Pemetaan Partisipatif

Penetapan Hutan Adat Ulin di Kalteng Mendekati Titik Terang

Warga menunjukkan kayu ulin yang ada di hutan Mungku Baru, Palangkaraya. Foto: Indra Nugraha

Setelah beberapa saat muncul ketidakpastian tentang pengelolaan hutan ulin Mungku Baru, Kota Palangkaraya, akhirnya segenap pemangku kepentingan menyepakati bahwa salah satu hutan ulin yang masih utuh di Kalteng ini perlu dijaga kelestariannya (13/6).  Ulin (Eusideroxylon zwageri) adalah kayu khas Kalimantan, bertekstur amat kuat dan kokoh, yang pada saat ini sudah semakin sulit dijumpai.

Awal persoalan ini dimulai saat warga masyarakat adat mengkuatirkan hutan ulin Mungku Baru akan habis, karena hutan tersebut lokasinya berada dalam kawasan konsesi HTI perusahaan asal Korea, PT Taiyoung Engreen. Masyarakat kuatir, tanpa adanya kekuatan hukum, hutan ulin akan musnah diratakan oleh perusahaan. Karenanya masyarakat meminta agar kawasan hutan ulin dapat dijadikan kawasan hutan adat.

Dalam kepercayaan masyarakat, hutan ulin Mungku Baru adalah tempat yang diluhurkan. Warga tak berani masuk sembarangan dan masuk atau mengambil kayu di dalamnya. Dengan pranata adat yang berlaku ini, wajarlah jika pohon ulin, yang di sebagian besar wilayah Kalimantan lainnya sudah musnah, masih terjaga dengan baik di Mungku Baru.

Berdasarkan pemetaan partisipatif yang telah dilakukan oleh Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP), wilayah hutan ulin Mungku Baru mencakup 400 hektar ditambah 100 hektar sebagai kawasan penyangganya, sehingga totalnya menjadi 500 hektar. Lokasinya sebagian besar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Gunung Mas.

“Secara administratif hutan ulin memang masuk wilayah Kabupaten Gunung Mas,  tapi dekat dengan Mungku Baru, Kota Palangkaraya. Itu memang masih masuk wilayah adat,” jelas Aries Antoni, lurah Mungku Baru menjelaskan.

Pernyataan Antoni pun didukung oleh Ramai Susanto, mantir adat Mungku Baru. “Kawasan hutan ulin ini memang masuk batas administratif Kabupaten Gunung Mas, juga area kerja PT Taiyoung Engreen. Maka, harus dicari titik terangnya supaya ada penyelesaian,” katanya.

Sungai Rukan, cara untuk mencapai hutan ulin. Foto: Indra Nugraha

Menurut Siti Maimunah, Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya yang turut mendorong proses kelestarian hutan ulin ini, sejak tahun 2010 sudah ada rencana penunjukkan hutan adat ulin Mungku Baru, namun belum cukup kuat karena belum ada SK definitif dari Menteri Kehutanan. Demikian pula sejak 27 September 2014 telah berdiri kelembagaan pengelola hutan ulin yang dilakukan dari hasil diskusi dengan seluruh masyarakat dan kelurahan dan diketahui Camat Rakumpit. 

“Hutan ulin ada di batas administratif Kabupaten Gunung Mas dan dalam konsesi HCV (High Conservation Value) PT Taiyoung Engreen.  Sekitar 30 persen saja yang berada di luar konsesi PT Taiyoung,” jelasnya.  Bulan April yang lalu, pihaknya mengadakan sensus ulang untuk menghitung keberadaan pohon ulin. Hasilnya didapati ada  390 pohon ulin termasuk anakannya yang berada di hutan tersebut.

Menurut penuturan warga, di dalam hutan ulin pun masih dijumpai berbagai satwa liar, seperti beruang madu, kancil, babi hutan, orangutan, owa, bekantan, bangkui, trenggiling, landak, dan jenis-jenis burung.

“Beberapa waktu lalu, kita juga pernah fasilitasi warga dan bertemu langsung dengan bupati Gunung Mas. Beliau tak mempermasalahkan masyarakat adat yang menguasai berasal dari Palangkaraya. Yang penting nanti harus ada pembicaraan di tingkat  provinsi,” jelas Siti yang juga aktif mendampingi perjuangan masyarakat adat Mungku Baru dalam memperjuangka hutan ulin.

Perwakilan PT Taiyoung Engreen, Rohiman, menyebutkan pihaknya pun mendukung agar hutan ulin Mungku Baru untuk terus dilindungi. Pihaknya berjanji akan berkoordinasi dengan Pemkab Gunung Mas agar penetapan hutan adat ulin Mungku Baru dapat diproses. Menurutnya kolaborasi dengan warga untuk menjaga hutan perlu dilakukan.

“Di area kami ada wilayah adat yang perlu dilindungi.  Kami tak lakukan aktivitas penebangan di wilayah tersebut. Pohon ulin dan pohon lain yang  dilindungi tak kami tebang,” jelas Rohiman.

Kepala perwakilan Palangkaraya PT Taiyoung Engreen, Lampang, menyebutkan sejak mendapatk SK operasional pada 2009, perusahannya langsung merevisi Rencana Kerja Umum (RKU) dan menyisakan area hutan ulin sebagai area lindung.  “Kita mencanangkan area ini dimasukkan dalam wilayah sempadan sungai dan KPPN (Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah),” katanya. Menurutnya di dalam konsesi PT Taiyoung, wilayah sempadan sungai yang dilindungi adalah 1.123,92 hektar dan kawasan KPPN adalah seluas 1.792,18 hektar termasuk hutan adat ulin Mungku Baru.

Aktivitas pertambangan emas rakyat yang berada di pinggir Sungai Rukan. Satu tantangan sendiri dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Foto: Indra Nugraha

Pemerintah Siap Bantu

Kepala Bidang Produksi Hasil Hutan Dishut Kalteng, Sapta Wartono, menyebutkan nomenklatur hutan adat diakui dalam UU Kehutanan No. 41/1999, dan dikuatkan dengan keputusan MK 35/2012. Sehingga pihaknya memiliki kewajiban guna memfasilitasi warga dalam proses penetapan hutan adat yang ada.

Untuk memudahkan proses penetapan hutan adat,  menurutnya Pemda perlu didorong untuk segera mengeluarkan Perda wilayah adat hutan ulin Mungku Baru. Sehingga, selanjutnya pihak KLHK dapat mengeluarkan lokasi tersebut dari kawasan hutan negara.

“Sebenarnya sudah tak ada masalah lagi. Karena dari PT Taiyoung sendiri ingin menetapkan wilayah itu sebagai kawasan lindungnya.  Tinggal ke depannya perlu ada rekomendasi dari pihak Kabupaten untuk segera mengeluarkan Perda wilayah adat hutan ulin Mungku Baru,” jelas Wartono.

Sihang, Camat Rakumpit Palangkaraya pun ikut bersuara. Pada prinsipnya ia juga  mendukung penetapan hutan ulin Mungku Baru sebagai hutan adat. Ia menyatakan, akan memfasilitasi dan mendukung rencana ini sepenuhnya. Menurutnya sambil menunggu keluarnya Perda sebagai syarat menuju hutan adat, maka perlu ada kolaborasi diantara para pihak yang ada.

“Yang perlu diperhatikan adalah soal tata batasnya, kalau selama ini kan hutan ulin tidak ada yang ganggu, tidak ada pula yang berladang,” jelasnya.

Dia pun mewanti-wanti diperlukan kesiapan matang agar masyarakat adat dapat terus menjaga dan mengelola hutan ulin yang ada. “Jangan sampai nanti saat izin hutan adat sudah dikeluarkan, timbul masalah baru, seperti kerusakan ekosistem, alihfungsi, penjualan lahan dan sebagainya.”

Sumber : http://www.mongabay.co.id/2016/06/16/penetapan-hutan-ulin-yang-tersisa-di-kalteng-mendekati-titik-terang/