PERPRES Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Aceh menjadi Badan Pertanahan Aceh telah ditandatangani Presiden Jokowi pada 12 Februari 2015. Proses panjang terbitnya Perpres turunan Pasal 235, UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) ini, berkutat pada tarik ulur sejumlah kewenangan di bidang pertanahan antara pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
Berdasarkan Pasal 3, Perpres No.10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, terdapat 21 kewenangan Badan Pertanahan Nasional, dari 21 kewenangan penyelenggaraan bidang pertanahan tersebut, 9 kewenangan dilimpahkan ke pemerintah daerah berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Khusus Aceh, pemerintah pusat menambahkan dua kewenangan lainnya, yaitu kewenangan penetapan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB), sehingga Aceh memiliki 11 kewenangan di bidang pertanahan. Namun pemerintah Aceh bergeming tetap pada usulan 21 kewenangan penyelenggaraan di bidang pertanahan menjadi kewenangan Aceh, sebagaimana merujuk pada kewenangan BPN harus menjadi kewenangan Badan Pertanahan Aceh (BPA). Jika merujuk pada Perpres No.23 Tahun 2015, seharusnya dengan dilakukannya pengalihan Kanwil BPN Aceh menjadi BPA, sepatutnya 21 kewenangan penyelenggaraan di bidang pertanahan oleh BPN menjadi kewenangan BPA.
Publik berharap dengan disahkannya Perpres tentang BPA, menjadi satu solusi dalam menyelesaikan konflik agraria yang sudah menjadi konflik “laten†di Aceh, terutama perebutan hak atas tanah antara pemilik HGU dengan masyarakat setempat. Konflik agraria yang paling baru di Aceh adalah konflik lahan antara petani di Aceh Tamiang dengan PT Rapala seluas 144 Ha. Puncak konflik tersebut, terjadi “kriminalisasi†terhadap 11 orang petani Tamiang pada 15 Februari 2015, ditahan di Polda Aceh.
Hal ini membuktikan bahwa BPN telah gagal menyelenggarakan keadilan di bidang pertanahan di Aceh sebagaimana mandat UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang secara prinsip telah mencabut azaz Domein Verklaring yang merupakan pelaksanan dari hukum agraria pada masa penjajahan Belanda yang biasa disebut Agrarische Wet (Staatsblad 1870 No.55). Pernyataan dari Domein Verklaring itu berbunyi: “Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikannya, bahwa itu eigendom-nya adalah domein atau milik Negara.â€
Pernyataan tersebut dapat disimpulkan, bahwa Domein Verklaring sangat tidak menghargai bahkan “memperkosa†hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat dan kepemilikan turun-temurun. karena hak-hak rakyat atas tanah yang sudah turun-temurun, tidak dapat dibuktikan eigendom-nya dianggap domein atau milik negara.
Konflik Agraria di Aceh
Buntut pemberlakuan secara samar Domein Verklaring walaupun sudah dicabut oleh UU No.5 Tahun 1960, terutama pada aspek mekanisme pelaksanaan pendaftaran tanah dan berakhir dengan pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah menyebabkan konflik agraria atau pertanahan muncul hampir di semua belahan wilayah Aceh, terutama tanah-tanah yang bersinggungan antara HGU dan tanah masyarakat.
Berdasarkan catatan LBH Banda Aceh 2014 tentang sebaran konflik pertanahan di Aceh, wilayah tersebut antara lain di Nagan Raya terjadi konflik tanah antara PT Surya Panen Subur, PT Kalista Alam, PT Agro Sinergi Nusantara, PT Fajar Baizury & Brothers dan PT Wiratako Meulabohdengan masyarakat di Kecamatan Darul Makmur, Tadu Raya, dan Kuala Pesisir. Di Aceh Barat terjadi konflik antara PT Agro Sinergi Nusantara dengan masyarakat Gampong Teumarom, Gampong Jawi Kecamatan Woyla dan Gampong Lung Baro Kecamatan Sungaimas. Sedangkan di Aceh Singkil ada konflik PT Ubertraco atau Nafasindo dengan masyarakat setempat terhadap penguasaan tanah HGU.
Dari berbagai kasus konflik agraria tersebut, terdapat kasus-kasus yang sudah terjadi puluhan tahun tanpa penyelesaian, di antaranya adalah sengketa lahan terjadi sejak 1999 antara PT Kalista Alam dengan masyarakat Dusun Melati Gampong Krueng Seumanyam. Kemudian, sengketa tanah garapan yang digarap sejak 1990 oleh Kelompok Tani Makmue Mulia Gampong Geulanggang Gajah dan Kaye Unoe dengan PT Surya Panen Subur, sengketa ini mulai muncul kembali kepermukaan dan dilakukan aksi protes oleh warga sejak 2008, dan kasus PT Nafasindo di Singkil yang muncul sejak 1998.
Pada beberapa kasus konflik agraria berakhir dengan kriminalisasi, seperti di Aceh Singkil, 15 orang ditahan. Di Aceh Timur, konflik lahan antara masyarakat dan PT Bumi Flora selain petani yang mengalami kriminalisasi, aktivis LBH Banda Aceh yang melakukan pembelaan terhadap korban konflik lahan justru dikriminalisasi. Sementara, kasus yang paling baru adalah kriminalisasi 11 orang petani yang bersengketa dengan PT Rapala. Penyelesaian kasus-kasus agraria selalu diakhiri dengan intimidasi dan kriminalisasi.
Lahirnya UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria seharusnya sudah mencabut Domein Verklaring, akan tetapi dalam penerapannya hal-hal tersebut tidak benar-benar dilaksakan? Jika dilihat lebih mendalam masih terdapatpenerapannya di beberapa kasus pendaftaran tanah, namun karena hal ini tidak disadari maka seringkali hanya dianggap sebagai masalah klasik, atau bahkan justru lebih dianggap mempermudah pelaksanaan percepatan pendaftaran tanah.
Keterkaitan antara Domein Verklaring dengan pemberian hak atas tanah yang menyimpang dalam proses pendaftaran tanah kerap tidak sesuai dengan kenyataannya. Pada pendaftaran tanah terdapat dua jenis cara dalam pembuktian hak, yaitu pemberian hak atas tanah dan konversi hak-hak lama. Dalam pemberian hak atas tanah yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah tanah negara yang dimohonkan haknya. Dalam konversi terdapat tiga tingkatan pendaftaran, yang pertama adalah konversi hak-hak lama dengan alat bukti yang lengkap, yang kedua adalah penegasan hak dengan alat bukti yang kurang lengkap dan yang ketiga adalah pengakuan hak untuk objek yang tidak memiliki alat bukti sama sekali. Dimanakah letak penyimpangannya atau masih diberlakukannya azaz Domein Verklaring?
Pada kasus penguasaan tanah secara turun-temurun kerap pemilik tanah tidak mempunyai alat bukti, dengan demikian alternatif pendaftaran tanah manakah yang dapat dilakukan untuk penguasaan tanah seperti itu? Jika tanah yang dikuasai merupakan tanah negara, setelah dilakukan penjabaran atas tanah tersebut, maka proses yang dilakukan adalah pemberian hak atas tanah oleh negara. Akan tetapi penguasaan tanah tersebut sudah turun temurun dan lebih dari 30 tahun, serta tidak dapat dibuktikan bahwa tanah tersebut adalah tanah negara, maka proses yang seharusnya dilakukan dalam pendaftaran tanahnya adalah pengakuan hak. Apakah hal tersebut dilakukan oleh BPN?
Memberikan harapan
Lahirnya Perpres Badan Pertanahan Aceh (BPA) seharusnya memberikan harapan baru bagi Aceh dalam penyelesaian konflik agraria, dimana kewenangan pendaftaran, pengaturan, dan penetapan hak-hak atas tanah termasuk penetapan HGU menjadi kewenangan BPA. Kedua hal tersebut menjadi problem utama penyebab 90 persen konflik agraria di Aceh. Artinya, problematika terbesar penyebab konflik agraria bisa diselesaikan di Aceh, tanpa dalih-dalih kewenangan pemerintah pusat.
Selain melekat kewenangan yang fungsional, penyelesaian konflik agraria akan terselesaikan jika BPA meninggalkan pemahaman Domein Verklaring warisan kolonial tersebut dalam penyelenggaraan di bidang pertanahan. BPA adalah harapan baru bagi Rakyat Aceh, bukan hanya peralihan rezim pertanahan dari pemerintah kolonial ke pemerintah pusat lalu ke pemerintah Aceh, sehingga wajib memahami struktur dan tata cara penguasaan tanah yang berlaku di Aceh.
Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2015/03/11/darurat-penyelesaian-konflik-agraria