Merdeka.com -Â Pengamat Tata Kota dari Universitas Islam 45 Bekasi, Yayan Rudianto, mengatakan, bahwa Kota Bekasi belum layak menyandang Kota Metropolitan. Soalnya, tata ruang di wilayah setempat dianggap tak sesuai dengan perencanaan.
“Dilihat secara kasat mata, masih banyak yang harus dibenahi Kota Bekasi,” kata Yayan saat berbincang dengan merdeka.com, Minggu (18/10).
Sesuai dengan undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, kata dia, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
“Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang,” katanya.
Menurut dia, struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
“Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya,” katanya.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. “Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang,” ujar dia.
Mengacu pada undang-undang tersebut, kata dia, Kota Bekasi tak mewujudkannya. Padahal, Kota Bekasi yang dihuni sebanyak 2,6 juta jiwa seharusnya sudah menjadi kota metropolitan. “Di Bekasi belum ada pengelompokan fungsi ruang. Sehingga, aktivitas warga bertumpu pada satu titik,” katanya.
Ia mencontohkan, pusat perbelanjaan berada di pusat kota yakni Jalan Ahmad Yani. Dalam kota metropolitan, mal sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Sebab, selain untuk berbelanja, juga dijadikan tempat wisata.
“Dari warga yang ada di 12 kecamatan, perginya ke sana. Karena di wilayah lain tidak ada,” ujar Yayan.
Dampaknya, jalanan menjadi penuh, sesak, dan otomatis menimbulkan kemacetan. Kalau sudah begitu, menurut dia, kota terlihat semrawut, kumuh. Masyarakat menjadi jenuh, dan stres. “Tidak salah, kalau mereka meluapkan kekesalannya di media sosial,” ujar dia.
Karena itu, menurut dia, pemerintah harus membenahi dan mengidentifikasi ulang. Bangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Contohnya, pembangunan sekolah, pasar modern dan tradisional, pusat perbelanjaan, tempat wisata keluarga, dan lainnya.
“Jadi masyarakat dapat beraktivitas di lingkungan sendiri. Tidak sampai keluar wilayahnya. Contohnya, warga di Bantargebang, aktivitasnya ya di sana sekolah, ke pasar, dan memenuhi kebutuhan lain. Tidak sampai ke Bekasi Utara, atau daerah lainnya,” ungkap Yayan.
Namun Yayan menambahkan, pertumbuhan Kota Bekasi sangat pesat selama kurun waktu 17 tahun.
“Dulu ketika mulai dipisah dari Kabupaten Bekasi tahun 1997, banyak ruang kosong di Kota Bekasi,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, pembangunan terus berkembang di Kota Bekasi. Pusat perdagangan dan jasa mulai bermunculan. Sayangnya, pembangunan tersebut tak diiringi dengan perencanaan yang baik, sehingga peruntukan lahan terabaikan.
“Lebih cepat berubahnya peruntukan, dibanding mempertahankan peruntukannya. Legislatif dan eksekutif harus bertanggungjawab,” katanya.
Hal itu terbukti dengan jumlah ruang terbuka hijau yang hanya mencapai 13 persen. Padahal, sesuai amanat undang-undang, setiap daerah harus menyediakan RTH sebanyak 30 persen dari luas wilayah.
Selain itu, kata dia, perkembangan kota tidak dibarengi dengan pembangunan infrastuktur. Ia mencontohkan, di kota maju, jalanan bebas macet, dan terdapat trotoar untuk pejalan kaki.
“Di Kota Bekasi nyaris tidak ada trotoar, kalaupun ada, dipakai para pedagang. Jadi, hak pejalan kaki dirampas semuanya,” katanya.
Padahal kata dia, Kota Bekasi dengan luas 21 hektar yang jumlah penduduknya mencapai 2,6 juta jiwa, sudah masuk dalam kategori kota metropolitan. Lantaran, tata ruangnya amburadul, Kota Bekasi tidak layak menyandang kota metropolitan.
“sistem jaringan prasarana wilayah belum terintergrasi dnegan jumlah penduduk,” katanya.
Selain itu, kapasitas jalan, trotoar, dalam prakteknya kacau. Kebersihan kota yang kurang diperhatikan. “Masak di kota rumput liar dibiarkan,” katanya.
Padahal, persoalan tersebut seharusnya bisa diatasi oleh pemerintah. Karena dalam pemerintah, terdapat Satuan Kerja Perangkat Daerah yang khusus menangani persoalan masing-masing.
Sumber:Â http://www.merdeka.com/peristiwa/pengamat-kota-bekasi-belum-layak-jadi-metropolitan.html