“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar hakim konstitusi Anwar Usman saat persidangan di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, Kamis (10/12/2015).
Dalam pertimbangannya, majelis mengabulkan Pasal 50 ayat 3 huruf e dan huruf i karena masyarakat adat yang sudah hidup secara turun temurun di kawasan hutan tak dapat dipidana. Mereka dapat menggunakan seluruh kekayaan alam di dalam hutan tersebut selama tidak dipergunakan untuk kepentingan komersil.
“Majelis berpendapat bahwa masyarakat yang telah turun temurun hidup di dalam kawasan hutan tersebut tidak dapat dipidana. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 4 tentang pengakuan eksistensi hukum dan aturan hidup dalam masyarakat hukum adat, di mana objek hak masyarakat hukum adat yang hidup di kawasan hutan meliputi air, tumbuhan, binatang, bebatuan, selama tidak digunakan untuk kepentingan komersil,” jelas Anwar.
Pasal 50 ayat 3 huruf e UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut berbunyi:
Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen, atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Gugatan ini dilayangkan Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo, WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantasa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch) serta Rosidi dan Mursyid Sarka selaku petani yang pernah dijerat ketentuan pidana kedua UU tersebut.
Staf program LSM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Andi Muttaqien, selaku kuasa hukum pemohon tersebut mengatakan bahwa pihaknya mengapresiasi putusan majelis, meskipun hanya mengabulkan sebagian gugatan mereka.
“Tapi selebihnya menurut kami agak aneh kalau MK tidak mempertimbangkan argumentasi pernyataan ahli maupun keterangan saksi selama persidangan atas UU itu,” ujar Andi.
“Karena sebenarnya dalam permohonan kami meskipun kira menjelaskan Pasal 1 angka r kemudian Pasal 12 yang kami uji semuanya itu satu persatu. Tapi meskipun kami dalam petitum menyatakan keseluruhan UU P3H kita minta batal, seharusnya MK bisa mempertimbangkan pasal-pasal di mana yang kami uji saya,” sambung Andi.
Sementara itu, Mawardi yang merupakan perwakilan Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo mengatakan dirinya cukup puas karena majelis mengabulkan permohonan mereka supaya masyarakat yang hidup di kawasan hutan tak dipidana karena menebang pohon yang mereka anggap berada di kebun yang mereka buat.
“Atas keputusan MK ini kami agak merasa sedikit terlindungi dengan pengecualian dari putusan tadi. Jadi ancaman pidana terhadap masyarakat yang turun temurun hidup di dalam lingkungan hutan menjadi hilang,” jelas Mawardi.
(rni/asp)
Sumber: http://news.detik.com/berita/3092580/mk-putuskan-warga-kawasan-hutan-yang-mengambil-hasil-alam-tak-bisa-dibui