Pemetaan Partisipatif

Politik Ruang dan Perlawanan: Kisah Konflik Atas Ruang di Tingkat Lokal

Kita tidak mewarisi bumi ini dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu kita, maka kembalikanlah secara utuh (Mahatma Gandhi)

Pernyataan Ghandi ini sepertinya cocok untuk menggambarkan mengenai keserakahan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Konflik penguasaan ruang dan pengelolaan sumber daya alam yang marak terjadi diakibatkan ketidakadilan dalam penguasaan sumber daya oleh negara yang seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Terbitnya izin usaha perkebunan dan izin usaha ekstraktif rakus ruang lain seperti pertambangan, hingga yang paling baru saat ini melalui pembangunan koridor-koridor ekonomi melalui proyek MP3EI merupakan contoh bagaimana negara melalui kekuasaannya terus menreproduksi ruang sekaligus memfasilitasi aliran investasi skala luas untuk mengeruk sumber-sumber agraria dalam batas teritorial nasional.

Begitu pula dengan pengaturan ruang di wilayah desa-hutan yang seringkali menebar konflik dan perebutan hak akibat putusnya hubungan tradisional masyarakat sekitar hutan dengan mata pencaharian utamanya. Konflik penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam ini dapat diminimalisir oleh penataan ruang yang adil, pelibatan dan pengorganisasian masyarakat dalam tata kelola pemanfaatan ruang dan wilayah.

Buku “Politik Ruang dan Perlawanan:Kisah Konflik Atas Ruang di Tingkat Lokal” ini menggambarkan berbagai studi kasus tentang penguasaan sumber daya alam yang mengakibatkan konflik karena ketidakadilan, kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat dan buruknya penyelenggaraan pemerintahan dalam penataan ruang wilayah.

Tersingkirnya masyarakat atas ruang bisa disebabkan oleh berbagai proses. Hall et al (2011) menyebutkan setidaknya ada empat proses yang menyebabkan orang bisa tersingkir dari tanahnya, pertama melalui regulasi, pasar, paksaan dan legitimasi.

Pemerintah telah memulainya dengan mengeluarkan kebijakan UU No 5 tahun 1979 yang menjadi legalisasi uji ralat pengaturan ruang oleh negara, regulasi tersebut menyebabkan masyarakat Marga Batin Pengambang Jambi tidak lagi memiliki wilayah secara bersama. Sama seperti halnya yang terjadi pada Marga Batin Pengambang, masyarakat Podi Sulawesi Tengah juga harus menerima nasib yang sama, tersingkir karena regulasi pemerintah Kabupaten Tojo Una Una yang memberikan wilayahnya bagi peruntukan tambang, bahkan mereka harus menerima double exclusion, pertama karena tanahnya yang dirampas untuk tambang yang kemudian menyebabkan bencana longsor sehingga mereka harus direlokasi. Masih soal tambang, kebijakan ruang di Halmahera Utara yang menekankan pada bisnis ektraksi tambang menunjukan bahwa perempuan merupakan kelompok pertama dan paling rentan yang menanggung dampak dari terampasnya sumber penghiudpan dalam keluarga dan komunitas oleh industri tambang. Tidak saja dipedesaan, bahkan lahan perkotaan selalu menjadi lahan basah bagi para pemangku kebijakan untuk mengalokasikan untuk berbagai INVESTOR, seperti yang terjadi di Padang Sumatera Barat.

Selalu ada perlawanan dari ketidakadilan baik secara frontal maupun tidak, Scott (1977,1985) menjelaskan bahwa meskipun keterlibatan petani dalam perlawanan dipandang sebagai aksi defensif apabila penghidupannya terganggu serta cenderung mengambil bentuk ‘perlawanan keseharian’ (everyday resistance) secara tidak terbuka. Meskipun demikian petani dapat digerakan dalam aksi kolektif radikal jika terhubung dengan ‘pihak lain’ yang mengorganisirnya secara efektif. Masyarakat Sambawa menunjukan perlawanan seperti yang dikatakan oleh Scott, perlawanan terhadap perkebunan sawit dengan mengerahkan segala 6
Politik Ruang dan Perlawanan:Kisah Konflik atas Ruang di Tingkat Lokalstrategi baik litigasi maupun non litigasi melalui organisasi rakyat yang terorganisir dengan segala dinamikanya. Sementara masyarakat Desa Uraso Sulawesi Selatan telah menunjukan perlawanan yang lebih jauh dari sekedar merebut ruang, tetapi lebih jauh perjuangan soal menata ruang demi kesejahteraan
bersama. Dalam buku ini juga disajikan perspektif kesesuaian pemanfaatan lahan dengan mengambil kasus perubahan ruang akibat tanaman monokultur di datarang tinggi Dieng Jawa Tengah.

Buku ini merupakan hasil ekstraksi dari penyelenggaraan Sekolah Advokasi Tata Ruang (SATAR) Angkatan II yang sudah diselenggarakan JKPP yang bekerjasama dengan ARC, sebagai bahan bagi tukar pengalaman dan pengetahuan antar peserta juga untuk menendokumentasikan pengalaman dan pengetahuan tersebut menjadi materi tulisan yang terstruktur. Selamat kepada para penyusun yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membuat tulisan demi memperkaya isi buku ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan untuk para mentor: 1) (Alm) Restu Achmaliadi; 2) Ade Cholik Mutaqin; 3) Dewi Dwi Puspitasari Sutejo; 4) Erwin Suryana; 5) Hilma Safitri; 6) Muhammad Yusuf; dan 7) Tri Agung Sujiwo, yang telah mengawal para penyusun untuk menyelesaikan tulisan ini. Mudah-mudahan buku ini dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca dan pihak-pihak terkait untuk bertindak bersama.

Selamat membaca dan terus berkarya untuk terus mewujudkan tegaknya kedaulatan rakyat atas ruang.

Deny Rahadian
Koordinator Nasional
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

[wpdm_package id=’1621′]