Pemetaan Partisipatif

Hutan yang Didistribusikan untuk Masyarakat Adat Harus Tepat dan Benar. Mengapa?

Kehidupan Masyarakat Adat Marga Benakat, Muara Enim, Sumatera Selatan yang sebagian besar kini tidak lagi memiliki kebun. Mereka bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit. Foto: Taufik Wijaya

Kabar baik menghampiri masyarakat adat wilayah Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Riau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bakal menyerahkan pengelolaan hutan kepada masyarakat adat seluas 1,5 juta hektare. Akankah lahan tersebut benar-benar diterima masyarakat adat?

Dari 1,5 juta hektare itu, Riau mendapat alokasi lahan seluas 862.331 hektare, Jambi (304.000 hektare), Sumatera Selatan (257.828 hektare), dan Bengkulu (119.661 hektare).

Hal ini disampaikan Direktur Penyiapan Perhutanan Sosial Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan KLHK Wiratno dalam workshop dan konsultasi publik di Bengkulu, Rabu (04/11/5) lalu. Adapun pengelolaan hutan yang dicanangkan KLHK, yang bakal diserahkan kepada masyarakat seluas 12,7 juta hektare.

Dijelaskan Wiratno, penyerahan hak pengelolaan tersebut sebagai upaya memaksimalkan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Pola agroforestry ini merupakan jalan tengah untuk menekan laju pengelolaan hutan yang saat ini belum maksimal.

Prof. Dr. Amzulian Rifai, pakar hukum dari Universitas Sriwijaya menuturkan, jika itu benar-benar dilakukan pemerintah dan distribusinya tepat, yakni diserahkan kepada masyarakat adat, bukan kepada perorangan, ini merupakan upaya yang baik.

Namun, jika pendistribusiannya tidak benar bukan tidak mungkin pula upaya tersebut tidak akan menyelesaikan konflik masyarakat adat dengan negara. Termasuk, upaya memaksimalkan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial hutan.

Jadi harus dijalankan secara benar, dan memang benar untuk masyarakat adat, ujarnya di sela Konsultasi Publik dengan Pemangku Kewajiban Guna Penyelesaian Masalah SDA dan Agraria yang Melibatkan Korporasi yang digelar Komnas HAM di Palembang, Sabtu (07/11/s15) lalu.

Hal yang sama dikatakan Benny Ardiansyah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu. Ini langkah yang baik. Tapi hutan yang diserahkan kepada masyarakat adat kondisinya masih berupa hutan, bukan eks penambangan atau aktifitas lainnya, sehingga secara ekonomi dan sosial masyarakat adat mampu mengembangkan diri. Bukan sebatas penjaga dan petugas penghijauan.

Yang lebih penting, cara pemberian sesuai mekanisme dan benar-benar untuk masyarakat adat, ujarnya.

 

Sebaran marga yang ada di Sumatera Selatan. Sumber: AMAN Sumsel

 

Rustandi Adriansyah, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel, mengatakan sebenarnya hutan yang diserahkan kepada masyarakat adat, seperti yang diusulkan AMAN, JKPP dan KPSHK, belumlah cukup sebagaimana yang dibutuhkan masyarakat adat saat ini.

Masyarakat adat di Sumsel yang tidak dapat mengakses hutan sekitar satu juta orang. Lahan yang diberikan berkisar 250 ribu hektar. Ya bisa dihitunglah, cukup kurang.

Jika solusi pemberian hutan kepada masyarakat sebagai upaya menjaga kebakaran hutan, ini juga tidak menjamin. Sebab, luasan hutan yang dijaga masyarakat adat nanti berbanding jauh dengan luasan lahan yang dikuasai perusahaan maupun aktivitas perkebunan dan pertambangan yang hampir 5 juta hektar di Sumsel.

Namun, upaya pemerintah ini sebuah kemajuan. Kini tinggal pemerintah yang harus mendistribusikan hutan tersebut secara tepat dan benar. Menurut kami, pemerintah pusat maupun daerah harus segera mengeluarkan undang-undang atau peraturan daerah terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, ujar Rustandi.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/11/11/hutan-yang-didistribusikan-untuk-masyarakat-adat-harus-tepat-dan-benar-mengapa/