Pemetaan Partisipatif

Realisasi Perda Ulayat Sintang Tersandung. Kenapa?

Kondisi hutan seperti ini memerlukan perlindungan, salah satunya dengan Perda Ulayat. Foto: Yusrizal

Harapan masyarakat Kabupaten Sintang untuk mendapatkan legalitas atas hutan adat harus pupus di tengah jalan. Pasalnya, wacana pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Ulayat yang sempat diusulkan sejak tahun 2011 lalu terkesan mati suri.

Kondisi ini sangat disesalkan masyarakat adat. Mengingat, pemerintah bersama DPRD Sintang sempat melakukan studi banding ke Padang, Sumatera Barat untuk mencari rujukan penyusunan rancangan Perda.  Bisa dipastikan, anggota DPRD Sintang tahun 2009-2014 gagal memenuhi impian masyarakat adat itu.

Sekretaris Dewan Adat Dayak Kabupaten Sintang, Agrianus berharap pemerintah dan DPRD Sintang membahas kembali Perda Ulayat. “Kalau tidak bisa diwujudkan anggota DPRD Sintang periode sekarang, mudah-mudahan dilanjutkan oleh dewan yang baru,” katanya di Sintang, Minggu (7/9/2014).

Ia mengakui, Perda Ulayat sangat penting bagi masyarakat adat, apalagi laju investasi terus masuk ke daerah. “Kalau hak masyarakat adat tidak dilindungi dengan payung hukum berupa Perda Ulayat, maka konflik investasi akan terus terjadi,” katanya.

Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sintang, Herkulanus Roni mengatakan realisasi Perda Ulayat terkendala karena pemerintah belum melakukan inventarisasi hak-hak adat yang ingin diperdakan secara keseluruhan. “Kalaupun sudah diinventarisir, proses realisasi perda masih panjang. Karena, harus dilaporkan ke Kementerian Kehutanan lebih dulu untuk menemukan kesesuaian,” katanya.

Menurutnya, inventarisir lahan adat juga tidak mudah, karena harus melihat apakah kawasan itu masuk dalam areal izin yang sudah dibebaskan atau tidak. “Sepanjang hutan adat tidak bersentuhan dengan perizinan, proses inventarisir akan lebih mudah,” katanya.

Ia tak menampik belum selesainya Perda RTRW Kabupaten Sintang menjadi hambatan pembentukan Perda Ulayat. “Penyebab lainnya adalah minimnya anggaran. Karena, anggaran untuk melakukan inventarisir hutan adat hanya tersedia tahun 2011, sementara tahun 2012, 2013 dan tahun ini tidak ada,” ucapnya.

Setelah beberapa tahun mandek, pemerintah akan berupaya merealisasikan lagi Perda Ulayat ditahun 2015. “Salah satu proyeksi pemerintah tahun 2015 adalah Perda Hak Ulayat, karena sangat penting. Supaya tercipta keselarasan antara kepentingan masyarakat adat dengan investor dan juga pemerintah. Apalagi, hak adat diakui oleh undang-undang,” ucapnya.

Meski Perda Ulayat belum ada, Roni tidak sependapat hal tersebut membuat hak masyarakat dikebiri. Menurut dia, investasi memiliki ketentuan yang tidak boleh dilanggar dan hak masyarakat dilindungi dalam aturan itu. “Kalau masyarakat selaku pemilik tanah tidak bersedia menyerahkan lahan untuk investasi, investor tidak bisa memaksa,” tukasnya.

Ketua DPRD Sintang, Harjono, menyatakan kendala utama Perda Ulayat Sintang karena RTRW belum selesai. Ia mengakui, Perda tersebut tak akan bisa dibahas oleh anggota DPRD Sintang periode 2009-2014 sampai akhir masa jabatan.  “Kami memang sudah studi banding, tapi kalau RTRW-nya belum ada, bagaimana kami bisa melanjutkan pembahasan,” ucap dia.

Direktur Lembaga Titian, Sulhani, mengatakan dalam program Setapak, Titian mencoba mendorong pengakuan pemerintah daerah atas hak masyarakat untuk mengelola tanah di wilayah areal penggunaan lain (APL) dan juga perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi.

“Prosesnya masih berjalan, harapan kami tentunya hak kelola masyarakat di wilayah APL dan kawasan bernilai konservasi ini punya payung hukum, setidaknya setingkat peraturan bupati,” kata dia.

Pada dasarnya, dia menilai apa yang diupayakan Titian ini sejalan dengan upaya Pemkab Sintang yang sedang mendorong Perda Ulayat atau Perda Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat yang juga terus berjalan.

“Beberapa waktu terakhir kami melihat memang Pemkab Sintang sedang mengarah kepada upaya perlindungan hak adat. Nah, beberapa wilayah yang kami inventarisasi ternyata hak ulayat masyarakat tidak hanya dalam kawasan hutan, tetapi ada yang berada di wilayah APL,” tukasnya.

Selain itu, terkait perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi, juga tidak terlepas dari keberadaan kawasan ulayat masyarakat, karena kawasan bernilai konservasi tidak hanya dilihat dari sisi lingkungan saja, tetapi mencakup aspek sosial budaya yang ada dalam kawasan itu.

Menurut dia, untuk menuju pada pengakuan hak ulayat masyarakat, tentunya diperlukan aturan mengenai kelembagaan masyarakat hukum adat karena dari kelembagaan itulah nantinya bisa ditetapkan status tanah adat atau ulayat.

Pemerintah lamban

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Sintang, Fransiskus Ancis, menyesalkan lambannya pemerintah dan eksekutif merealisasikan terbentuknya Perda Ulayat di Bumi Senentang. Padahal, keberadaan hutan adat sudah diakui oleh pemerintah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012.

“Dalam putusan itu, hutan adat yang sebelumnya masuk dalam hutan negara, sekarang dipisahkan. Undang-undang secara tegas menyatakan hutan adat bukan lagi hutan negara. Hutan adat milik masyarakat adat, pemanfaatannya juga untuk masyarakat adat. Kalau ada pihak lain atau pemerintah ingin memanfaatkannya, harus dengan persetujuan masyarakat adat,” jelasnya.

Berlarut-larutnya penyelesaian Perda Ulayat, menimbulkan kesan political willpemerintah dan legislatif hanya menjadi harapan dan mimpi masyarakat saja. “Makanya jangan heran, sekarang ini muncul lagi kasus-kasus terkait investasi di perusahaan perkebunan kelapa sawit. Contohnya kasus penebangan sawit oleh masyarakat di Ketungau Hulu. Kejadian ini bisa dihindari bila hak-hak masyarakat adat dilindungi. Kasus ini seharusnya membuka mata pemerintah dan dewan tentang pentingnya Perda Ulayat,” tegas Ancis.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/09/08/realisasi-perda-ulayat-sintang-tersandung-kenapa/