Pemetaan Partisipatif

Hasil Pemetaan Partisipatif Ditawarkan

JAKARTA, KOMPAS – Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif menawarkan hasil pemetaannya bersama masyarakat adat di berbagai hutan adat. Peta itu diharapkan bisa menjadi alat untuk menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang memisahkan hutan adat dari hutan Negara.

“Peta ini bisa dijadikan bukti awal dalam penyelenggaraan pengukuhan kawasan hutan,” kata Kasmita Widodo, Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipasif (JKPP), Rabu (8/1), di Jakarta. Hasil pemetaan partisipatif JKPP (Desember 2013) mencapai 5,26 juta hektar. Dari luasan itu, peta wilayah adat 4,97 juta hektar.

Jika data peta wilayah adat itu ditumpang susun dengan data peta kawasan hutan, ada 81 persen atau  sekitar 4 juta hektar kawasan hutan di wilayah adat. “Artinya, hanya 19 persen masyarakat adat hidup dan mengelola wilayah adatnya,” katanya.

Namun, dalam kebijakan penataan ruang, 19 persen itu dikategorikan sebagai areal penggunaan lain yang menjadi lokasi perizinan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit, tebu, kakao, karet, dan sebagainya. Lebih lanjut , 48  persen wilayah adat itu dibebani izin sector kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

Menunggu respons

Meski digarap serius, hasil pemetaan partisipatif itu masih sekadar data yang belum bisa langsung digunakan dalam program Satu Peta garapan Badan Informasi Geospasial.  Menurut  Kasmita, pemetaan partisipatif  ini tak masuk system Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN). JDSN hanya mengakui simpul jaringan dari kementerian/lembaga.

“Kementerian/lembaga dalam simpul jaringan tak punya data peta wilayah adat. Kami ingin peta partisipatif wilayah adat ini jadi peta tematik dalam JDSN sehingga jadi referensi mengurus hutan di  Indonesia,” ujarnya.

Dalam UU No.4/2011 tentang Informasi Geospasial disebutkan, masyarakat berhak membuat informasi geospasial tematik (peta tematik). Dengan demikian, peta partisipatif wilayah adat bisa menjadi peta tematik.

Namun, Menteri kehutanan Zulkifli Hasan punya pandangan berbeda. Menurut dia, Putusan MK No 35/2012 bisa ditindaklanjuti masyarakat dengan mengajukan izin hutan desa. Prosesnya meminta rekomendasi dari bupati kepada menteri kehutanan.

Zulkifli mengatakan, itu lebih aman karena masyarakat berhak mengelola hutan desanya 60 tahun plus 30 tahun. “ Untuk menjadi hutan adat harus menunggu proses politis penetapan undang-undang,” katanya.(ICH)

Sumber : Kompas (9 Januari 2014)

Sumber: http://otda.kemendagri.go.id/index.php/categoryblog/1425-hasil-pemetaan-partisipatif-ditawarkan