman, perladangan dan daerahnya cocok untuk kegiatan pertanian.
Setelah rombongan tersebut memutuskan untuk menetap di Malalo, kemudian dibentuklah Nagari di daerah tersebut guna mempermudah urusan pemerintahan adat. Malalo selanjutnya dibagi kedalam tiga pemerintahan adat yaitu: Jurai Guguak, Jurai Padang Laweh dan Jurai Tanjuang Sawah, namun masih dalam satu wilayah adat. Pembagian ini dalam rangka mempermudah urusan kepemerintahan dalam melakukan koordinasi antar pemimpin Jurai. Masing-masing Jurai mempunyai sistem kelarasan yang berbeda yaitu: Jurai Guguak, menggunakan sistem adat campuran (lareh nan Panjang) antara Koto Piliang dan Bodi Chaniago; Jurai Padang Laweh, menggunakan sistem Kelarasan Bodi Chaniago; Jurai Tanjuang Sawah menggunakan sistem Kelarasan Koto Piliang.
Suku asli dari masyarakat adat Malalo adalah suku Jambak namun karena perkembangan penduduk, timbul persoalan terkait dengan perkawinan sesuku yang berdasarkan hukum adat hal itu dilarang sehingga akhirnya suku Jambak dipecah menjadi sebelas suku diantaranya adalah Muaro Basa, Nyiur, Makaciak, Pauh, Simawang, Talapuang, Melayu, Jambak, Pisang, Sapuluah dan Baringin.
Masing-masing mempunyai struktur adat yang melekat dalam penguasaan dan pengurusan ulayat. Struktur adat tersebut antara lain Penghulu Pucuk, merupakan orang yang dituakan, orang arif dan bijaksana, pendapatnya merupakan rujukan dalam menjawab permasalahan yang terjadi di dalam Nagari. Penghulu Pucuak berfungsi sebagai orang yang menentukan pengelolaan hutan ataupun untuk dijadikan lahan peladangan, di Malalo disebut â€memancang rimbo.â€
Aturan Adat Yang Ketat
Wilayah adat Malalo berdasarkan kegiatan pemetaan partisipatif yang telah dilakukan oleh masyarakat memiliki luas wilayah sekitar ± 10.689 hektar. Wilayah ini berbatasan sebelah utara dengan Nagari Sumpur dan Nagari Bungo Tanjung, sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Paninggahan (Kabupaten Solok), sebelah timur berbatasan dengan Nagari Simawang dan sebelah barat berbatasan dengan Nagari Anduring (kabupaten Padang Pariaman).
Masyarakat adat Malalo konsisten dalam menjaga hutan. Selain berguna menjaga kebutuhan sumberdaya air akan tetapi juga menjaga kawasan pemukiman dari ancaman bencana longsor atau galodo. Guna menjaga tutupan hutan, masyarakat menerapkan sanksi adat bagi siapa saja yang memasuki hutan larangan dan hutan cadangan yang telah diperuntukkan. Bahkan seorang petugas dari Dinas Kehutanan pun pernah diberikan sanksi adat pada saat memasuki kawasan hutan larangan guna melakukan kegiatan penataan batas kawasan hutan di daerah tersebut.
Mawardi Dt. Mali Puti, wakil ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Guguk Malalo saat dihubungi Mongabay (29/01/2015) mengatakan sudah ada aturan adat mengenai pengelolaan hutan di Malalo, sampai saat ini aturan itu masih berlaku. Sebagaimana yang tertuang dalam pepatah adat “kok sawah lah ba pamatang, kok rimbo lah bamuntalak,†artinya sawah-sawah telah terbagi kedalam bidang-bidang pembatas kepemilikannya sementara itu hutan sudah ada pembagiannya pengelolaannya.
“Dilarang melakukan penebangan pohon di daerah kelerengan 40 persen, jika kedapatan melakukan penebangan di daerah tersebut akan diberikan sanksi adat,“ tegasnya.
Pengajuan Penetapan Hutan Adat
Disamping itu Mawardi meminta kepada pemangku kepentingan untuk turut serta membantu masyarakat nagari Guguk Malalo dalam mendorong percepatan penetapan hutan adat Malalo. Selanjutnya kedepan akan dilakukan dialog bersama masyarakat sempadan untuk meminta persetujuan pengakuan wilayah Adat Malalo.
Masyarakat adat Malalo tidak mengakui klaim Negara atas kawasan hutan yang ada di wilayah adat Malalo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 422/Kpts-ll/1999 tanggal 15 Juni 1999 sebagaimana yang telah diubah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Sumatera Barat bahwa dalam kawasan hutan Adat Malalo terdapat kawasan hutan cagar alam Bukit Barisan I dan kawasan hutan lindung, hanya sedikit daerah mereka yang masuk kedalam kawasan hutan bebas atau kawasan dengan peruntukan areal penggunaan lain (APL). Jika ditinjau dilapangan banyak areal peladangan dan pemukiman masyarakat yang masuk kedalam kawasan hutan lindung sebagaimana yang ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan di atas.
Nora Hidayati, selaku Koordinator Program dari Perkumpulan Qbar saat ditemui Mongabay mengaku pihaknya semenjak tahun 2006 telah melakukan pendampingan terhadap masyarakat adat malalo. Adapun kegiatan yang dilakukan mulai dari mendorong penyelesaian konflik antara masyarakat dengan Pemkab Tanah Datar mengenai penetapan tata batas kawasan hutan di wilayah Adat Malalo, melakukan kajian terhadap kearifan lokal mengenai pengelolaan sumberdaya alam dan mendorong penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya air antara masyarakat dan PLTA Singkarak.
“Saat ini kami bersama masyarakat intens melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah guna mendorong percepatan penetapan hutan adat Malalo,†ucapnya.
Nora menambahkan beberapa bulan kedepan pihaknya akan melakukan komunikasi dengan nagari-nagari sempadan untuk meminta pengakuan wilayah Adat Malalo. Hal ini dilakukan agar kedepan tidak terjadi konflik mengenai tata batas maupun terkait dengan pengelolaannya.
Nora menambahkan beberapa bulan kedepan pihaknya akan melakukan komunikasi dengan nagari-nagari sempadan untuk meminta pengakuan wilayah Adat Malalo. Hal ini dilakukan agar kedepan tidak terjadi konflik mengenai tata batas maupun terkait dengan pengelolaannya.
Masyarakat adat Malalo memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan. Jika ada diantara anak-kemenakan yang hendak menikah, maka mereka harus terlebih dahulu menanam lima batang pohon di kawasan hutan. Setelah melakukan penanaman itu barulah pemangku adat dapat mengeluarkan surat persetujuan untuk pelaksanaan pernikahannya. Selanjutnya jika ada diantara anak-kemenakan yang hendak mendirikan rumah, maka dilarang baginya untuk menebang kayu minimal sejauh 100 meter dari bantaran sungai dan wajib untuk menanamnya kembali.
Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat, Hendri Octavia, kepada Mongabay pada Jumat (30/01/2015) mengatakan, pihaknya mendukung jenis kegiatan kehutanan dalam bentuk atau skema apapun, baik dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa/Nagari (HD), Hutan Rakyat (HR), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) atau Hutan Adat. Tugas pokok Dinas Kehutanan adalah memberikan arahan teknis pengelolaan kehutanan tersebut, melakukan rehabilitasi kawasan, mendorong pemanfaatannya.
“Jika hutan adat dikelola oleh masyarakat, maka pengawasannya harus dilakukan langsung oleh si pemilik, jika dimintakan bantuannya kepada pihak dinas kehutanan, kami bersedia,†ujar Hendri.
Dinas kehutanan propinsi sudah memasang target pengelolaan hutan berbasis masyarakat seluas 500.000 hektar, untuk saat ini dibeberapa kabupaten/kota terus didorong melakukan pengajuannya bersama dengan masyarakat, terkhusus bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan. Dia berharap dengan pengelolaan hutan, masyarakat mampu meningkatkan perekonomian dan taraf hidup, tambahnya.
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/02/02/menunggu-harapan-penetapan-hutan-adat-malalo/