Pemetaan Partisipatif

Merekonstruksi Tata Ruang Aceh

TANGGAL 1 Februari lalu, Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa pemerintah sedang bekerja keras merampungkan Master Plan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh. Cetak biru program rehabilitasi dan rekonstruksi kota-kota di Aceh yang terkena gempa bumi dan tsunami akan selesai dalam waktu dua-tiga minggu (Kompas, 2/2).

Kemudian, beberapa hari yang lalu diberitakan bahwa Master Plan Aceh yang baru tersebut akan didiskusikan dengan masyarakat Aceh untuk kemudian disempurnakan. Master Plan tersebut, yang salah satunya berupa “Rencana Tata Ruang Aceh Pasca-Tsunami”, selain ditunggu oleh banyak sektor yang lain, juga para donor yang akan segera menyalurkan bantuannya dan masyarakat yang ingin segera membangun kembali permukimannya. 

Korban ingin kembali 

Pada awal Februari 2005, saya dan teman-teman berkesempatan melakukan damage rapid assessment dan participatory planning awal dalam konteks tata ruang dan permukiman di Banda Aceh. Aktivitas ini dilakukan di tiga kawasan, yakni Desa Jeulingke, Gampung Baro, dan Lamjabat. 

Di tiga desa ini, mayoritas penduduk telah meninggal atau hilang, sedangkan penduduk yang selamat masih terpencar-ada yang di posko penampungan sementara atau menumpang di sanak saudara. Secara umum kondisi jalan tidak terlalu rusak, namun drainase dan sanitasi tidak berfungsi, air bersih tidak tersedia, sedangkan sumur penduduk terkontaminasi. 

Pada umumnya mereka berterima kasih kepada pemerintah yang telah memberi penampungan dan bantuan seperti uang Rp 150.000 per orang, beras, lauk-pauk, dan sebagainya. Namun, sekarang mereka mulai berpikir, sampai kapan harus bergantung pada pemerintah? Dan, ketika ditanyakan apakah mereka ingin kembali ke kampung halaman semula, mayoritas menjawab, ya. 

Mereka tidak takut kembali ke permukiman semula karena menganggap bahwa “bencana adalah takdir dan percobaan dari Tuhan karena kita berdosa”, “ajal akan datang dimanapun kita berada -di pantai terkena tsunami, pindah ke gunung pun, bila Tuhan menghendaki gunung akan meletus”. 

Apakah mereka masih trauma? 

Mereka mengaku tidak lagi trauma, tapi sering stres karena tak ada kegiatan, tak punya pekerjaan dan penghasilan, serta khawatir tidak diperbolehkan kembali ke tempat semula karena kawasan mereka akan dikurangi kepadatannya untuk digantikan penghijauan, sedangkan permukiman mereka akan diubah menjadi tempat rekreasi dan mereka akan dipindahkan ke kota baru di pegunungan. 

Dilema rehabilitasi/rekonstruksi 

Kekhawatiran masyarakat korban bencana di atas tampaknya akibat dari berita-berita tentang berbagai ide rencana Tata Ruang Aceh seperti kota-kota pantai harus dikurangi kepadatannya; pemerintah akan membangun kota baru guna merelokasi penduduk korban gempa eks tsunami; jarak sempadan pantai yang baru adalah dua kilometer; kawasan pantai akan dihijaukan sebagai kawasan penyangga; bahwa gelombang tsunami membawa pasir vulkanik yang beracun sehingga permukiman lama tidak lagi layak huni… dan seterusnya. 

Kekhawatiran masyarakat terhadap rencana tata ruang pemerintah tampaknya membuat situasi menjadi dilematis. Melalui tulisan ini, penulis memberanikan diri untuk coba mengajukan beberapa pendekatan. Yang pertama adalah perihal rencana untuk mengurangi kepadatan penduduk kota pantai. Fakta lapangan menunjukkan, mayoritas dari warga di pesisir Banda Aceh telah dipanggil Tuhan. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi terlalu mengkhawatirkan kawasan-kawasan eks tsunami tersebut akan segera menjadi padat dalam waktu dekat. 

Kedua, perihal relokasi penduduk ke kota baru. Mungkin perlu kita renungkan kembali bahwa relokasi permukiman bukanlah pekerjaan yang mudah karena sering kali relokasi justru memiskinkan penduduk yang dipindahkan; dan pembangunan kota baru pada kenyataannya sangat sulit menarik warga untuk tinggal di sana. Hal ini disebabkan kota akan tumbuh kalau kesempatan kerja tersedia, kemudian pekerjaan membuahkan penghasilan, dan penghasilan menciptakan akumulasi dan sirkulasi kapital-bukan sebaliknya kota baru dibangun, kemudian pekerjaan muncul dan akumulasi kapital terjadi. 

Bencana dan perang memang sering kali berhasil meluluhlantakkan sebagian kota dan penduduknya, namun janganlah kita membayangkan bahwa peradaban sudah lenyap. Di sana masih tersisa sistem kepemilikan lahan, jalan, tempat, masjid, sejarah, roh dan memori keluarga/masyarakat, dan juga pola tenunan sosial dan ekonomi-yang barangkali tidak kasatmata-tapi menunggu dirajut kembali dalam proses rehabilitasi/rekonstruksi. 

Strategi rekonstruksi tata ruang 

Bila pemahaman di atas bisa diterima, pemerintah sebaiknya memfokuskan dulu penyusunan rencana tata ruangnya pada kawasan eks tsunami yang mampu memberdayakan upaya-upaya perbaikan dan pembangunan kembali seluruh sistem ekonomi, sosial, permukiman, dan perkotaan yang ada. Bila ternyata relokasi dan pembangunan kota baru terpaksa harus dilakukan, maka sebaiknya ia harus diusahakan untuk “merelokasi penduduk ke kawasan permukiman baru yang sedekat-dekatnya dengan tempat tinggal mereka semula”. 

Dengan demikian, sebenarnya kita tidak perlu membuat tata ruang yang sama sekali baru, tapi merehabilitasi/merekonstruksi saja tata ruang kota yang pernah ada sehingga kota-kota Aceh di masa yang akan datang lebih mampu bertahan terhadap bencana tsunami. 

Selanjutnya, karena kita semua tidak pernah tahu kapan dan seberapa besar tsunami akan datang menghantam lagi, untuk rencana tata ruang Aceh sebaiknya ia berupa skenario besar (grand scenario) saja (tidak usah sampai plan), disertai dengan model-model penataan kawasan pantai yang mampu bertahan terhadap tsunami. Dengan demikian, kita tidak usah terburu-buru membuat zoning delineation dan zoning plan yang pasti/ tetap, seperti menetapkan garis sempadan pantai selebar 1 km atau 2 km, atau tata guna lahan pasca-tsunami yang seragam dan sangat kaku sepanjang kawasan pantai Aceh. 

Dari kawasan ke kota dan wilayah 

“Skenario Besar Tata Ruang Aceh” di atas dengan segera akan bisa menjadi acuan untuk menyusun tata ruang Aceh pada tingkatan berikutnya. Karena prinsip tata ruangnya adalah revisi, sedangkan stakeholders korban bencana harus diajak ikut merencanakan, maka proses penyusunannya sebaiknya dibalik, bukan dari atas ke bawah, tapi dari bawah ke atas. 

Artinya, urutan penyusunannya bukan seperti biasanya kita menyusun tata ruang, yakni dari tata ruang wilayah ke kota/kabupaten dan selanjutnya ke kawasan, tapi sebaliknya dari kawasan ke kota dan selanjutnya ke wilayah. Akumulasi dari revisi berbagai tata ruang kawasan inilah yang nantinya membentuk revisi tata ruang kota/kabupaten; sedangkan akumulasi berbagai tata ruang kota/kabupaten inilah yang nantinya akan diolah untuk merevisi tata ruang wilayah Aceh. 

Proses perencanaan dari bawah ke atas ini memiliki potensi untuk lebih dapat melindungi kepentingan dan aset sosial ekonomi dan perumahan warga korban bencana. Pada level kawasan ini pula kita baru akan menentukan garis sempadan pantai (delineation), allignment sabuk-sabuk penyangga tsunami seperti hutan mangrove, tanggul, hutan cemara atau kelapa, dan rencana tata guna lahan baru yang sensitif terhadap penggunaan lahan, infrastruktur sebelumnya dan menyatu terhadap struktur kota yang ada. 

Sebagai penutup, adalah sangat bijak kalau pemerintah segera mengklarifikasi kandungan racun dari pasir vulkanik yang dibawa tsunami serta bagaimana racun tersebut bisa dinetralisir sehingga proses penyusunan tata ruang dan pembangunan di Aceh bisa segera dimulai. 

Andy Siswanto Arsitek, Perencana Permukiman dan Kota. PhD (AA-London) di Bidang Permukiman dan Pembangunan KotaÂ