Pemetaan Partisipatif

2014, Hak Masyarakat Adat di Sulsel Masih Terabaikan

Pemetaaan partisipatif yang dilakukan masyarakat adat di Sulsel. Foto: Wahyu ChandraSepanjang 2014,  tak ada perubahan signifikan terkait perlindungan masyarakat adat di Sulawesi Selatan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan hutan adat bukan hutan negara, belum berjalan di lapangan.

Demikian salah satu poin penting Laporan Akhir Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, Selasa (30/12/14).

Armansyah Dore, Kepala Biro I AMAN Sulsel, di Makassar, mengatakan, penyebab implementasi putusan MK mandek karena pemberian ‘syarat pengakuan’ berupa peraturan daerah (perda) yang mengatur masyarakat adat.

“Ini masih berat karena daerahpun tidak serta merta merespon baik putusan MK dan menindaklanjuti dengan menggagas perda. Hanya beberapa daerah merespon baik. Tingkat nasional RUU masyrakat adat juga belum disahkan.”

RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU-PPHMA) sebenarnya masuk legislasi nasional tetapi belum disahkan. Penyebab utama, tidak ada keinginan kuat pemerintah (Kementerian Kehutanan) sebagai leading sector.  “Ini menunjukkan negara sebenarnya enggan mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.”

Armansyah mengatakan, tidak ada pengakuan negara terhadap masyarakat adat berimbas pada konflik tenurial  tinggi.

Armansyah mencatat, konflik terbesar dialmi komunitas adat berhadapan dengan kawasan hutan negara, baik kawasan konservasi maupun status hutan negara lain. Total luasan konflik lebih 1.000 hektar, dengan populasi penduduk terdampak 10.000 warga.

Upaya pembatasan akses masyarakat adat terhadap hutan dan sumber daya alam, kadang berujung pada pengusiran dan kriminalisasi. Dia mencontohkan, Bahtiar Bin Sabang, warga komunitas adat Soppeng Turungan di Sinjai yang ditahan sejak 13 Oktober 2014 karena tuduhan menebang pohon di hutan.

Hal ini terjadi di beberapa komunitas adat misal Barambang Katute, Sinjai, Pattontongan Maros, dan di Baroko, Enrekang dan sejumlah komunitas adat lain.

Konflik lain yang terjadi pada masyarakat adat adalah sektor perkebunan, misal Komunitas Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba berseteru dengan PT. Lonsum, konflik antara warga dan PTPN XIV di Keera dan Pasengloreng, Wajo serta konflik antara warga dengan PTPN XIV di Takalar.  Dalam ketiga konflik ini pendekatan refresif aparat terus dilakukan.

Armansyah menilai, perampasan tanah kelola rakyat, berupa persinggungan wilayah adat dengan konsesi dan klaim lain makin diperparah dengan mega proyek Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia (MP3EI). Mengingat koridor ekonomi Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional.

Di tengah konflik, komunitas adat berupaya mendorong perlindungan terhadap diri mereka.

Berbagai inisiasi keberadaan kebijakan lokal terkait perlindungan hak-hak masyarakat adat terus dilakukan, misal di Bulukumba, perda kini dalam proses. “Di Enrekang dan Sinjai sudah tahap persiapan.”

AMAN Sulsel, berupaya memberi dukungan penguatan internal kepada masyarakat adat. Salah satu, pemetaan wilayah adat partisipatif.

Sampai akhir 2014, AMAN telah pemetaan di puluhan komunitas adat dengan luasan 92.000 hektar. Total luasan pemetaan indikatif sekitar 500.000 hektar.

Upaya lain, pengembangan ekonomi masyarakat adat, misal, pengelolaan poduksi dan pemasaran kain tenun khas Kajang dengan membentuk Koperasi Turikale, pengembangan neras Tambara di Pattalassang Kabupaten Gowa, Koperasi Masyarakat Adat Piongan  Kabupaten Tana Toraja dalam pengembangan usaha kopi dan lain-lain.

Armansyah menilai, penting peninjauan berbagai kebijakan pengukuhan kawasan hutan yang tidak melibatkan masyarakat adat.

Juga meminta pemerintah menghentikan pendekatan keamanan represif terhadap masyarakat adat dalam menyelesaikan konflik tenurial.

“Diskriminasi pelayanan publik, intimidasi, kriminalisasi terhadap masyarakat adat tidak akan menyelesaikan konflik tenurial, justru makin memupuk antipati masyarakat terhadap aparatur negara dan kebijakan-kebijakannya.”

Armansyah berharap, RUU-PPHMA segera disahkan. Begitupun perda, seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah.

Pemerintah diharapkan mengakomodir peta wilayah adat dalam berbagai kebijakan tentang ruang dan pengelolaan SDA.

Tidak hanya itu, penguatan ekonomi melalui gerakan kemandirian ekonomi masyarakat adat melalui produk-produk lokal penting ditingkatkan.

Dia belum sepenuhnya optimistis dengan prospek perlindungan hak masyarakat adat 2015. Meski demikian, dia tetap berharap ada perubahan signifikan seiring perubahan rezim pemerintahan dan reformasi birokrasi di sejumlah instansi kementerian terkait.

“Kita berharap jargon reformasi dan keberpihakan pemerintahan baru kepada rakyat bukan isap jempol belaka.”

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/12/31/2014-hak-masyarakat-adat-di-sulsel-masih-terabaikan/