Pelaksanaan Program Pendaftaran Sistematis Lengkap (PTSL) yang digulirkan sejak tahun 2017 oleh Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), keberhasilannya sangat ditentukan oleh partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat mempunyai peranan penting dalam program PTSL tersebut tidak hanya sebagai objek tetapi sebagai subjek/pelaku utama dalam percepatan pelaksanaannya.
Partisipasi masyarakat menjadi kunci percepatan implementasi PTSL di lapangan, sehingga perannya telah tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 2018 pasal 42 ayat (1) bahwa Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dapat dilakukan berbasis partisipasi masyarakat dengan dibantu oleh Petugas Pengumpul Data Pertanahan. Program PTSL pun kemudian berganti nama menjadi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Berbasis Partisipasi Masyarakat atau disingkat PTSL+PM.
Awal Februari 2019, Kementerian ATR/BPN mengeluarkan kebijakan Nomor 002/JUKNIS-300.UK.01.01/11/2019 tentang Petunjuk Teknis Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Berbasis Partisipasi Masyarakat (PTSL+PM). Juknis tersebut diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan teknis PTSL yang akurat dan berkualitas serta minim konflik dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Beberapa hal penting yang menjadi dasar dikeluarkannya Petunjuk Teknis Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Berbasis Partisipasi Masyarakat (PTSL+PM) tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan PTSL harus berprinsip sistematis lengkap desa demi desa berbasis partisipasi masyarakat;
2. Untuk mengatasi keterbatasan jumlah sumber daya manusia pelaksana PTSL, maka Satgas Fisik dan Satgas Yuridis dapat dibantu dari unsur masyarakat dalam wadah Petugas Pengumpul Data Pertanahan (Puldatan);
3. anggota Puldatan mewakili unsur Perangkat Desa, Babinsa/Bhabinkamtibmas, tokoh masyarakat/pemuda dan para surveyor;
4. Memastikan bahwa pekerjaan yang dilaksanakan oleh Puldatan disupervisi oleh Satgas Fisik dan Satgas Yuridis agar memnuhi standar teknis yang ditetapkan.
Mekanisme Pengumpul Data Pertanahan (Puldatan)
Pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah dalam rangka PTSL berbasis partisipasi masyarakat dilakukan dengan sistem swakelola yang dilakukan oleh Satgas Fisik ASN/SKB dan Satgas Yuridis ASN yang melibatkan masyarakat (Puldatan) sebagai bagian dari tim pelaksana. Sementara ketentuan mengenai Petugas Pengumpul Data Pertanahan (Puldatan) adalah sebagai berikut:
1. Puldatan adalah kelompok masyarakat yang diberi pelatihan dan ditugaskan untuk menjadi fasilitator sekaligus pelaksana proses pengumpulan data fisik dan data yuridis;
2. Puldatan dibentuk dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Pertanahan;
3. Puldatan dalam melaksnakan pekerjaanya, diberikan Surat Tugas oleh Ketua Tim Ajudikasi;
4. Puldatan minimal beranggotakan 10 orang yang terdiri dari: 1 (satu) orang Kepala Desa/Perangkat Desa yang ditunjuk, 1 (satu) orang Babinsa/Bhabinkamtbmas, 4 orang tokoh pemuda desa/anggota karang Taruna/ ketua RT/Tokoh masyarakat/Tokoh Perempuan, dan 4 orang para Surveyor. Para Surveyor adalah pemuda Desa/anggota Karang Taruna yang direkrut dan diberi pelatihan tata cara pengumpulan data fisik. Para surveyor juga merupakan bagian dari anggota Puldatan yang berasal dari Kabupaten yang sama, bertugas untuk melaksanakan pengumpulan data fisik dan dapat merangkap sebagai petugas pengumpul data yuridis di seluruh lokasi pekerjaan. Para surveyor dapat berasal dari luar desa yang bersangkutan. Dalam satu wilayah kerja desa, Puldatan dan dibagi menjadi beberapa sub tim yang bekerja dalam satuan wilayah RT/RW/Blok.
Kualifikasi dan Tugas Puldatan
Kualifikasi Pultadan adalah sebagai berikut:
1. Diutamakan mengenal Desa PTSL+PM;
2. Usia minimal 17 tahun;
3. Dapat mebaca dan menulis. Khusus untuk Para Surveyor memiliki pendidikan minimal SMA atau setara;
4. Diutamakan dapat menggunakan gadget.
Tugas Puldatan sebagai berikut:
1. Mengikuti dan lulus training Puldatan
2. Melaksanakan pengumpulan, memvalidasi, mendigitalkan, dan mengarsikan dokumen yuridis (KK/KTP, alas hak, SPT PBB, Surat Pernyataan Kepemilikan Tanah/Penguasaan Fisik);
3. Melaksanakan pengumpulan data fisik (identifikasi dan deliniasi batas RT/Desa dan bidang tanah, menverifikasi batas dan kesepakatan batas di lapangan, membantu petugas ukur dalam melaksanakan pengukuran terestris/GNSS/Kombinasi);
4. Penunjuk Batas apabila pemilik tanah dan tetangga yang berbatasan tidak bersedia menunjukan batas;
5. Membantu dalam pembuatan Gambar Ukur;
6. Membantu memediasi apabila ada sengketa batas maupun kepemilikan bidang tanah;
7. Membantu pelaksanaan pengumuman PBT untuk diklarifikasi;
8. Menandatangani PBT hasil klarifikasi;
Permen ATR/BPN No. 6/2018 melalui PTSL+PM diatas telah memasukan unsur partisipasi masyarakat sebagai bagian penting dari sebuah penyediaan data dan peta di tingkat desa. Hal ini menunjukan kemajuan tersendiri sebagai bentuk-bentuk perluasan dalam pengembangan metode pemetaan partisipatif, yakni partisipasi masyarakat desa dalam penyediaan data, peta serta inisiatif pemetaan ruang yang lebih lengkap. Selain itu, data bidang bisa menjadi salah satu thematik tersendiri dalam proses pemetaan partisipatif, yang penting dalam prosesnya bisa berkoordinasi dengan para pihak terkait, termasuk dengan Kantor Pertanahan ATR/BPN. Agar, tidak saja sebagai ruang pembelajaran bersama, namun lebih penting lagi adanya proses komunikasi, kerjasama dan kontrol yang efektif antara ATR/BPN dengan masyarakat dalam proses penyediaan data dan proses lanjutannya.
Dengan demikian, diharapkan kedepan selain adanya informasi lengkap tentang data status dan fungsi pertanahan ditingkat desa, juga akan mempermudah dalam proses koordinasi penyelesaian sengketa pertanahan dan ruang di Indonesia. Dengan data yang valid, perencanaan penetapan status dan fungsi ruang untuk mendukung pembangunan menjadi lebih mudah. Kementerian ATR/BPN yang menjadi walidata atas status tanah, sudah seharusnya memiliki data terkait seluruh status dan fungsi ruang di Indonesia, baik yang bersertifikat, yang belum bersertifikat dan juga status tanah yg masih dalam sengketa.
Kelemahan Program PTSL+PM diantaranya hanya menyasar lokasi-lokasi atau bidang yang secara hukum sudah clear and clean, mengingat persoalan tanah di pedesaan tidak akan lepas dari masalah konflik tenurial. Konflik-konflik itu dimungkinan tenjadi sejak lama dan belum ada upaya penyelesaian sehingga menjadi konflik yang berkepanjangan. Konflik tenurial di perdesaan meliputi konflik dengan ijin-ijin konsesi, HGU, tambang, kehutanan serta yang lainnya.
Program ini juga belum menjawab persoalan Reforma Agraria, karena hanya sebatas legalisasi asset dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program Reforma Agraria tidak pernah meletakkan legalisasi asset melalui PTSL sebagai langkah pertama maupun langkah teknis untuk mencapai tujuan sesungguhnya. Reforma Agraria adalah upaya untuk memperluas wilayah kelola rakyat, mengubah struktur penguasaan tanah yang timpang melalui – salah satunya – penegasan dan pengakuan hak masyarakat lokal dan adat yang tumpang tindih dengan ijin-ijin konsesi yang ada diatasnya yang selama ini menjadi penyebab konflik.
Namun, dengan berbagai kelemahan dan kelebihan Program PTSL+PM dari berbagai sudut pandang, namun bagi Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) dan pegiat pemetaan partisipatif di daerah, program ini dapat dimanfaatkan sebagai momentum gerakan untuk membangun basis data spasial dan sosial di desa dan kawasan. Pencetakan kader-kader pemetaan desa yang memiliki keterampilan dalam penyediaan data spasial dan sosial di wilayah desanya masing-masing. Desa masih memerlukan tenaga-tenaga terampil pemetaan baik spasial maupun sosial yang akan mampu mengintegrasikan hasil pemetaan kedalam perencanaan pembangunan desa yang berkelanjutan. Melalui keterlibatan tenaga terampil pemetaan desa sebagai pelaksana kegiatan pemetaan akan memberikan warna baru bagi implementasi dan paska program ini secara berkualitas.
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Berbasis Partisipasi Masyarakat (PTSL+PM) ini merupakan metode baru yang perlu diuji keberhasilannya. Sehingga masih diperlukan masukan dan pembelajaran atas perkembangan yang terjadi dilapangan. Tujuan utamanya, sebesar-besarnya untuk menjaga dan melindungi hak-hak warga negara serta menjaga kedaulatan rakyat atas ruang. (Dari berbagai sumber)
Kontributor: Sahdi Sutisna
Tantangan baru bagi Pegiat Pemetaan Partisipatif, dimana dahulu Pemetaan dibuat untuk Counter Mapping terhadap peta2 yang dibuat oleh pihak lain yang nota bene merugikan masyarakat. Saat ini metode Pemetaan Partisipatif digunakan sebagai bagian dari proses pemetaan ruang dan bidang oleh Pemerintah melalui PTSL. Salut atas kerja keras dan kerja cerdas kawan2 JKPP dalam melakukan advokasi dan meyakinkan ATR/BPN sehingga menjadikan metode ini digunakan secara efektif. Kita tunggu dan terus mengawal, semoga mencapai dampak yang menggembirakan
Terimakasih. Ayo terus bekerja dan terus mengawal prosesnya, untuk menuju kedaulatan rakyat atas ruang
Istilah counter mapping nampaknya lebih cocok jika dihadapkan kepada peta buatan kehutanan karena peta ini sering menimbulkan konflik, selain bahwa metode pembuatannya menggunakan skala kecil (tdk detail, banyak generalisasinya).
Lain halnya dengan peta bidang buatan bpn yang dibuat sejak awal menggunakan skala besar, menghasilkan peta yang lebih detail dan baik akurasinya. Di samping itu proses pembuatannya wajib disetujui pemilik bidang tanah yang berbatasan.
Meski, masih banyak yang perlu ditingkatkan,
PTSL-PM membuka peluang percepatan dan meminimkan potensi sengket dan konflik. Peluang ini makin baik dimana aplikasi pengumpul datanya makin mudah dan dukungan GPS yang murah/terjangkau. Tidak hanya one map policy saja yang perlu didukung, namun perlu juga didukung One Village One GPS/GNSS low budget…. Amiin…
salam, fcm