Pemerintah sedang merevisi UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Kehati) bahkan digabung dengan RUU Kekayaan Genetik, yang lama menggantung. Salah satu poin desakan buat revisi, yakni mengakomodir upaya konservasi oleh masyarakat (komunitas) adat maupun lokal. Pada UU yang ada, konservasi itu hanya urusan pemerintah pusat.
Kenyataan, begitu banyak praktik-praktik dan kearifan warga dalam menjaga alam (hutan) yang malah terancam eksploitasi atas nama pembangunan baik oleh pemerintah atau investor.
“Hutan-hutan masyarakat adat terancam luar biasa oleh perizinan sawit, dan lain-lain. Jadi, bagaimana praktik-praktik masyarakat adat jadi bagian yang harus dilindungi dalam kebijakan revisi UU ini,” kata Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi wilayah Adat (BRWA) juga koordinator Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dalam diskusi pengelolaan kawasan konservasi di Jakarta, baru-baru ini.
Kala konservasi hanya menjadi ‘kuasa’ pemerintah, maka praktik-praktik baik warga terabaikan. Karena penetapan pemeirntah sepihak, tak jarang, kawasan konservasi tetapan pemerintah, ternyata berada di wilayah kelola warga. Sebaliknya, wilayah perlindungan warga, malah boleh dibuka lewat pemberian izin-izin. “Kita coba munculkan praktik-praktik ini hingga bisa pengaruhi penyusunan kebijakan konservasi Indonesia,” ujar dia.
Wilayah adat jelas, tingkatkan kawasan konservasi
Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi No 35 pada Mei 2013, mengenai hutan adat bukan hutan negara itu harus menjadi salah satu basis hukum dalam perubahan mendasar konservasi di Indonesia. Mengapa, katanya, karena, kebijakan konservasi kini pelaku hanya pemerintah.
“Itu ada di kawasan hutan. Dulu, ketika UU dibuat kawasan hutan itu hutan negara. Dengan MK35, kawasan hutan itu bisa hutan adat (hutan hak),” katanya.
Kalau UU konservasi baru memakai paradigma MK35, kata Abdon, maka kawasan konservasi di Indonesia akan bertambah dalam jumlah besar. “Karena konsep konservasi dari pemerintah berubah ke multi aktor, masyarakat adat ada di dalamnya.”
“MK35 satu pemaksa. Memaksa konservasi berubah dari negara ke rakyat. Dari skala-skala besar ke skala kecil dan kolaboratif.”
Begitu juga soal pengawasan, dari bersifat “polisional” alias seperti polisi yang cuma menangkap warga menjadi pengelola. “Pemerintah dipaksa MK35 jadi fasilitator dan pemandu. Ini perubahan paradigma yang revolusioner,” katanya.
Abdon mengatakan, situasi hukum sudah seperti itu, tinggal bagaimana membawa ini dalam proses politik. Jadi, proses politik tak boleh mengurangi atau membahayakan subtansi konsevasi. “Bagaimana caranya? Pengakuan dan perlindungan sesuai MK 35 dipercepat hingga, ada satu dasar hukum buat memperkuat konservasi baru, berbasis masyarakat.”
Pengalaman puluhan tahun, konservasi berbasis negara sudah gagal. Dia mencontohkan, sebagian besar taman nasional alami perambahan hingga tak efektif sebagai kawasan konservasi. “Kawasan konservasi nyatanya yang dikelola taman nasional amburadul, banyak perusakan. Masa depan konservasi di hutan-hutan wilayah adat.”
Saat ini, katanya, hutan-hutan atau habitat keragaman hayati terbaik ada di wilayah-wilayah adat. “Kalau konservasi masyarakat adat ini tak terakomodir dalam UU baru nanti, kawasan konservasi kita akan habis.”
Kawasan konservasi masyarakat adat, ucap Abdon, tak hanya di darat juga laut. “Di laut, kawasan konservasi kita ada di tempat-tempat sakral yang sebenarnya tempat bertelur ikan atau cagar ikan,” ujar dia.
Bersyukur, katanya, dalam kebijakan kelautan dan perikanan sudah masuk. “Di kehutanan belum masuk. Ini terinspirasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan agar mengadopsi (konservasi masyarakat) dalam revisi UU konservasi.”
Berbasis masyarakat bukan korporasi
Tak jauh beda diungkapkan Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional. Ketika berbicara konservasi berbasis komunitas dan revisi UU Kehati, katanya, harus mendorong bagaimana masyarakat adat di kawasan konservasi terlindungi dan menjadi aktor penting pelaksana konservasi.
Sisi lain, kata Abetnego, harus mengantisipasi kecenderungan jalan pintas atas frustasi pemerintah kepada hutan, yakni konservasi berbasis korporasi. “Dengan asumsi mereka mendanai dan menjaga. Ini jalan-jalan pintas. Padahal rakyat gak ada urusan dengan kegagalan-kegagalan itu (kegagalan pemerintah menjaga kawasan konservasi).”
Jangan sampai, kata Abetnego, gagal di negara pindah ke korporasi. “Catatan keras, upaya ke privatisasi konservasi tak berikan solusi.”
Hal penting lain yang menjadi perhatian Walhi, katanya, jangan sampai revisi ini guna memudahkan akses kawasan konservasi buat bisnis skala besar, misal, geotermal. “Kita punya pengalaman, 13 kawasan lindung jadi kawasan tambang di era Megawati. Kita tak harap revisi ini malah mempermudah korporasi. Rakyat malah jadi hama, penggangu, perusak.” Selama ini, katanya, yang tak terakomodir itu konservasi berbasis komunitas atas masyarakat.
Hartono, kala Direktur Kawasan Konservasi, Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (kini Deputi Badan Restorasi Gambut), mengatakan, konservasi berbasis atau memperhatikan praktik-praktik masyarakat sudah masuk dalam revisi UU ini. Dalam revisi ini, katanya, kementerian melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti Perkumpulan HuMA, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan lain-lain.
“Akan diakomodir dalam revisi. Bahkan akan kita akomodir dalam tata ruang, ada kawasan hutan dan non hutan. Di non hutan akui sebagai hutan hak, hingga terintegrasikan dalam tata ruang dan masuk konservasi dalam penggunaan baru.”
Draf revisi dari tim para ahli dan organisasi masyarakat sipil sudah selesai, akan maju ke sesi konsultasi publik. “Lalu approval ke sektor-sektor. Kalau semua oke, baru ke Kementerian Hukum dan HAM untuk memutuskan itu jadi RUU resmi inisiatif pemerintah,” katanya.
Agus Dermawan, Direktur Konservasi dan Keragaman Hayati Laut, KKP yang hadir kala diskusi mengatakan, masyarakat adat mendapatkan porsi signifikan dan terakomodir dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Ada Subdit penguatan masyarakat hukum adat, jadi bagaimana bisa menerjemahkan kegiatan-kegiatan masyarakat adat masuk bagian program dalam tata ruang laut nasional dan konservasi.”
Kala revisi UU Pesisir, hak penguasaan pesisir perairan berubah. “Bagaimana mengedepankan keberpihakan pada masyarakat kecil. Itu sangat signifikan sekali. MK35, peran masyarakat adat jadi hal utama, dan diturunkan dalam berbagai hal konsep konservasi kita. Kita clear lihat itu,” katanya.
Kalau dulu, katanya, konservasi itu ranah pemerintah pusat. Dalam UU Pesisir, juga memandatkan pemerintah daerah yang disebut kawasan konservasi perikanan daerah..
“Respon luar biasa. Hampir 131 kabupaten kota deklarasi kawasan konservasi inisiasi pemda. Jangan ini dikacaukan. Pemerintah berbagi tanggung jawab ke pemda. Sistem nasional tetap dipakai tetapi ada unit-unit konservasi daerah.”
Agus setuju konservasi tak harus konservatif karena paradigma sudah berubah. Namun, katanya, kehati-hatian tetap menjadi koridor utama dalam mengembangkan pola itu. Dalam UU Pesisir, ada zona inti, tetapi ada ruang buat wisata bahari, sampai perikanan berkelanjutan. “Untuk semua itu ada rambu-rambu dan koridor.”
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/02/29/akomodir-kearifan-masyarakat-menjaga-hutan-bakal-perluas-kawasan-konservasi/