Pemetaan Partisipatif

Masyarakat Adat Tau Taa Wana Menanti Perda Perlindungan

Wilayah masyarakat adat Taa Wana di Sulawesi Tengah. Foto: HuMA

Yayasan Merah Putih (YMP) berusaha mendorong pengakuan wilayah adat bagi masyarakat Tau Taa Wana, sejak belasan tahun lalu. Mereka ini komunitas masyarakat yang mendiami dataran Bulang,  Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah.

Pertengahan Juni 2016, angin segar berhembus dari Badan Legislasi Daerah DPRD Tojo Una-una. Sosialisasi dan diskusi Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Masyarakat Adat Tau Taa Wana kembali mengemuka.

Wakil Ketua DPRD Tojo Una-una, Jafar Amin mengatakan, pembahasan Perda Perlindungan Masyarakat Tau Taa Wana masuk penyempurnaan draf  atas masukan bagian hukum Pemprov. “Pada 27 Juni 2016, kami akan ke Jakarta untuk finalisasi di Menteri Dalam Negeri.  Mudah-mudahan setelah konsultasi bisa langsung paripurnakan, “ katanya, baru-baru ini.

Pada rapat paripurna nanti, katanya,  tak perlu khawatir karena semua perwakilan fraksi ada di Badan Pembentuk Peraturan Daerah (Baperda). Draf ranperda juga sudah lama. “Hanya kemungkinan masaalah di Mepdagri, kita memerlukan pengawalan pada Mendagri,” katanya.

Aktivis Yayasan Merah Putih Moh Irsan mengatakan, perda direspon baik masyarakat Tau Taa Wana. Setiap DPRD sosialisasi, katanya,  animo masyarakat tinggi. Mereka setuju karena perda ini perlindungan tak hanya komunitas, juga wilayah adat.

DPRD, katanya, sudah  sosialisasi perda, dua kali. Pertama 28 Mei 2016 di Desa Mpoa, Ampana Tete dan kedua 1 Juni 2016 di Desa Kasiala, Kecamatan Ulubongka.

Irsan mengatakan, proses pembuatan perda ini mungkin terlama, memerlukan lebih 10 tahun. “Amat lama, jika dibandingkan dengan penerbitan perda lain.”

 

***

Pada 2004, masyarakat Tau Taa Wana mengadakan mogombo bae atau musyawarah besar adat diikuti sembilan lipu (satuan perkampungan).  Mereka bersiap mendorong pemerintah daerah memberikan pengakuan. Masa itu, YMP menyiapkan basis argumentasi, misal, peta wilayah adat, studi, sosilolgis dan antropologis, riset soal potensi ekonomi dan tanaman lokal untuk kepentingan mereka, termasuk penelitian satwa liar. “Kita anggap wilayah ini sangat strategis, daerah cukup penting untuk kelangsungan hidup, karena daerah tangkapan hujan,” kata Amran Tambaru, Direktur Yayasan Merah Putih.

Hasil studi dan pemetaan partisipatif YMP memperlihatkan, wilayah adat Tau Taa Wana Bulang 80.386 hektar atau 14% luas Tojo Una-una.

Amran mengatakan, riset lapangan itulah menjadi awal perkenalan dengan orang Mpoa, salah satu lipu, nama unit satuan perkampungan di dataran bulang. “Rupanya mereka ada masalah. Mereka berikan informasi, dan mandat pada YMP untuk membantu,” ucap Amran.

Interaksi Tau Taa Wana Bulang dengan YMP  bermula pada 1999. Saat itu,  YMP terlibat dalam sebuah riset kecil diinisiasi KPSHK dan Walhi.

Pasca reformasi, praktik otonomi daerah mulai bergulir pada 2000-an, berpengaruh pada kehidupan Tau Taa Wana. Tak sedikit “agenda pembangunan” berusaha mengusir mereka dari tanah adat.

Saat itu, dibuat rencana pemindahan masyarakat Tau Taa Wana oleh perusahaan perkebunan lokal, PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). Sebagian Mpoa, katanya, jadi konsesi sawit KLS. “Mereka akan jadi buruh sawit di Banggai, tetapi orang Tau Taa Wana menolak,” katanya.

Peta wilayah adat Taa Wana. SUmber: YTM
Peta wilayah adat Taa Wana. Sumber: YMP

Salah satu alasan penting ada perda, kata Amran, karena sebagian besar wilayah adat, mulai diklaim pihak luar, baik pemerintah (lewat transmigrasi), maupun migran spontan (datang menduduki tanah tanpa permisi dengan pemangku adat).

Selain itu, interaksi masyarakat Tau Taa Wana dengan dunia luar belum bebas dari stigma negatif. Bahkan, seringkali pemerintah kabupaten menyebut mereka orang terbelakang.

Bergerak dan berdaya

Sejak 2004, disepakati tim bersama antara masyarakat Tau Taa Wana  dengan LSM YMP. Saat itu, disepakati dua tim,  pertama,  sosialisasi gagasan advokasi kebijakan ke kampung-kampung.  Kedua, YMP bekerja pada advokasi kebijakan. “Awalnya perda ini kita dorong di provinsi, tetapi berubah ke kabupaten.”

Sebetulnya,  gagasan ini mendapat dukungan pemda termasuk pemerintah provinsi. Terbentuk tim naskah akademik Perda Perlindungan Masyarakat Adat Tau Taa Wana oleh Gubernur Sulawesi Tengah era Aminuddin Ponulele. Juga ada anggaran dua tahun sosialisasi.

Rancangan perda ini, katanya, tertunda tanpa ada kejelasan. Dua periode kepemimpinan DPRD Sulteng berganti tetapi tak kunjung terealisasi. “Dengan pertimbangan itu arena perjuangan dipindahkan ke kabupaten.”

Agenda ini mendapatkan respon bagus dari Morowali. Dari beberapa kali dialog kebijakan, diskusi dan sosialisasi lahirlah Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana di Kabupaten Morowali Nomor 13 tahun 2012.  Sedangkan di Tojo Una-una, kembali didorong masuk DPRD pada 2015. Ini inisiatif legislatif sudah masuk Prolegda.”

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/06/26/masyarakat-adat-tau-taa-wana-menanti-perda-perlindungan/