Laporan koalisi NGO Tanah Kita berjudul “Kapitalisme dan Krisis Ruang di Pulau Jawa: Siapa yang diuntungkan?” mengungkapkan adanya ketimpangan penguasaan lahan di Pulau Jawa.
Kebijakan tata ruang yang cenderung merugikan ruang warga lokal ini menciptakan ruang kelola warga yang semakin menyempit dan menciptakan berbagai macam konflik sosial.
Di Jawa Timur misalnya, konflik agraria melibatkan lahan seluas 29.521 hektar. Dari jumlah tersebut, 12.375 hektar masih dalam proses penanganan, sementara 16.141 hektar belum ditangani, dan hanya 1.004 hektar yang telah selesai.
Contoh kasus yang mencuat terjadi di Kabupaten Malang, dimana petani di lima desa bersengketa dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII Kalibakar yang melibatkan sengketa lahan seluas 1.192 hektar.
Sementara itu, di Jawa Barat terjadi konflik agraria di lahan seluas 32.302 hektar. Dari angka ini, 29.636 hektar dalam proses penanganan, 751 hektar belum ditangani, dan 1.915 hektar telah diselesaikan.
Salah satunya, konflik tumpang tindih penguasaan lahan di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, yang melibatkan lahan seluas 2.809 hektar lahan yang telah dibebani izin HGU, IUP dan sebagian berada dalam kawasan konservasi.
Di Daerah Khusus Jakarta, konflik agraria tercatat pada lahan seluas 141 hektar yang ada di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, yang melibatkan sengketa lahan antara masyarakat dan PT BPA.
Dalam kasus ini, temuan maladministrasi Ombudsman 2018, mengungkap adanya penyimpangan dalam penerbitan sertifikat tanah. Walhasil, warga Pulau Pari terus menghadapi ketidakpastian.
“Kebijakan saat ini menimbulkan kontroversi perdebatan, tentang bagaimana menyikapi isu ruang, khususnya di Pulau Jawa,” jelas Imam Hanafi, Koordinator Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), salah satu organisasi yang terlibat dalam penulisan laporan ini.
Dia menyebut kebijakan yang ada seperti program Perhutanan Sosial dan pengembangan kayu bioenergi, seringkali berorientasi dan lebih menguntungkan kepada korporasi besar.
Padahal Jawa, sebagai pulau terpadat di Indonesia ini, saat ini sedang mengalami krisis ruang dan ekologi.
Penguasaan Lahan untuk Kepentingan PSN
Risdawati Ahmad, peneliti utama riset menyebut ada sekitar 6.000 desa dengan 13.000 KK yang hidupnya tergantung pada pertanian di Jawa. Namun lahan yang mereka miliki rata-rata hanya 0,7 hektar, yang membuat mereka tergolong sebagai masyarakat miskin.
“Pulau Jawa menghadapi krisis ruang, terutama dalam kawasan hutan yang terbagi menjadi hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung. Kebijakan kolonial masa lalu yang memandang hutan sebagai lahan kosong masih berdampak hingga kini, dan mengabaikan hak warga,” lanjutnya.
Hal ini tampak pasca pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), dimana kebijakan pengelolaan hutan di Jawa mengalami perubahan signifikan melalui Peraturan Pemerintah PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
“PP Nomor 23 Tahun 2021 memungkinkan pelepasan hutan lindung dan konservasi untuk kepentingan pembangunan. Termasuk untuk proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Pulau Jawa,” terang Risdawati.
PP ini mencabut beberapa ketentuan dalam PP Nomor 72 Tahun 2010 yang sebelumnya memberikan mandat kepada Perhutani untuk mengelola hutan di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan total wilayah 2,43 juta hektar
Lewat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022, pengelolaan hutan Perhutani seluas 1,1 juta hektar kini dialihkan ke Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di bawah kendali langsung KLHK. Kebijakan baru ini mencakup 638.649 hektar hutan produksi dan 465.249 hektar hutan lindung.
Risdawati menyebut hal ini tujuannya untuk melanggengkan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang mencakup 208 proyek dan 10 program, yang mendorong pembangunan bendungan, jalan tol, serta kawasan industri sebagai proyek prioritas.
“Krisis ruang ini semakin diperparah oleh berbagai proyek infrastruktur berskala besar. Sebanyak 56.000 hektar lahan diberikan kepada swasta, sementara ruang kelola rakyat tergerus,” jelasnya.
Selain di darat, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Jawa juga menjadi target eksploitasi melalui kebijakan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) yang memungkinkan akselerasi pembangunan industri besar.
Sebagai contoh, Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2022 yang mendasari pembangunan industri di pesisir Utara Kendal hingga Semarang, yang sekarang berdampak pada penurunan muka tanah akibat penggunaan air tanah yang berlebihan.
Perubahan Tutupan dan Alih Fungsi Lahan di Jawa
Data Forest Watch Indonesia (FWI) dan tim penulis laporan mengungkap bahwa selama periode 2014-2022 di Pulau Jawa telah terjadi alih fungsi lahan pertanian seluas 673.507 hektar untuk pembangunan permukiman dan bandara, serta 6.284 hektar untuk pertambangan.
Alih fungsi lahan ini lalu berkorelasi dengan penurunan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Pulau Jawa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada jika pada tahun 2013 jumlah RTUP ada sebanyak 286 ribu, dalam 10 tahun telah turun 69 persen, menjadi 69 ribu pada 2023.
Sebaliknya kondisi ini menyebabkan lonjakan petani gurem. Dalam 10 tahun (periode 2013-2023) di Jawa Timur angkanya meningkat 17,06 persen menjadi 3,76 juta KK, di Jawa Tengah menjadi 3,38 juta KK. Di Jawa Barat, jumlahnya naik menjadi 2,57 juta KK (2023) dari 2,30 juta KK (2013), Sedangkan di Banten meningkat dari 379,89 ribu menjadi 446,10 ribu KK.
“Konflik agraria di Pulau Jawa menunjukkan intensitas yang semakin meningkat, dengan luas lahan yang terlibat mencapai ribuan hektar. Pemerintah menghadapi tantangan besar dalam menyelesaikan masalah ini di tengah kebijakan yang seringkali gagal memenuhi harapan warga,” terang Risdawati.
Masalah utama yang muncul dari pelbagai kasus ini adalah ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Kebijakan seperti KHDPK (Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus) seringkali tidak efektif dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal sekitar secara memadai.
Para penulis laporan ini menyebutkan perlunya reformasi kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada masyarakat. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses penetapan dan pelaksanaan kebijakan serta perlindungan hak-hak mereka menjadi kunci untuk menyelesaikan krisis ruang di Pulau Jawa.
“Tanpa langkah-langkah konkret, ancaman terhadap ruang hidup dan keberlanjutan lingkungan akan terus meningkat,” pungkas Risdawati.
sumber: Laporan Tanah Kita: Penguasaan Lahan Ciptakan Krisis Ruang di Jawa (Mongabay)
Kajian lengkap: Perampasan Ruang “Jawa” yang Direncanakan
Add Comment