Pemetaan Partisipatif

Studi Lapangan untuk Tindaklanjut Inkuiri Nasional dan Mendorong Usulan Hutan Adat MHA Punan Dulau (Bagian 1)

Masyarakat Hukum Adat (MHA) Punan Tuguk yang berada di Desa Punan Dulau kondisinya kian terdesak dan termarjinalkan dengan adanya konsesi perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dari PT Intracawood yang sudah masuk sejak tahun 1980-an. Pengakuan dan perlindungan atas keberadaan mereka perlu dilakukan karena hal tersebut merupakan hak asasi yang harus terpenuhi. Maka dari itu, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama dengan PD AMAN Bulungan, Perkumpulan HuMa, dan Padi Indonesia melakukan advokasi untuk membantu menyuarakan pengakuan dan perlindungan MHA Punan Dulau dengan menyelenggarakan studi lapang. Studi lapang tersebut sebagai wujud tindak lanjut inkuiri nasional yang bertujuan untuk mendorong usulan hutan adat MHA Punan Dulau.

Kegiatan studi lapang ini mengikutsertakan kementerian dan lembaga terkait seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); Direktorat PKTHA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Utara; dan Pemerintah Kabupaten Bulungan. Berlangsung selama dua hari, yaitu pada Kamis-Jumat, 8-9 Juni 2023.

Kegiatan pertama dilakukan di Desa Punan Dulau dengan agenda utama dialog bersama MHA Punan Dulau terkait dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh MHA Punan Dulau saat ini. Agenda ini penting untuk dilakukan mengingat keberadaan MHA Punan Dulau masih belum diakui oleh negara yang mengakibatkan hak dasar hidup mereka terganggu, termasuk hak atas tanah dan sumber daya alam.

Kaharuddin, Kepala Desa Punan Dulau, menyampaikan aspirasi dan harapannya dalam momentum tersebut. “Saya mewakili masyarakat Desa Punan Dulau meminta dengan sangat supaya segera dicabut izin HPH dari wilayah hutan adat kami. Saya juga meminta untuk dibuatkan jalan yang bagus dan jembatan untuk mempermudah perekonomian masyarakat, serta saya memohon bantuan untuk dibangunkan sekolah serta rumah kesehatan”. Selain itu ia juga mengharapkan kepada pihak terkait untuk membangunkan 100 unit rumah layak huni bagi Masyarakat Punan Dulau.

Kaharudin juga menjelaskan, bahwa terdapat penyempitan wilayah Desa Punan Dulau yang semula seluas 23.139 Ha sekarang menyempit menjadi 21.139 Ha akibat adanya pergeseran batas desa dan juga konsesi HPH PT. Intracawood. Adanya konsesi tersebut berimbas juga pada rusaknya hutan adat sebagai sumber daya bagi Masyarakat Punan Dulau, “Kami gigit jari melihat hutan kami habis dan jalan yang ada jadi rusak” ungkapnya.

Komnas HAM menyebutkan bahwa pada tahun 2013-2014, Komnas HAM telah melakukan Inkuiri Nasional sebagai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM, dan menemukan 40 kasus terkait pelanggaran HAM terhadap masyarakat hukum adat, dan 33 kasus diantaranya hingga saat ini belum mendapatkan penetapan, salah satunya yang terjadi pada MHA Punan Dulau. Pelanggaran HAM atas MHA Punan Dulau sudah terjadi sejak 35 tahun yang lalu, dan kini masyarakat adat punan dulau “dipaksa” untuk meninggalkan tanah nenek moyangnya dan dipindahkan di pemukiman yang letaknya kurang lebih 50 km dari asal mereka.

Komnas HAM mendesak perlu dilakukannya percepatan dalam penyelesaian hak untuk masyarakat adat yang diwujudkan dengan lahirnya surat ketetapan dan pengakuan Masyarakat Adat dan Hutan Adat di Desa Punan Dulau. “Pertama perlu pengakuan subjeknya (masyarakat adatnya) oleh Pemda Bulungan, lalu selanjutnya KLHK bisa bertindak dengan merevisi izin perusahaan dan menetapkan statusnya sebagai hutan adat”, jelas Saurlin selaku Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM. Dijelaskan pula, untuk alternatif lainnya di saat KLHK masih bekerja untuk merevisi konsesi perusahaan, hutan tersebut bisa ditetapkan sebagai hutan cadangan terlebih dahulu dalam rangka menyelamatkan krisis.

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah mengatakan bahwa masyarakat adat di dalam konteks HAM dikategorisasikan sebagai kelompok marginal dan rentan, sehingga Komnas HAM memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan rekomendasi yang diberikan dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Apabila pengakuan dan penetapan wilayah adat tidak dilakukan, dampak-dampak yang ada akan meluas, karena dalam HAM, antara hak satu dengan hak lain saling berhubungan”, jelasnya. Ia juga menekankan pada inklusivitas dalam melakukan perjuangan, termasuk melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil dan perempuan.