Pemetaan Partisipatif

Pergeseran Tata Ruang Terjadi di Semua Kabupaten/Kota

Pergeseran tata ruang dan peruntukan wilayah terjadi di semua kabupaten di Indonesia. Pergeseran tata ruang dari konsep tata ruang yang ditetapkan sebelumnya bisa mencapai lebih dari 50 persen, sehingga efektivitas tata ruang untuk menjamin masyarakat dari ancaman bencana lingkungan semakin menurun.

Penyebab terjadinya perubahan tata ruang di daerah-daerah adalah minimnya sosialisasi kepada masyarakat serta tidak ada kedisiplinan untuk mempertahankan kebijakan yang sudah ditetapkan. Selama ini konsep tata ruang secara makro dan mikro sudah dibahas oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Konsep penataan itu telah memperhatikan aspek lingkungan untuk menghindarkan masyarakat dari bencana lingkungan.

Hal itu dikemukakan Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), Arie Djunardi Djuhana, yang dihubungi Pembaruan, Rabu (11/1), terkait dengan bencana akibat kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini.

Menurutnya, ketidakdisiplinan mempertahankan kebijakan tata ruang terjadi di semua daerah, sehingga sebenarnya hal ini menjadi masalah yang serius.

Pada satu sisi, masyarakat tidak tahu-menahu tentang peruntukan lahan yang ditempatinya, sehingga bisa menggunakan lahan itu sesuai keinginan mereka, sementara di sisi lain, pemerintah daerah membiarkan hal itu terjadi, bahkan kadang kala mengubah kebijakan penataan ruang.

“Secara makro, pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, sudah meminta pemerintah provinsi dan kabupaten agar memasukkan pertimbangan lingkungan hidup, dan sebenarnya hal itu sudah dilakukan,” jelasnya.

Konservasi

Dalam pembuatan tata ruang itu, pertama-tama yang ditetapkan adalah daerah konservasi, seperti hutan, lindung dan sebagainya. Setelah itu, baru ditentukan kawasan peruntukan yang lain.

“Kenapa kawasan lindung dahulu yang harus ditetapkan? Karena kawasan lindung ini sebenarnya melindungi masyarakat itu sendiri dari ancaman bencana. Tapi kemudian terjadi perubahan besar-besar terhadap penataan itu. Inilah yang akhirnya menimbulkan bencana,” jelasnya.

Pergeseran tata ruang dapat terlihat dari perubahan peruntukan kawasan yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah daerah. Kawasan-kawasan lindung yang sebelumnya sudah ditetapkan, diubah menjadi kawasan budidaya yang dapat digunakan untuk permukiman dan pemanfaatan lain.

Di Pulau Jawa, perubahan tata ruang terjadi secara besar-besaran hingga kawasan hutan hanya tinggal 18 persen dari luas total Pulau Jawa. Padahal, Departemen Kehutanan mensyaratkan minimal terdapat 30 persen kawasan hutan dalam satu wilayah.

Konversi atau perubahan hutan itu terjadi akibat dari pelepasan kawasan hutan untuk keperluan non-kehutanan. Luas kawasan hutan yang dikonversi menjadi perkebunan cenderung semakin meningkat. Pada tahun 2003 hutan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan mencapai 16,95 juta hektare dan tahun 2004 meningkat menjadi 17,16 juta hektare. Data Departemen Kehutanan menunjukkan, lebih dari 2,29 juta hektare kawasan hutan yang dikonversi untuk pertanian berada dalam kondisi telantar. Dari 21 provinsi yang kawasan hutannya telah dikonversi, sebagian besar lahan yang ditelantarkan berada di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. (K-11)