Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyebut, integrasi kebijakan tata ruang darat dan laut semakin memarjinalisasi hidup masyarakat pesisir. Namun, di sisi lain, cenderung memberi kemudahan investasi bagi korporasi.
Kebijakan yang merupakan mandat dari UU No.6/2023 tentang Cipta Kerja (UU CK) ini, memang mengatur perencanaan ruang laut. Pasal 43 UU itu menekankan sejumlah ketentuan, di antaranya (1) integrasi rencana tata ruang laut nasional (RTRLN) dalam rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN).
Dan (2) Integrasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) dalam rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP), serta (3) integrasi rencana zonasi kawasan strategis nasional (KSN) dalam rencana tata ruang kawasan strategis nasional (RTR KSN).
Kajian KIARA dan JKPP menyatakan, dari 21 KSN yang mempunyai lanskap pesisir terdapat 9 KSN yang sudah menetapkan RTR KSN. Di samping itu, sebanyak 14 provinsi telah mengesahkan dan mengundangkan RTRW Provinsi terintegrasi. Sementara, sampai saat ini, integrasi RTRLN dalam RTRWN belum dilakukan.
Persoalannya, sebut laporan itu, kebijakan integrasi itu tidak melibatkan partisipasi bermakna dari Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL). Dampaknya, kata Fikerman Saragih, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, keberadaan ruang-ruang MAKL tidak terakomodir. Tetapi, di sisi lain, ruang-ruang investasi semakin bertambah luas.
Dia menggambarkan kondisi itu melalui Perda RTRW Provinsi terintegrasi yang telah ditetapkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Dalam lampiran 5 RZWP3K Kaltim, contohnya, masyarakat adat masih memiliki kewenangan untuk melakukan monitoring dan evaluasi kawasan konservasi maritim. Kini, dalam RTRW Provinsi terintegrasi, peran itu tidak lagi disebutkan.
Sementara, berdasarkan laporan KIARA dan JKPP, Perda itu mengalokasikan ruang bagi pertambangan (minyak dan gas bumi) dan energi di pesisir Kalimantan Timur dengan luas 48.853 ha. Juga, reklamasi seluas 709,23 ha di zona perdagangan barang dan jasa.
“Bahkan masyarakat belum sepenuhnya tahu tentang situasi ini. Kami khawatir ketika kebijakan ini dijalankan, akan merampas ruang masyarakat,” ujar Fikerman ketika merilis kajian bertajuk “Integrasi Tata Ruang Darat dan Laut untuk Siapa”, di Jakarta, pekan lalu.
Situasi serupa juga terjadi dalam penyusunan draf RTRW Provinsi terintegrasi di Sulawesi Tenggara (Sultra). Dalam Perda RZWP3K, katanya, masih terdapat alokasi ruang Masyarakat Hukum Adat (MHA) seluas 4.307,08 ha. Kini, alokasi ruang itu tidak lagi tercatat dalam draf Perda RTRW Provinsi terintegrasi Sultra.
Fikerman merinci, 4 wilayah kelola MHA yang hilang dalam draf Perda RTRW Provinsi terintegrasi di Sultra. Yakni, pertama, wilayah adat Kaombo di Kelurahan Wali, Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi.
Kedua, wilayah adat Kaombo di Desa Wabula, Wasuemba dan Wasampela, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton. Ketiga, wilayah adat Kadie Liya, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi. Dan Keempat, wilayah adat Siompu di Kecamatan Siompu dan Siompu Barat, Kabupaten Buton Selatan.
Situasi sebaliknya berlaku bagi alokasi ruang untuk industri. Menurut Fikerman, jika dalam Perda RZWP3K Sultra tidak ada alokasi ruang untuk kawasan industri, kini dalam draf Perda RTRW terintegrasi luasannya menjadi 5.167 ha.
“Partisipasi bermakna dari masyarakat itu tidak ada, khususnya bagi mereka yang terdampak kebijakan ini. Dampaknya, ruang-ruang mereka tidak diakui dalam RTRW terintegrasi. Kami mengakategorikan ini sebagai perampasan ruang laut yang direncanakan.” terangnya.
Sedangkan Anta Maulana Nasution, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai, tidak semua pembangunan dapat dikategorikan sebagai perampasan ruang laut. Sebab, terdapat sejumlah aspek yang mensyaratkannya, yakni kualitas kebijakan, keamanan mata pencaharian masyarakat, serta kesejahteraan sosial dan ekologi.
“Tidak semua inisiatif itu buruk. Kalau semua kategori kebijakan kita bilang sebagai ocean grabing (perampasan ruang laut), maka kita tidak akan maju,” terang Anta yang hadir sebagai penanggap kajian KIARA dan JKPP.
Bagi dia, perampasan ruang laut ditujukan untuk mengeksploitasi sumber daya sesuai kepentingan aktor, baik politik maupun ekonomi. Seringnya, praktik ini memarjinalisasi dan menempatkan risiko bagi masyarakat.
Mempercepat Investasi
Imam Mas’ud, Peneliti JKPP mengatakan, integrasi kebijakan tata ruang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan UUCK, yang membuka ruang bagi penyederhanaan persyaratan perizinan berusaha. Penyederhanaan itu, katanya, tampak dari dua mekanisme yang tersedia dalam skema Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).
Pertama, konfirmasi KKPR bagi daerah yang telah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Kedua, melalui persetujuan KKPR bagi daerah yang belum menyusun RDTR.
“Artinya, upaya-upaya persyaratan dasar perizinan itu dipermudah bagi investasi melalui kebijakan KKPR yang menjadi amanat dari UUCK,” ujarnya.
Selain itu, percepatan perizinan juga difasilitasi melalui sistem Online Single Submission (perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik). Dengan sistem ini, proses penerbitan izin dari pendaftaran hingga penerbitan bisa selesai hanya dalam waktu satu hari kerja saja.
Sementara, berdasarkan struktur dan pola ruang, Imam menilai kebijakan integrasi itu sebagai kecenderungan untuk mempercepat kepentingan rantai pasok industri. Dia mendasari penilaiannya dari penggabungan zona pelabuhan dan zona bandar udara dalam RTRW Provinsi terintegrasi. Juga, integrasi zona industri di laut dengan zona industri di darat.
“Tidak mungkin (kebijakan integrasi) ini mencerminkan kepentingan komunitas. Karena, di zona pelabuhan dan bandar udara rata-rata industri skala besar. Tidak ada zona tangkap nelayan digabungkan dengan pelabuhan,” ungkapnya.
Dengan tidak adanya keberpihakan pada masyarakat, Imam ragu integrasi kebijakan tata ruang ini dapat menjadi bagian dalam upaya penyelesaian konflik dan krisis ruang, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Kami melihat, konflik-konflik yang ada, tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk menyusun kebijakan tata ruang,” terangnya.
Muhammad Ismail, Akademisi Politeknik Kelautan dan Perikanan Karawang mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah ketentuan sebelum menerbitkan izin. Misalnya, UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pasal 17 ayat 2 dalam UU itu menyebut, pemberian izin lokasi wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional dan hak lintas damai bagi kapal asing.
Ketentuan lainnya, lanjut Ismail, adalah pasal 2 ayat 2 (a) Permen 28 tahun 2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang laut. Pasal itu mengatur perencanaan ruang laut meliputi penyusunan materi teknis muatan ruang laut pada RTRWN.
“Yang tahu ini (ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil), ya masyarakat. Jangan sampai masyarakat pesisir terancam dengan adanya pembangunan,” ujarnya.
Baginya, izin-izin yang diterbitkan pemerintah seharusnya mengakomodir aspek ekonomi dan aspek kemanusiaan secara bersamaan
sumber: Riset Integrasi Kebijakan Tata Ruang Marjinalkan Masyarakat Pesisir (Mongabay)
kajian lengkap: INTEGRASI TATA RUANG DARAT DAN LAUT UNTUK SIAPA? : Ocean Grabbing Melalui Integrasi Kebijakan Tata Ruang Darat dan Laut di Indonesia
Add Comment