Sejumlah warga suku Badui berkumpul di sebuah rumah di perkampungan suku Badui, Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu, 14 September 2014.
Sejumlah warga suku Badui berkumpul di sebuah rumah di perkampungan suku Badui, Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu, 14 September 2014. (sumber: BeritaSatu Photo/Joanito De Saojoao)

Jakarta – Sekitar 70 juta jiwa masyarakat adat di seluruh Indonesia menggantungkan nasib dan meminta pemerintah untuk mendaftarkan wilayah-wilayah adat mereka. Pengakuan ini penting untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat adat di Indonesia. Wilayah yang terpetakan secara sah menurut negara dan berkekuatan hukum akan melindungi mereka dari berbagai macam penguasaan perizinan lahan dan hutan yang tumpang tindih.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, mengatakan Pemerintah Indonesia harus mencontoh Filipina yang telah membentuk lembaga khusus pemerintah yaitu Komisi Nasional Masyarakat Adat (The National Commission on Indigenous Peoples (NCIP).

Kehadiran lembaga semacam NCIP di Indonesia sangat diperlukan untuk melayani kepentingan masyarakat adat terutama dalam melakukan pendaftaran dan pemberian sertifikat wilayah adat.

“Indonesia sudah mempunyai hukum konstitusi yang mengakui masyarakat adat dalam UUD 1945. Namun ironisnya 70 tahun sudah kita belum mempunyai hukum administratif bagi keberadaan masyarakat adat dan hak-hak kolektifnya,” katanya di Jakarta, Senin (16/2).

Bahkan hingga saat ini lanjutnya pemerintah Indonesia tidak memiliki data tentang masyarakat adat dan wilayah adatnya.

Menurut Abdon pengakuan secara administratif dan kewilayahan terhadap masyarakat hukum adat merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Hampir 70 persen wilayah masyarakat adat tambahnya dimasuki izin-izin. Perampasan wilayah, kriminalisasi masyarakat hukum adat terjadi masih terjadi hingga kini.

Suara Pembaruan

Penulis: Ari Supriyanti Rikin/AF

Sumber: Suara Pembaruan