Pemetaan Partisipatif

Konflik Lahan, 12 Warga Sumut Dipidana dalam 2014

Mahasiswa dan masyarakat Labuhanbatu, berunjukrasa di Kantor PTPN IV Medan, menolak perusakan hutan dan lahan menjadi sawit pada akhir Januari 2014. Foto: Ayat S Karokaro

Data Serikat Petani Indonesia (SPI), menyebutkan,  sepanjang 2014, setidaknya 12 warga termasuk masyarakat adat di Sumatera Utara, divonis karena mempertahankan lahan mereka. Sedang penyumbang konflik agraria tertinggi tercatat dari lima kabupaten, yakni, Langkat, Mandailing Natal, Labuhan Batu Utara, Asahan, dan Serdang Bedagai (Sergai).

Zubaidah, Ketua SPI Sumut mengatakan,  di Asahan, ada empat warga adat dari Kecamatan Pulau Rakyat, diadili karena mempertahankan lahan dan hutan adat mereka, dari perkebunan sawit. Lahan warga diambil paksa menggunakan preman dan aparat penegak hukum. Mereka divonis enam tahun penjara.

“Mereka dipenjara karena melarang hutan adat dirambah kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Ketika perusahaan masuk paksa, mereka melawan, oknum aparat kepolisian masuk dan menangkapi mereka.”

Di Desa Pama, Serdang Bedagai, masyarakat adat juga mengalami hal sama. Setidaknya lima warga melawan perkebunan sawit, yang merambah hutan adat dan mengambil paksa lahan mereka, divonis 2,6 tahun, salah satu Sunasno. Sampai kini masih berjuang melawan perkebunan sawit, yang merusak rumah dan tanaman.

Di Desa Sei Apung, Kecamatan Kualu Hilir, Labuhan Batu Utara,  petani diintimidasi,  gubuk dan rumah mereka digusur, jumlah ada 110 orang. Saat ini,  kondisi terombang ambing, karena rumah dan tanaman hancur. Tokoh adat, Opung Sumbu, dianiaya dan ditusuk pisau hingga luka parah di perut.

“Ketika kelompok masyarakat adat lain mencoba membela dan lapor ke kantor polisi, malah dianiaya. Pelanggaran tindak pidana oleh orang suruhan perkebunan sawit itu, persis 100 meter dari kantor polisi. Ketika dilaporkan, mereka terabaikan, ketika mereka melawan, langsung diciduk,” ucap Zubaidah.

Lalu, daerah tertinggi konflik agraria, ada di Desa Batahan III, Madina. Lahan seluas 800 hektar itu dikelola warga transmigrasi dari Jawa. Pada 2013, lahan itu diambil paksa Pemerintah Madina, dan diserahkan ke perkebunan sawit.

“Pemerintah Indonesia memberikan dua hektar lahan buat pertanian, dan 0,5 hektar perumahan. Masyarakat yang lahan dirampas paksa 300 keluarga. Mereka dianiaya, diusir. Ada yang ditangkap tetapi dibebaskan dan terus berjuang.”

Serupa terjadi di Kecamatan Sawit Seberang, lahan seluas 250 hektar, dan Desa Meker Jaya, Kecamatan Wampu, Langkat 600 hektar, direbut paksa PTPN II, dan lahan beralih ke perusahaan milik Malaysia.

Menurut Zubaidah, masyarakat diusir menggunakan cara-cara kekerasan. Perusahaan menggunakan jasa preman, dan alat berat buat menghancurkan rumah serta lahan warga.

“Itu belum pendudukan lahan hutan lindung dan konservasi masuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Pelaku perkebunan sawit, melibatkan PTPN II, yang mengklaim hutan konsesi mereka.” Lebih menyedihkan, katanya, pemerintah kabupaten mengabaikan masyarakat dan berpihak pada perusahaan. Padahal,  masyarakat memiliki surat alas hak lahan sejak 1970.

Dari beragam konflik lahan di Sumut, ini menyebabkan  12 orang dipenjara, 12 mengalami aniaya berat, dan ratusan warga teraniaya  ringan serta teror.

SPI mendesak Presiden Joko Widodo, mampu menjalankan visi dan misi, terutama reforma agraria. “Ini demi mencapai kedaulatan pangan, memperhatikan dan memberikan keadilan bagi masyarakat.” 

Kemiskinan ‘produsen’ pangan

Henri Saragih, Ketua Umum SPI, menyatakan, kemiskinan masih menjadi masalah utama di pedesaan. Penduduk pedesaan yang memproduksi pangan, justru banyak menderita kelaparan dan kemiskinan. Dari 28,28 juta jiwa penduduk miskin, 17,77 juta jiwa (62,8%)  persen di pedesaan.

Setidaknya 26,14 juta rumah tangga petani di pedesaan, 17,73 juta rumah tangga petani tanaman pangan,  yang memproduksi pangan bagi 250 juta penduduk Indonesia.

Menurut dia, Pperan penting petani berbanding terbalik dengan kesejahteraan dan pelayanan publik bisa mereka akses, serta perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak mendasar petani.

Tak pelak, petani berkurang mengejutkan, mencapai 5,09 juta keluarga petani satu dekade terakhir. Artinya, setiap tahun rata-rata 509 ribu keluarga petani, meninggalkan lahan pertanian. Berarti, dalam 10 tahun terakhir, setiap satu jam berkurang 58 keluarga petani.

“Ini peringatan keras bagi segenap elemen bangsa terhadap ancaman kecukupan pangan nasional. Gejala sudah muncul seiring laju petani berkurang dalam satu dekade, ditandai impor pangan naik,” kata Henri.

Dia menjelaskan, hak asasi petani, sepanjang 2014,  tidak menunjukkan kemajuan berarti. Berbagai konflik agraria terus berlangsung, tanpa ada penyelesaian. Dalam 2014, terjadi 29 konflik terbuka mencuat ke permukaan, dan 114 kasus masih berkecamuk di akar rumput.

Dari 143 kasus, diperkirakan terdapat ribuan konflik agraria lain yang belum terselesaikan. Konflik terbuka ini, melibatkan berbagai pihak, dengan korban tewas dua orang di pihak petani, 90 orang alami kekerasan, 3.000 lebih warga terusir dari lahan pertanian, serta 89 orang ditahan.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/01/01/konflik-lahan-12-warga-sumut-dipidana-dalam-2014/