Pemetaan Partisipatif

Presiden Teken Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan

Perpres no. 88 tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan HutanPada 6 September 2017, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.  Aturan ini,  diharapkan bisa menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan.

Sebelumnya, pada 2014,  ada peraturan bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional terkait Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di Kawasan Hutan. Ia terekam dalam aturan Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-11/2014, 17/PRT/M/2014 dan 8/SKB/X/2014.

Pada akhir 2015, kebijakan ini dievaluasi bersama. Hasilnya, perlu peningkatan level jadi perpres agar ada koordinasi dan kepemimpinan dalam menjalankan. Pembahasan lanjutan pun difasilitasi KPK.

Kawasan hutan dimaksud terbagi dalam hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Adapun pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan dan (atau) telah diberikan hak sebelum bidang tanah ditunjuk sebagai kawasan hutan.

Ia seperti tercantum dalam Pasal 8 ayat (2) ayat (1) berbunyi, mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan, tukar menukar, memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial dan melakukan resettlement.

Adapun pola ini, tetap memperhitungkan luas yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan (atau) provinsi dan fungsi pokok kawasan hutan.

Beleid ini pun membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutam, disebut Tim Percepatan PPTKH. Tugasnya, menyusun rencana aksi percepatan PPTKH. Mulai koordinasi dan sinkronisasi, menetapkan mekanisme resettlement, pengawasan dan pengendalian percepatan PPTKH, menetapkan luas maksimum bidang tanah dan lain-lain.

“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” begitu bunyi Pasal 35 yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 11 September 2017.

Tim Percepatan PPTKH terdiri atas Menko Bidang Perekonomian (ketua), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Menteri Dalam Negeri, Sekretaris Kabinet dan Kepala Staf Presiden.

Hariadi Kartodiharjo, Peneliti Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Mongabay, Senin (18/9/17) mengatakan, isi draf perpres sebelumnya yang telah dibicarakan dan disetujui oleh KLHK, Kementerian ATR/BPN dan Kemendagri difasilitasi KPK lebih progresif dibandingkan aturan yang disahkan. Fasilitasi KPK dilaksanakan Juni-Desember 2016.

Satu contoh, katanya, harapan dari peraturan sebelumnya dengan Ketua Tim Percepatan Menko Perekonomian, bisa langsung bertanggungjawab kepada Presiden.

 

Hutan adat Pekasa, di Kecamatan Lunyuk, Sumbawa, NTB, yang berada di ketinggian tampak lebat dan berawan kala sore hari. Warga adat, hanya membuka lahan di tempat khusus pemukiman dan pertanian. Sedang hutan larangan tak mereka ganggu gugat karena memang sebagai penyangga hidup mereka. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Perpres belum jawab berbagai masalah

Hariadi, juga Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB pesimistis perpres ini akan jadi solusi. Pasalnya,  pola penyelesaian hanya tunggal. ”Dipindahkan (resettlement) untuk penguasaan lahan setelah kawasan hutan ditunjuk.”

Padahal, banyak pemukiman, fasilitas sosial (umum) dan tanah garapan dalam kawasan konservasi secara sosial, ekonomi, politik sulit dipindahkan.

Pola resettlement, katanya, memerlukan biaya mahal. Dalam perpres ini,  sumberdaya manusia dan biaya operasional ditanggung pemerintah daerah.  Dalam pelaksanaan, katanya, perlu ada keterbukaan agar ada partisipasi dalam memecahkan persoalan sumberdaya itu.

Tak hanya itu, dalam penguasaan lahan sebelum kawasan hutan ditunjuk, warga seringkali tak punya identitas kependudukan, termasuk masyarakat adat. Kondisi ini tak memenuhi syarat dalam perpres ini.

Bagitu juga penerapan batasan luas kawasan hutan sama atau lebih besar 30%, untuk Lampung dan Jawa– yang memiliki hutan kurang 30%–, penguasaan dan pemanfaatan tanah tak bisa jalan dengan resettlement.

”Untuk itu opsi manajemen pemanfaatan lahan dengan kombinasi pohon dan pertanian dapat dianjurkan,” katanya.

Martua T. Sirait, Ahli Kehutanan mengatakan, perpres itu hanya menjawab sebagian masalah dalam menyelesaikan hak tanah rakyat di kawasan hutan produksi. Dengan hutan produksi lebih 30% sudah jadi pemukiman dan lahan pertanian produktif atau tak berfungsi hutan dikeluarkan dari kawasan hutan. Lalu masuk skema reforma agraria. Sedangkan hutan lindung,  masuk skema perhutanan sosial.

”Pemukiman di hutan lindung dan konservasi belum ada penyelesaian selain resettlement, yang menurut saya akan sulit dilakukan,” katanya.

Dia mencatat,  ada 25.000-an dari 75.000-an desa beririsan atau berada di kawasan hutan, baik pemukiman, pertanian, kebun wanatani ataupun hutan rakyat.

Desa-desa itu sudah terlebih dulu ada sebelum penunjukan dan penetapan kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan hingga kini belum selesai.

Pengecualian pengelolaan hutan yang tercantum dalam perpres ini, katanya,  akan menghambat pemenuhan rakyat di kawasan hutan lindung dan konservasi, terutama di hutan yang kurang 30%.

Dia bilang, ada beberapa regulasi menghambat implementasi perpres ini, seperti soal pengakuan masyarakat adat melalui peraturan daerah, seperti tercantum dalam UU/41 Tahun 1999 Pasal 67. Juga UU No. 5/1990 soal tidak boleh ada pemukiman, pertanian dan usaha kehutanan rakyat di kawasan konservasi.

Martua berharap, revisi UU Konservasi di DPR mampu menyelesaikan masalah hak tanah rakyat di hutan konservasi dengan mengakomodir pengelolaan rakyat.

Boy Even Sembiring, dari Walhi Riau mengatakan, perpres ini tak ada terobosan bagi pengakuan masyarakat adat. ”Mekanisme resettlement merupakan penghalusan bahasa dari penggusuran harus hati-hati dipergunakan pemerintah. Tak boleh dengan cara kekerasan dan represif, harus ada inventarisasi jelas antara tanah rakyat dan pemodal,” katanya.

 

Keterbukaan informasi

Implementasi perpres diharapkan ada keterbukaan. Bukan hanya agar para pihak mengetahui proses,  keterbukaan penting karena dalam banyak kasus, penguasaan dan pemanfaatan bukan atas dasar motif subsisten, tetapi sudah kekuatan ekonomi maupun politik.

“Pemda seringkali tak berdaya karena kapasitas kurang atau bagian dari kepentingan penguasaan dan pemanfaatan lahan di kawasan hutan itu,” kata Hariadi.

Perpres ini,  katanya, tak eksplisit mengatur penguasaan di kawasan hutan yang telah dimanfaatkan sebagai usaha kehutanan, pertambangan maupun perkebunan.

Di lapangan,  hampir di semua lokasi izin (legal atu ilegal) terdapat penguasaan dan pemanfaatan lahan.

Meski demikian, Martua menyebutkan ada tiga hal baik dalam perpres ini, yakni, pertama, hak-hak tanah rakyat di kawasan hutan  ini diselesaikan dengan lintas kementerian. Kedua, ada tim pengendalian bersama di tingkat nasional dan tim inverntarisasi serta verifikasi bersama. Tujuannya, memastikan wilayah mana prioritas penganggaran.

Ketiga, larangan pengusiran masyarakat dan pendudukan selama proses penyelesaikan hak atas tanah.

Boy juga melihat sisi positif perpres ini.”Ada varian pengakuan hak melalui perhutanan sosial, berarti bisa jadi salah satu strategi percepatan target 12,7 juta hektar perhutanan sosial.”

Sumber : https://www.mongabay.co.id

About the author

admin

Add Comment

Click here to post a comment