Pemetaan Partisipatif

Diskusi Terfokus Konsolidasi Data dan Pengetahuan Untuk Penyusunan Kajian Tata Ruang

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama dengan Komunitas Teras, Walhi Sultra, Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sulawesi Tenggara, Komdes, serta Rumpun Perempuan menyelenggarakan Diskusi Terfokus Konsolidasi Data dan Pengetahuan Untuk Penyusunan Kajian Tata Ruang pada Kamis (26/09).

Dalam diskusi ini Imam Mas’ud (Opet) selaku kepala divisi advokasi menyampaikan beberapa poin penting khususnya yang berkaitan dengan kebijakan tata ruang yang ada saat ini pasca ditetapkannya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU-CK).

Dalam pemaparannya, UU-CK sendiri fungsinya adalah peningkatan investasi dan kegiatan usaha, sehingga untuk mencapai hal tersebut salah satu upaya bagaimana eksosistem investasi itu meningkat atau aman, adalah dengan penyederhanaan persyaratan dasar perizinan usaha. Bentuknya adalah kesesuain kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) dan dalam konteks ini KKPR didalam UUCK diletakkan sebagai izin dasar. KKPR ini berfungsi sebagai acuan Single Reference untuk pemanfaatan ruang, perolehan tanah, pemindahan hak atas tanah, dan penerbitan hak atas tanah.

Dalam Perda RZWP-3-K Sulawesi Tenggara, wilayah kelola masyarakat hukum adat yang dihilangkan dalam Ranperda RTRW terintegrasi adalah: 1) Wilayah Adat Kaombo di Kel. Wali, Kec. Binongko, Kab. Wakatobi; 2) Wilayah Adat Kaombo di Desa Wabula, Wasuemba, dan Wasampela di Kec. Wabula, Kab. Buton; 3) Wilayah Adat Kadie Liya, di Kec. Wangi-Wangi Selatan, Kab. Wakatobi; dan 4) Wilayah Adat Siompu di Kecamatan Siompu dan Siompu Barat, Kabupaten Buton Selatan. Di Ranperda RTRW (integrasi), alokasi ruang untuk zona industri dan reklamasi meningkat secara signifikan.

Selain masayarakat adat yang dituliskan di atas, menurut penuturan Bang Mance selaku representasi dari Kombes, masyarakat Adat yang bermukim di Pulau Wawonii sendiri tidak terncantum pada alokasi ruang yang ada di RTRW saat ini. Masuknya konsesi tambang nikel di Pulau Wawonii membuat masayarakat setempat semakin termajinalisasi khususnya bagaimana sumber-sumber pangan lokal mengalami penurunan, baik di sektor pertanian, perkebunan, maupun kelautan.

Dalam diskusi ini, upaya yang selanjutnya perlu dilakukan adalah analisis untuk membandingkan alokasi ruang versi negara (pemerintah) dengan alokasi ruang versi masyarakat adat/komunitas lokal. Berdasarkan perbandingan ini, dapat dibuat sebuah rekomendasi agar arahan tata ruang yang ada dapat disusun dengan mempertimbangkan beberapa spesifikasi, seperti ancaman terhadap ruang hidup perempuan akibat pengalokasian ruang yang tidak tepat dalam kebijakan tata ruang.

 

About the author

Admin

Add Comment

Click here to post a comment