Pendahuluan
Gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang lalu, telah menimbulkan dampak yang demikian luas terhadap lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan Pesisir Aceh. Secara umum kerusakan tersebut meliputi prasana dan sarana sosial, ekonomi, dan tentu saja kerusakan lingkungan – yang disertai dengan perubahan bentang alam.
Dari segi lingkungan, khususnya kerusakan lingkungan perairan belum ada data atau hasil penelitian. Namun kerusakan di kawasan pesisir pantai terbentang lebih kurang sepanjang 50 km dengan lebar antara satu sampai tiga kilometer di Kota Banda Aceh/Aceh Besar. Kawasan pesisir pantai yang terpanjang mengalami kerusakan adalah di pesisir Barat Aceh, lebih kurang sepanjang 200 km sejak dari Kecamatan Lamno Kabupaten – Aceh Jaya hingga Kecamatan Kuala di Aceh Barat dan lebar rata-rata satu sampai dua km. Sementara di Pantai Timur Aceh kerusakan wilayah pesisir diperkirakan sepanjang 100 kilometer. Seluruh kawasan yang rusak tersebut terdiri dari kebun rakyat dan perkampungan atau pemukiman penduduk.
Khusus di Aceh Besar dan Banda Aceh, dari 19 mukim[3] (kesatuan wilayah adat) yang berada di kawasan pesisir, hanya satu mukim yang tidak mengalami kerusakan akibat Tsunami, yaitu Mukim Lampanah. Sedangkan gampong–gampong di mukim lainnya, sejak dari Kecamatan Krueng Raya hingga Kecamatan Lhoong, praktis seluruh perkampungan nelayan musnah beserta kampung-kampung terdekat, atau mencakup sembilan kecamatan.
Hancurnya gampong–gampong akibat tsunami, yang diikuti dengan hilangnya sebagian besar penduduk dan penduduk yang tersisa kemudian masuk ke barak-barak pengungsian, merupakan sebuah persoalan besar, terlebih lagi jika dihadapkan pada upaya-upaya rekonstruksi dan relokasi. Masalah tersebut adalah bagaimana perlindungan hak perwalian dari korban yang sudah meninggal atau hilang, perlindungan atas kawasan bersama komunitas, hak untuk kembali membentuk sebuah masyarakat di tempat asal, hak untuk menata ulang tata ruang gampong,.
Hak perwalian
Sampai saat ini, belum semua korban tsunami yang selamat dapat diidentifikasi. Para korban yang selamat bukan hanya berada di pengungsian di sekitar wilayah yang hancur, tapi ada pula yang mengungsi ke tempat saudara baik di tempat lain di Aceh maupun ke luar Aceh. Sehingga upaya untuk mengidentifikasi ahli waris dari para korban yang sudah meninggal dunia, atau orang yang berhak untuk mendapatkan hak perwalian dari anak-anak yang selamat dan masih di bawah umur tentu lebih sulit lagi. Sepengetahuan penulis, upaya untuk mengidentifikasi ahli waris sampai sejauh ini belum ada pihak yang melakukan. Ini pekerjaan berat, tapi harus dilakukan untuk mewujudkan lahirnya ruang interaksi sosial baru yang bebas dari pengabaian hak dari orang-orang yang perlu dilindungi haknya.
Berdasarkan adat dan nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat, apabila seseorang meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris sementara ia meninggalkan sejumlah harta berupa tanah, maka tanah tersebut berada dibawah pengawasan gampongatau mukim sampai ditemukan ahli waris yang berhak. Jika ia tidak memiliki ahli waris, maka hak pengawasan dan pemanfaatan atas tanah tersebut dikembalikan kepadagampong. Dalam hal ini, gampong akan mengatur pemanfaatan tanah tersebut untuk kepentingan bersama dan kemaslahatan ummat. Tanah seperti ini biasanya dimasukkan dalam kategori tanah baital mal (harta agama). Dengan demikian, tidak dibenarkan ada pihak lain yang coba merampas hak tersebut dari gampong.
Perlindungan hak ulayat
Hak ulayat, sampai saat ini masih tetap diakui di Aceh. Dalam istilah lokal cytotec, tanah atau perairan ulayat ini sering disebut dengan tanoh gampong atau tanoh mukim. Pengakuan terhadap hak ulayat ini dipertegas kembali melalui sejumlah peraturan daerah, masing-masing Perda no. 5 tahun 1996 tentang mukim sebagai kesatuan masyarakat adat di Aceh, perda no. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh – sebagai penjabaran dari UNDANG-UNDANG no 44 tahun 1999, terakhir di perkuat lagi melalui Qanun no. 4 tahun 2003 tentang PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NAD. Namun demikian, di kebanyakan wilayah adat belum ada upaya untuk menegaskan mana saja yang merupakan harta bersama dari kampung atau mukim mereka. Hal ini tentunya memerlukan proses, kalau tidak masyarakat adat bisa saja dirugikan oleh para pihak yang berkepentingan terhadap sumber daya alam yang dimiliki masyarakat setempat.
Secara umum, semua wilayah pesisir yang terkena tsunami memiliki kawasan ulayat berupa perairan laut tempat nelayan tradisional menangkap ikan dan kawasan sepanjang tepi pantai (kawasan berpasir dan atau yang tidak ditumbuhi tanaman budi daya atau yang disepakati sebagai kawasan milik bersama). Kawasan tepi pantai tentunya merupakan kawasan yang sangat diincar, karena cukup potensial untuk kawasan wisata.
Khusus di Kota Banda Aceh, mukim Syech Abdurrauf (dulunya disebut mukim Kuala) memiliki wilayah perairan ulayat berupa kawasan pasang surut yang dikelilingi oleh hutan bakau. Pemanfaatan kawasan ini sepenuhnya diatur oleh lembaga adat peutua kruengberdasarkan adat setempat dan sudah berlangsung sejak lama. Pasca tsunami perairan ulayat tersebut sudah mengalami perubahan bentang alam dan para pemegang hak tradisional untuk memasang jang[4] sampai sekarang belum teridentifikasi keberadaannya di mana, berapa jumlah mereka yang selamat dan siapa pula ahli warisnya
Status Tanah
Sebagian dari penduduk yang menjadi korban tsunami, khususnya yang terletak dalam wilayah mukim Syech Abdurrauf di Kota Banda Aceh, tidak memiliki surat-surat tanah, terutama karena tanah yang mereka tempati sudah puluhan tahun ternyata telah dibuat sertifikat atas nama orang lain. Hal ini tentunya menimbulkan persoalan tersendiri, bila dihubungkan dengan rencana relokasi atau penataan ulang kawasan. Bila tidak hati-hati justru akan menyebabkan penggusuran hak mereka-mereka yang yang selama ini telah berjuang dengan gigih.
Berbeda halnya dengan penduduk dari mukim di luar kota Banda Aceh, walaupun ada diantara mereka yang tidak memiliki surat tanah, kedudukan mereka tidak selemah penduduk di Mukim Syech Abdurrauf, terutama karena memang mereka berada di wilayah adat yang kepemilikan tanah tidak dilihat semata pada soal administrasi atau surat-surat tapi lebih kepada asal usul tanah dan pengakuan masyarakat setempat. Namun demikian bagi tanah-tanah yang semula merupakan hak bersama masyarakat gampong/mukim, tetap perlu dilindungi, agar hak bersama tersebut tetap seperti kepemilikan semula.
Pemetaan Sosial dan Pemetaan Kawasan
Pemetaan sosial dan pemetaan kawasan merupakan dua kegiatan yang berhubungan satu sama lain. Namun dalam kondisi Aceh hari ini, ada kawasan-kawasan yang belum memungkinkan dilakukan kedua agenda tersebut secara lengkap. Karena di gampong–gampong tertentu, dengan pertimbangan kondisi hanya memungkinkan dilakukan pemetaan sosial saja, tanpa dilakukan pemetaan kampung. Kalaupun pemetaan kampung dibuat, maka hanya peta wilayah adat dan tata guna lahan saja, yang lainnya ditunda dulu untuk sementara.
Waktu yang tersedia untuk proses pemetaan sosial dan kawasan dapat dikatakan cukup pendek, apabila tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan kebijakan makro dalam rangka rekontruksi Aceh pasca tsunami. Namun demikian faktor-faktor psikologis, adanya prioritas lain dan banyaknya agenda dari berbagai pihak untuk kawasan-kawasan yang terletak di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar tentunya perlu juga dipertimbangkan. Selain itu, adalah bagaimana kegiatan-kegiatan pemetaan ini dapat dipersiapkan secara bertahap, sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal.
Dalam hubungannya dengan persoalan waktu, adanya kebutuhan praktis untuk mengkonsolidasikan para pengungsi dari satu kampung yang kini masih terpencar-pencar di berbagai tempat pengungsian. Kondisi ini tentunya berpengaruh pada bagaimana kita mendapatkan mandat dan juga bagaimana mereka sendiri membangun kesepakatan. Sehingga apa yang kita lakukan bersama masyarakat benar-benar menjadi sebuah landasan yang dapat terus dipelihara dan dikembangkan ke depan. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana mendapatkan informasi yang valid dan optimal, dari sumber daya manusia setempat yang sudah jauh berkurang dari keadaan sebelum tsunami.
Isue Penataan kawasan
Kabupaten-kabupaten yang paling parah tingkat kerusakan dan luasannya adalah Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar. Sedangkan kabupaten lainnya adalah Simeulu, Pidie, Aceh Utara, Bireun, dan Lhokseumawe. Khusus di Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, kecamatan yang mengalami kerusakan adalah : Mesjid Raya, Baitussalam, Syiah Kuala, Kutaraja, Meuraxa, Peukan Bada, Lhoknga, Leupung dan Lhoong.
Dalam hubungannya dengan penataan kembali kawasan-kawasan tersebut di atas, saat ini banyak sekali para pihak yang mulai bergerak untuk berperan serta dalam merancang bagaimana penataan dan pengembangan pesisir, baik untuk tingkat provinsi Aceh maupun untuk kawasan kabupaten/kota Aceh Besar dan Banda Aceh.
Ide-ide untuk mengembangkan jalur hijau adalah sesuatu yang positif bagi lingkungan, tapi tentunya memerlukan proses sosial yang matang, sehingga tidak menimbulkan kemiskinan baru, praktek penindasan dan meluasnya ketidakpuasan rakyat. Dalam hal ini, pemerintah telah mengeluarkan konsep/cetak biru bahwa kawasan pesisir yang terletak dalam radius 300 meter dari laut akan digunakan untuk pengembangan jalur hijau. Sedangkan untuk pemukiman adalah yang jaraknya sekitar 400 meter dari laut.
Jalur hijau yang akan dikembangkan tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu di kawasan perairan payau dan daratan. Di kawasan payau akan dikembangkan tanaman mangrove, sedangkan di daratan, khususnya yang terletak di bibir pantai akan ditanami dengan tanaman yang sesuai.
Hak untuk kembali ke kampung
Hak untuk kembali ke kampung asal, merupakan hak yang asasi. Karenanya apapun rancangan yang dibuat untuk melakukan rekonstruksi Aceh harus dapat memastikan bagaimana dilindunginya hak untuk kembali ke kampung asal dan mendapatkan akses untuk mendapatkan tempat tinggal di kampungnya, secara adil dan bermartabat. Hal ini tentunya tidak mudah, apalagi dihadapkan pada rencana pengembangan sabuk hijau di sepanjang pesisir yang terkena tsunami.
Dengan terlindunginya hak untuk kembali ke kampung semula, memungkinkan pengungsi untuk membentuk kembali kesatuan masyarakatnya, membentuk kembali lembaga-lembaga yang mereka butuhkan dan tentunya juga untuk menata kembali tata ruang wilayah adatnya dengan menggunakan sistem setempat.
Oleh: Sanusi M. Syarif
[1] Disampaikan sebagai pengantar diskusi Rekontruksi Penataan Ruang Kelola Rakyat di Bogor 7 – 8 Februari 2005
[2]Â Pengurus Yayasan Rumpun Bambu.
[3] Satu mukim terdiri dari beberapa gampong, biasanya paling kurang terdiri dari tigagampong.
[4] Jang merupakan sejenis alat tangkap ikan yang terdiri dari bentangan pagar rapat yang dibuat dari belahan bamboo sebesar lidi ijuk dan dipasang membentuk huruf “V” di tengah sungai dan diujungnya dipasang bubu cara menggugurkan kandungan.
Add Comment