Pemetaan Partisipatif

Soal MoU Penyelamatan Sumber Daya Alam, Apa Kata Mereka?

Inilah Pulau Bangka di Sulawesi Utara yang merana. Di pulau kecil ini izin tambang diberikan oleh daerah dan diperkuat dengan izin operasi dari Kementerian ESDM. Tak hanya daratan pulau terancam, ekosistem laut juga dalam bahaya. Akankah, kementerian terkait akan menyelamatkan kekayaan alam nan indah ini dari kerusakan? Foto: Save Bangka Island

Pada Kamis (19/3/15), KPK bersama 29 kementerian dan lembaga negara, serta 12 pemerintah provinsi menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) di Istana Negara. MoU ini mencakup penyelamatan SDA secara luas, dari sektor kehutanan, perkebunan dan kelautan sampai pertambangan.

Kala itu, Presiden Joko Widodo mengatakan, nota kesepahaman jangan sampai hanya ditandatangani tanpa tindak lanjut jelas. “Jangan semua tanda tangan, teken, teken, tapi tidak ada tindak lanjut. Saya ingat, dulu semua tanda tangan pakta integritas, semua teken, tapi indeks persepsi korupsi masih jauh sekali dengan negara tetangga, 34 angka, urutan 107,” katanya seperti dikutip dari Detik.com.

Berbagai kalangan, seperti Walhi dan DKN, menanggapi soal nota kesepahaman ini. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, nota kesepahaman penyelamatan SDA ini harus membuat negara mampu mengembalikan fungsi lingkungan guna menekan kerugian. Ia juga semestinya mampu membaca dan mengendalikan skenario-skenario legitimasi perampokan SDA Indonesia.

Dia memberikan, beberapa contoh,  yakni, PP 06 tahun 2007 yang menjadi payung hukum perusahaan HTI membabat hutan alam, dan alih fungsi serta peruntukan kawasan hutan melalui review untuk tata ruang.

Hasil dari kebijakan itu, periode 2008-2014, pelepasan kawasan hutan mencapai 7,8 juta hektar. Praktik ini, katanya,  tak hanya melegitimasi penebangan hutan alam, juga merugikan negara. “Karena membebaskan perusahaan tambang dari kewajiban izin pinjam pakai kawasan hutan,” katanya di Jakarta, Senin (23/3/15).

Contoh lain, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang menjadi pintu masuk pengusaha membabat hutan hingga enam juta hektar, bahkan, menyelamatkan perusahaan perkebunan dari jeratan UU Kehutanan.

Dengan kesepahaman ini, kata Abetnego,  seharusnya bisa membuat Bappenas, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Dalam Negeri serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengkaji ulang mekanisme pelepasan kawasan hutan. “Atau membatalkan surat keputusan soal perubahan status kawasan hutan yang banyak dipakai pengusaha dan kepala daerah untuk menguasai SDA.”

Menurut Abetnego, penyelamatan SDA dari kejahatan korporasi harus dilihat dari tiga dimensi faktual merugikan negara. Pertama, kejahatan merugikan negara atas SDA yang menjadi kekayaan negara. Praktik ini, katanya,  bisa diatasi bila ada proses kontrol negara, kendali dan penegakan hukum terhadap perampasan, pengerukan dan penyelundupan SDA Indonesia oleh korporasi.

Penanggulangan kerugian negara, katanya,  harus dilakukan pada mata rantai arus uang dan distribusi SDA. Baik dari lokasi penebangan kayu dan pengerukan SDA marak tak terkendali, serta jalur transportasi pengangkutan dan pelabuhan yang berpotensi memanipulasi nilai ekspor. Juga pelabuhan tempat tujuan ekspor yang memungkinkan penekanan nilai pajak melalui praktik transfer pricing.

Seorang warga menyaksikan hutan gambut di desanya hancur oleh RAPP. Warga memastikan wilayah operasi itu masuk ke Desa Bagan Melibur, Pulau Padang, Riau, Indonesia, Mei 2014. Akankah, kehancuran kekayaan alam seperti ini diselamatkan oleh pemerintah lewat review perizinan? Foto: Zamzami

Kedua, kejahatan yang merugikan perekonomian negara. Kejahatan ini, ucap Abetnego, dizinkan melalui kebijakan dan izin pemerintah hingga mengakibatkan SDA terkuras, dan sistem perekonomian pedesaaan hancur. “Ini dapat dikendalikan bila ada langkah serius dan terintegrasi antar pemerintah dan kementerian untuk review perizinan,” katanya di Jakarta, Senin (23/3/15).

Ketiga, kejahatan lingkungan menimbulkan beban ekonomi begara. Penerbitan izin massif tidak diimbangi peningkatan kapasitas negara dalam mengontrol dan mengendalikan praktik produksi dan dampak, katanya,  mengakibatkan kerugian negara. “Bentuknya dalam penanggulangan dampak bencana ekologis banjir, longsor, kebakaran, asap dan kemiskinan serta lain-lain.”

Sedang Andiko Sutan Mancahyo, Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional (DKN) juga pengacara senior di ASM Law Office tak terlalu optimistis dengan nota kesepakatan ini.  “Saya ragu, sebelum KPK kuat lagi. Kabinet ini seperti tak solid,” katanya.

Untuk itu, katanya, perlu ada tim pendukung yang kuat dan bisa menjembatani komunikasi antar kementerian.

Menurut dia, pengalaman lalu, tim nota kesepahaman bersama (NKB) bisa berjalan karena orang pada takut KPK. Kini, kondisi agak berbeda.  Saat ini, katanya, rasa takut itu berkurang dan harus diganti dengan kerjasama kuat antarkementerian.

Martua Sirait dari DKN ikut pada acara nota kesepakatan GN-PSDA itu. Dia melihat antusiasme kementerian dan lembaga yang terlibat. “Karena banyak kemiripan dengan Nawa Cita, hingga prosesnya saya rasa lancar selama ini.”

Tak hanya itu, GN-PSDA sangat detail dan lebih luas. Pada NKB 2013,  terdiri dari 12 kementerian dan lembaga. Kini, diperluas dengan melibatkan pemerintah provinsi juga organisasi masyarakat sipil. Ia juga dilengkapi keterbukaan informasi yang diposting di website KPK. “Sampai form-form monitoring setiap aspek ada.”

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/03/24/soal-mou-penyelamatan-sumber-daya-alam-apa-kata-mereka/