Pemetaan Partisipatif

Sempat Tertunda, Perda Masyarakat Adat Enrekang Akhirnya Disahkan

Melalui Rapat Paripurna, Rabu (10/02/2016), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan akhirnya mengesahkan Peraturan Daerah tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Masenrempulu Enrekang.

Pengesahan ini ditandai dengan penandatanganan Perda oleh Ketua DPRD Enrekang bersama Wakil Bupati Enrekang.

Amiruddin, Wakil Bupati Enrekang, menyatakan bahwa lahirnya Perda ini merupakan langkah awal dalam mengedepankan pengakuan dan perlindungan hak-hak yang melekat pada masyarakat hukum adat di Kabupaten Enrekang.

“Konsekuensi logis dari adanya pengakuan ini bahwa hak-hak serta kewajiban dari masyarakat adat harus dihargai dan dilindungi oleh negara. Ini mengacu pada pasal 18 b UUD 1945,” ungkap Amiruddin.

 

Beragam ritual adat masih terus dilakukan di Kabupaten Enrekang hingga saat ini, seperti ritual masuk tongkonan atau ma’rara di Komunitas Tangsa, yang wilayahynya berbatasan dengan Tana Toraja. Uniknya dalam ritual ini bertemu tiga agama, yaitu Islam, Kristen dan Allu’ (Hindu). Foto: Wahyu Chandra

Beragam ritual adat masih terus dilakukan di Kabupaten Enrekang hingga saat ini, seperti ritual masuk tongkonan atau ma’rara di Komunitas Tangsa, yang wilayahynya berbatasan dengan Tana Toraja. Uniknya dalam ritual ini bertemu tiga agama, yaitu Islam, Kristen dan Allu’ (Hindu). Foto: Wahyu Chandra

 

Banten K, Ketua DPRD Enrekang, merasa bersyukur dengan penetapan Perda ini, meski agak tertunda.

“Semua anggota dewan sebanyak 35 orang merespon baik Perda ini dan ini dibuktikan dengan kehadiran mereka secara penuh dalam rapat paripurna tersebut. Tinggal nanti bagaimana Perda ini ditindaklanjuti melalui Peraturan Bupati,” katanya.

Meski berjalan mulus, diakui Banten, sejumlah pihak sempat menyampaikan kritik atas keberadaan Perda ini, khususnya dari tokoh-tokoh keagamaan. Kabupaten Enrekang memang dikenal sebagai salah satu daerah yang religius di Sulsel.

“Ada yang datang dari ormas, meski mereka tidak mewakili lembaga, mempertanyakan perihal Perda ini. Ada ketakutan Perda ini akan membenturkan antara adat dan agama Islam yang mayoritas dianut warga. Tapi kita jelaskan bahwa justru yang kita ingin pertahankan adalah budaya leluhur yang justru sejalan dengan nilai-nilai agama.”

Menurut Banten, adanya kritikan ini tetap menjadi masukan untuk memperkaya Perda itu sendiri dalam pelaksanaannya kelak.

“Nanti akan ada pertemuan dengan Bupati sebelum diterbitkannya Peraturan Bupati. Nanti semua akan dibicarakan kembali hal-hal yang mereka pertentangkan dalam pertemuan tersebut. Kita berharap Perbupnya segera lahir karena amanah Perda ini tak bisa dijalankan tanpa keberadaan Perbub ini. Ini sudah menjadi urusan Bupati sekarang,” katanya.

AMAN Sulsel memfasilitasi penulisan etnografi masyarakat adat dimana masyarakat adat diharapkan dapat menuliskan sendiri tentang sejarah, kelembagaan dan seluruh aspek ritual yang ada di wilayahnya. Foto: Wahyu Chandra

AMAN Sulsel memfasilitasi penulisan etnografi masyarakat adat dimana masyarakat adat diharapkan dapat menuliskan sendiri tentang sejarah, kelembagaan dan seluruh aspek ritual yang ada di wilayahnya. Foto: Wahyu Chandra

 

Paundanan Embong Bulan, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Enrekang, menilai pengesahan ini sebagai tonggak bagi perjuangan masyarakat adat di Enrekang.

“Sudah lama diperjuangkan dan diwacanakan namun baru sekarang bisa benar-benar direalisasikan, sebagai bentuk komitmen dari pemerintah yang ada saat ini,” katanya.

Terkait penundaan sekitar sebulan dari jadwal semula, menurut Paundanan, dikarenakan adanya sejumlah perbaikan dan koreksi bahasa yang tidak begitu subtansial.

Menurutnya, dengan adanya Perda ini, masyarakat adat di Enrekang sudah memiliki pijakan dalam tindakan, karena selama ini tak pernah ada kejelasan bagi hak-hak dan peran mereka.

“Kini kita sudah tahu apa-apa yang bisa dilakukan ke depannya. Termasuk merevitalisasi berbagai kelembagaan adat yang sudah ada selama ini. Kita juga berharap agar masyarakat adat bisa menjadi prioritas sasaran pembangunan daerah nantinya.”

Meski sudah disahkan, Paundanan menilai ini bukan akhir dari perjuangan masyarakat adat di Enrekang, tapi justru sebuah awal, karena masih banyak proses yang panjang akan dilalui.

“Ini kerja berat ke depan. Setelah pengesahan ini kami harus segera sosialisasi tidak hanya kepada masyarakat adat, tapi juga kepada instansi pemerintah yang terkait langsung dengan implementasi Perda ini nantinya. Mereka harus diberi pemahaman yang baik dan menyeluruh, karena selama ini kami melihat masih banyak persepsi yang keliru tentang masyarakat adat dari mereka.”

Tantangan lain adalah terkait dari subtansi dari Perda itu sendiri yang tidak serta merta mengakui masyarakat adat yang sudah ada. Perda ini sifatnya pedoman dalam rangka pengesahan sebuah masyarakat adat agar diakui, melalui sebuah tim verifikasi yang dibentuk oleh Pemda.

“Akan ada tim yang dibentuk melakukan verifikasi, yang terdiri dari berbagai pihak, termasuk melibatkan masyarakat adat sendiri,” tambah Paundanan.

Dalam Perda ini memang disebutkan adanya tanggung jawab dari Pemda untuk mempersiapkan pembentukan panitia yang akan melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi.

Untuk mempermudah proses verifikasi ini, pengurus AMAN Enrekang sendiri telah membentuk tim etnografi, yang turun langsung ke lapangan untuk melakukan identifikasi dan penggalian informasi terkait masyarakat adat yang ada, mencakup sejarah, wilayah adat, kelembagaan dan struktur adat, ritual dan tempat-tempat bersejarah sebagai bukti otentik keberadaan mereka selama ini.

“Kita sudah identifikasi terdapat sekitar 35 komunitas yang bisa diverifikasi, sebagian di antaranya telah tergabung dalam AMAN sebanyak 18 komunitas, dan sebagian lagi kita akan perjuangankan bisa jadi anggota AMAN nantinya.”

Langkah lain yang akan ditempuh AMAN, menurut Paundanan adalah mempercepat proses pemetaan partisipatif di seluruh komunitas adat yang ada, khususnya yang telah terdaftar sebagai anggota AMAN.

“Selama ini, sejalan dengan proses Perda, kita juga telah melakukan pemetaan wilayah adat. Sudah ada beberapa komunitas yang telah memiliki peta, dan sisanya sedang dalam proses. Kita juga mendapatkan dukungan dari Badan Registrasi Wilayah Adat, yang memperkenalkan Sistem Informasi Wilayah Adat atau SIWA pada September 2015 lalu.”

Masyarakat adat di Enrekang menjadikan hutan sebagai ruang suci untuk berbagai ritual, seperti halnya di Komunitas Kaluppini yang sebagian besar ritual adatnya terkait dengan hutan. Foto: Wahyu Chandra

Masyarakat adat di Enrekang menjadikan hutan sebagai ruang suci untuk berbagai ritual, seperti halnya di Komunitas Kaluppini yang sebagian besar ritual adatnya terkait dengan hutan. Foto: Wahyu Chandra

Terkait masih adanya masih adanya penantangan sejumlah pihak terkait Perda ini dinilai Paundanan hanya karena adanya pemahaman keliru selama ini, baik tentang masyarakat adat itu sendiri ataupun tentang tujuan dari penggagasan Perda tersebut.

“Dari awal penggagasan Perda ini memang ada suara-suara miring yang seakan-akan Perda ini akan memperbenturkan antara adat dan agama, padahal keduanya bisa sejalan tanpa harus berbenturan. Ini juga akan menjadi tantangan bagi kami menjelaskan kepada mereka tentang subtansi perjuangan masyarakat adat selama ini.”

Bupati Enrekang, menurut Paundanan, dari awal sangat mendorong lahirnya Perda ini dengan harapan masyarakat adat di Enrekang bisa lebih berdaya dan beradab, bisa menegakkan aturan sesuai dengan yang berlaku di adat masing-masing. Termasuk dalam mempertahankan nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan sikap gotong-royong.

“Bupati berharap nilai-nilai yang ada dalam adat istiadat kita selama ini bisa secara konsisten dilaksanakan, menjadi landasan dalam berbuat agar bisa menjadi panutan bagi masyarakat, bertumpu pada nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur. Kita jangan mengikut pada faham-faham dari luar yang tidak diketahui asal-usulnya.”

Sardi Razak, Ketua BPH AMAN Sulsel, menilai lahirnya Perda ini sebagai momentum penting dalam memajukan hak-hak masyarakat adat di Sulawesi Selatan.

“Ini kebanggaan juga bagi kami dalam setahun ini dua daerah di Sulsel yang melahirkan Perda Masyarakat Adat, setelah sebelumnya Perda yang sama di Kabupaten Bulukumba. Meski memiliki subtansi yang berbeda, kedua Perda ini memiliki tujuan yang sama, yaitu bagaimana hak-hak masyarakat adat memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara.”

Sardi berharap daerah lain yang sedang berproses dalam melahirkan Perda yang sama menjadi terinspirasi dengan keberadaan kedua Perda ini.

“Bagi kami, ini juga bisa menjadi pembelajaran yang baik dalam hal pembuatan Perda. Setidaknya kini kami mengetahui secara jelas proses, mekanisme dan aturan-aturan yang harus dipenuhi dalam hal melahirkan Perda.”

Sardi berharap setelah lahirnya Perda ini masyarakat adat di Kabupaten Enrekang tidak berpuas diri dan segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk mempercepat pengakuan dari negara.

“Sifat Perda ini sendiri adalah sebuah pedoman sehingga langkah selanjutnya akan sangat tergantung dari masyarakat adat sendiri bagaimana mereka mempersiapkan diri untuk proses verifikasi yang akan dilakukan oleh Pemda.”

Abdon Nababan, Sekjen AMAN, turut menyampaikan apresiasi atas keberadaan Perda ini melalui statusnya di Facebook. “Selamat kepada masyarakat adat Mansenrempulu atas perjuangan panjang selama ini,” tulisnya.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/02/16/sempat-tertunda-perda-masyarakat-adat-enrekang-akhirnya-disahkan/