Pemetaan Partisipatif

RTRW HARUS DIKETAHUI MASYARAKAT

Namun sayangnya informasi mengenai RTRW masih sulit diakses masyarakat luas, padahal dalam UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, sudah jelas mengatur bahwa masyarakat berhak mengetahui Rencana Tata Ruang dan terlibat dalam penyusunan rencana melalui perwakilannya di masing-masing daerah. Demikian dikatakan Arbab Paproeka, anggota Komisi III DPR RI yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi mengenai Perpres 36 yang di siarkan Radio Suara Metro bekerjasama dengan Harian Media Indonesia dan Central Information for Urban Studies (CIRUS) kemarin, di Jakarta (27/7). 


Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Pekerjaan Umum Amwazi Idrus yang turut menjadi narasumber dalam diskusi itu mengatakan apabila dalam RTRW telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur akan mengeluarkan surat keputusan yang melarang transaksi jual beli tanah tersebut untuk mencegah aksi para spekulan tanah. Terkait masalah pembebasan lahan, salah seorang peserta diskusi mengusulkan agar Pemerintah membentuk Bank Tanah yang akan membeli tanah tersebut. 

Pelaksanaan Perpres 36/2005 

Dalam acara diskusi dibahas pula mengenai Perpres 36/2005. Menurut Arbab Paproeka, meskipun terbitnya Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum merupakan kewenangan penuh Presiden, namun DPR akan tetap mengawasi pelaksanaan Perpres tersebut. “DPR akan melakukan pengawasan apabila ada pihak-pihak yang bermain-main dalam menerjemahkan kepentingan umum selain yang sudah diatur dalam Perpres ini,” kata Arbab Paproeka. 

Pengawasan dilakukan menyusul kekhawatiran adanya kepentingan swasta yang menggunakan Perpres 36/2005 ini. Menurut Arbab Paproeka, Perpres 36/2005 lebih memberi kepastian hukum terhadap pemilik tanah yang tanahnya akan terkena kegiatan pembangunan umum karena dalam Perpres tersebut mengatur tidak hanya apa-apa saja yang dimaksud kepentingan umum tetapi juga mengenai berbagai bentuk ganti rugi berupa uang, pemindahan lokasi, maupun penyertaan modal. “Secara normatif tidak ada masalah, mungkin baru akan menjadi masalah apabila pelaksanaannya tidak mengacu pada Perpres tersebut,” ujarnya. 

Arbab juga menjelaskan memang dalam UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria, hak-hak individu atas tanah diakui, namun pengakuan terhadap hak atas tanah tidak mengakibatkan orang atau badan bisa mempertahankan tanahnya secara mutlak. Dalam pasal 6 UU Pokok Agraria menyebutkan semua hak tanah mempunyai fungsi sosial yang berarti apabila akan digunakan untuk kepentingan umum hak tersebut harus dilepaskan, bahkan lebih ekstrim lagi hak tersebut dapat dicabut. 

Dalam kesempatan yang sama, Amwazi Idrus menegaskan pembangunan mal tidak termasuk kedalam pengertian pasar umum yang menjadi salah satu dari 21 pembangunan untuk kepentingan umum dalam pasal 5 Perpres 36/2005. “Pembangunannya juga yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perlu dicermati juga dalam Perpres ini, selama pembangunannya bisa dipindahkan seperti rumah sakit maka dapat dipindahkan, tetapi kalau lokasi pembangunannya sudah tidak bisa lagi dipindahkan seperti jalan atau bendungan baru, maka baru masuk ke tahap musyawarah untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi,” kata Amwazi. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum juga tidak selalu bermuara pada pencabutan hak atas tanah. Pencabutan hak, menurut Amwazi tidak diatur dalam Perpres 36/2005 tetapi diatur oleh UU No.20/1961. 

Narasumber Koordinator Divisi Advokasi UPC, Gamulya yang mengomentari mengenai batasan kepentingan umum dalam Perpres 36/2005 yang hanya menyangkut kepentingan sebagian lapisan masyarakat saja jika dibandingkan Keppres 55/1993 yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Gamulya juga menyoroti mengenai ganti rugi fisik dan non fisik dimana yang dijabarkan hanya ganti rugi yang bersifat fisik. 

Berkenaan dengan hal tersebut, Amwazi Idrus memberikan contoh pembangunan rumah ibadah yang termasuk untuk kepentingan umum. Pembangunannya tidak harus mewakili seluruh kepentingan masyarakat disana, namun cukup hanya mewakili kepentingan sebagian besar masyarakat disana saja. Untuk ganti rugi non fisik, menurut Amwazi, selama masih bisa dikonversikan ke dalam rupiah maka bisa ikut dimusyawarahkan dalam penentuan ganti rugi. 

Mengenai usulan dari Gamulya untuk mencabut Pepres ini, Arbab Paproeka menilai kalau Perpres 36/2005 dicabut, maka yang akan berlaku adalah Keppres 55/1993, padahal Pepres ini lebih memberi kepastian hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan penggantian ketika harus berhadapan dengan pembangunan untuk kepentingan umum. (gus)Â