Pemetaan Partisipatif

Peta Kedaulatan MASYARAKAT ADAT

Tanyakan kepada masyarakat adat di hutan-hutan di sekujur Indonesia, bukti kepemilikan apa yang mereka miliki atas lahan yang mereka garap?
Mereka pasti menggeleng, atau menjawab; \”Kami tidak punya bukti apa-apa.\” 
Ketika investor masuk dan seenaknya menjarah lahan, konflik tidak terhindarkan dan masyarakat menjadi pihak yang kalah, atau dikalahkan. Di banyak tempat, konflik berubah menjadi anarkis, karena investor mengerahkan aparat keamanan, dan masyarakat adat melawan.
Ada solusi menarik yang ditawarkan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) untuk melindungi ruang hidup masyarakat adat. Yaitu, mendorong masyarakat adat membuat peta, agar mereka berdaulat atas ruang hidup yang diwariskan leluhur.
Berikut wawancaraRepublikadengan Kasmita Widodo, direktur JKPP, di sela Konferensi Internasional Pemetaan Partisipatif di Pulau Samosir, Sumatera Utara, pekan lalu.

Apa pentingnya pemetaan wilayah ma – syarakat adat?
Pemetaan adalah alat bagi masyarakat adat untuk menunjukan kepada pihak luar; pemerintah, perusahaan, masyarakat lain, atau siapa pun, bahwa mereka punya sejarah hubungan dengan tanah yang mereka tempati, air, dan kekayaan alam di wilayah itu.
Lewat peta, bisa ditunjukan bahwa suatu wilayah ada pemiliknya. Jadi sangat penting bagi masyarakat membuat peta ta – nah-tanahnya, sehingga semua proses pembuatan perijinan yang dilakukan pe – me rintah memperhatikan hak-hak ma sya – rakat adat. Di sisi lain, pemerintah dan in – vestor tidak lagi melihat sebuah wilayah yang tidak terpetakan sebagai ruang hampa.

Bagaimana masyarakat adat harus memetakan wilayahnya, jika ternyata tanah atau hutan yang diklaim telah dicaplok perusahaan perkebunan?
Masyarakat harus bisa menunjukan yang mana tanah atau wilayah mereka yang dijarah perusahaan perkebunan.
Pemetaan tetap bisa dilakukan, dan peta yang dihasilkan counter mapping, atau peta tanding terhadap peta yang dibuat pemerintah atau perusahaan.
Dari situ barulah diketahui yang mana wilayah masyarakat adat, dan mana wilayah yang masuk kawasan hutan yang diklaim pemerintah dan perusahaan.
Lewat peta itu pula masyarakat adat bisa tahu seberapa luas wilayah mereka yang dijarah perusahaan, dan pemerintah juga bisa tahu ada wilayah masyarakat adat.
Peta akan memperjelas soal penguasaan dan pemanfaatan wilayah itu.

Siapa yang membuat peta wilayah adat?
Ya, masyarakat adat. Kami, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), hanya memfasilitasi.

Bagaimana jika peta yang dibuat ma – syarakat adat tidak diakui pemerintah atau investor?
Peta yang dibuat masyarakat adat merupakan pintu masuk menuju pengakuan. Itu harus diperjuangkan.
Apa yang harus diakui, dan bagaimana pemerintah harus mengakui, itulah yang harus ditunjukkan masyarakat adat. Peta tidak sekadar gambar, tapi memuat seja – rah asal-usul wilayah, dan siapa yang memiliki hubungan lebih awal dengan wilayah yang dipetakan.
Konstitusi mengakui masyarakat adat dan sejarah asal-usulnya. Lewat peta, masyarakat adat memperlihatkan sejarah asal-usul wilayah dan hubungan mereka dengan tanah yang diklaim. UU Ke hu tan – an juga mengakui eksistensi masyarakat adat dan wilayahnya.
Bagi pemerintah daerah yang akan membuat peraturan tentang masyarakat adat, peta wilayah adat akan sangat membantu. Pemerintah daerah akan tahu bah wa ada masyarakat adat, lengkap dengan peta wilayah, dan sejarah asal- usulnya.
Memang tidak memperoleh penga – kuan. Ada proses yang dilalui. Sebuah peta wilayah salah satu masyarakat adat harus lebih dulu mendapat pengakuan masyarakat adat di sekelilingnya. Setelah itu peta harus mendapatkan pengakuan dari pemerintahan desa dan kecamatan, dengan kepala desa dan aparat kecamatan membubuhkan tanda tangan di atas peta.
Ada beberapa pemerintah kabupaten yang mengakui peta masyarakat adat.
Namun itu saja tidak cukup. Yang saat ini diperjuangkan JKPP adalah pengakuan dari negara melalui undang-undang.
Itulah sebabnya kawan-kawan di JKPP mendesak pemerintah untuk segera membuat RUU Pengakuan dan Perlin – dungan Masyarakat Hukum Adat.
Jika RUU itu dibuat, peta-peta wila – yah adat inilah yang akan menjadi ru – jukan. Dari peta-peta ini bisa diketahui be rapa jumlah masyarakat adat di In – donesia dan di mana mereka bermukim.

Berapa lama proses pemetaan wilayah adat?
Tergantung luas wilayah, dan seberapa banyak masyarakat adat lain di sekitar wilayah yang dipetakan. Misal, ketika me – narik garis batas, masyarakat yang se dang memetakan wilayahnya harus mengajak masyarakat di sekitar. Tidak bisa sepihak.
Jika sepihak, bukan tidak mungkin terjadi konflik antar-komunitas adat.
Contoh paling sederhana adalah ketika masyarakat yang sedang memetakan wilayahnya akan menarik garis batas di sebuah bukit, masyarakat adat sekitar harus tahu. Garis batas yang ditarik harus mendapat persetujuan.

Sejauh ini pernahkah JKPP menan- gani konflik-konflik soal batas wilayah adat saat pemetaan?
Biasanya, konflik soal batas wilayah adat sudah ada sejak sekian lama. Konflik itu hampir tidak pernah terselesaikan.
Proses pembuatan peta menjadi alat untuk mendiskusikan untuk penyelesaian konflik. Saat pemetaan wilayah adat di Ka puas Hulu, Kalimantan Barat, terjadi proses diskusi penyelesaian konflik yang menarik. Diskusi untuk penyelesaian kon – flik batas wilayah, maka ditempuhlah ca – ra adat, yaitu dengan memanggil leluhur.
Leluhur dua suku yang berkonflik dipanggil bersamaan. Leluhur itu yang menyelesaikan. Medianya, misal di Suku Tamban Balo, adalah sabung ayam. Arwah leluhur diyakini masuk ke dalam dua ayam yang bertarung.
Yang kalah dalah sabung ayam, yang dimasuki arwah leluhur itu, harus meng – akui bahwa leluhur mereka kurang tepat menceritakan soal batas wilayah. Pihak yang kalah mengakui, dan konflik selesai.
Di Suku Ye, di perbatasan Papua Nugini dan Papua, dua suku yang berkonflik soal batas wilayah juga akan memanggil arwah leluhur. Arwah merasuk ke dua anggota suku yang bersengketa.
Lalu kedua orang yang kerasukan akan makan tanah yang disengketakan.
Diyakini, yang berbohong akan mati dalam proses situ.
Masyarakat adat yang tidak memiliki tradisi seperti ini relatif hanya hanya berusaha mencapai kesepakatan lewat pembicaraan. Caranya dengan memanggil orang-orang tua dari kedua masyarakat adat yang berkonflik.
Biasanya, generasi tua tahu penting – nya penyelesaian konflik batas wilayah adat. Ini berkaitan dengan akan datang – nya investasi. Jika tidak ada penyelesaian, kedatangan investasi hanya akan memperpanjang konflik.

Banyak yang mengatakan pemetaan wilayah adat melibatkan banyak disi- plin ilmu. Bisa dijelaskan?
Pemetaan wilayah adat tidak hanya melibatkan kartografi, tapi juga disiplin ilmu antropologi, geografi, dan sosiologi.
Antropologi memetakan sejarah asal- usul masyarakat adat. Sosiologi mem – pelajari struktur sosial, dan lembaga- lembaga di masyarakat adat. Geografi menjadi penting karena peta harus menggambar kan hubungan masyarakat adat de ngan tanahnya di media peta.
Pemahaman tentang struktur sosial menjadi penting karena pembuat peta harus tahu siapa yang memiliki otoritas untuk membicarakan soal wilayah dan batas-batasnya. Di masyarakat Taman Balo, misalnya, yang bisa bicara soal batas tanah adalah kaum samagat, salah satu kelompok elite dalam masyarakat itu.
Di masyarakat adat lain, ada `raja\’
yang memegang otoritas soal penentuan batas wilayah. Inilah yang harus kita pahami, agar pembuat peta tidak keliru menginterpretasi system penguasaan tanah di masyarakat itu.
Yang juga tak kalah penting adalah disiplin ilmu ekonomi, karena ini berkait – an dengan bagaimana ruang dimanfaat – kan untuk menghidupi masyarakat adat.
Kita juga ingin peta ini tidak mati. Ar tinya, peta menjadi pegangan masya rakat adat untuk membuat perencanaan pe ngem – bangan ekonomi, dan membangun visi.
Di sisi lain, aspek ekologi memberi gam baran kepada masyarakat akan ke – rusakan lingkungan jika mereka menerima investor. Ini akan membuat masya rakat tidak asal terima investor, yang akan berakibat pada kerusakan lingkungan dan perubahan sosial.

Jadi, peta masyarakat adat memberi – kan informasi komprehensif.
Betul. Bahkan peta juga mencatat ke – anekaragaman hayati, masyarakat adat de ngan semua tradisi dan pengetahuan lokal.
Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya lewat UU Nomor 11 Tahun 2013 tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul Dari Peman – faatannya. UU ini juga melindungi pengetahuan lokal.
Misal buah merah di Papua. Pemetaan atas wilayah tempat buah merah berada mendokumentasikan pengetahuan dan pemanfaatkan buah itu.

Pentingnya pemetaan wilayah adat muncul tahun 1992, siapa yang meng – awali?
Semula orang-orang World Wildlife Fund (WWF) yang bekerja di Kalimantan Timur. Ada dari mereka yang pernah be – kerja dalam bidang pemetaan di Filipina.
Saat itu kawan-kawan di WWF mencoba memetakan wilayah konservasi, dengan tidak mengeluarkan masyarakat adat yang berada di dalamnya. Ternyata peta itu cukup efektif untuk menjelaskan bagaimana keberadaan wilayah adat, dan mengapa ada konflik dengan pemegang hak penguasaan hutan (HPH) yang saat itu sedang marak.
Peta itu mengatasi kebingungan masyarakat adat yang tidak memiliki alat bukti untuk mengklaim kepemilikan atas tanah mereka. Masyarakat adat tidak pu – nya sertifikat, karena Badan Perta nahan Nasional tidak masuk ke kawasan hutan.
Apalagi, tanah adat adalah tanah komunal, dan belum ada administrasi untuk tanah-tanah komunal di Indonesia.
Tahun 1996, setelah JKPP berdiri, orang banyak belajar pemetaan. Ada pelatih dari Kanada, yang melatih sambil memetakan. Sampai 2000, banyak organi – sasi yang bekerja mendampingi masya – rakat menggunakan peta.

Masyarakat adat mana yang menggu- nakan peta untuk menolak investor, atau menunjukan bahwa wilayah itu milik mereka?
Yang terbaru adalah Cek Bocek Se – lesek Rensuri, atau Suku Berco, di Nusa Tenggara Barat (NTT), yang menolak ke – hadiran PT.Newmont Nusa Tenggara. Ma – syarakat Cek Bocek menggunakan peta yang dibuat tahun 2011 untuk menegas – kan klaimnya, dan perlawanan masih berlangsung.
Lainnya di Kabupaten Sekadau, Kali – mantan Barat. Ada 43 kampung yang dipetakan oleh masyarakatnya. Peta itu digunakan masyarakat untuk menolak ijin perkebunan kelapa sawit yang dike – luarkan pemerintah.

Apa yang ingin dicapai JKPP?
Visi kami adalah kedaulatan rakyat atas ruang hidup. Artinya, rakyat bisa menentukan sendiri untuk apa tanah mereka. Untuk jangka pendek, mendesak pemerintah mengakui semua peta wilayah padat yang telah dibuat. (teguh setiawan)

Sumber : ePaper Republika Tanggal 3 September 2013 Hal 24