Pemetaan Partisipatif

Arti Hilangnya Hutan Bagi Tabib “Sepuh” dan Kearifan Lokal…

BENGKULU, KOMPAS.com – Bagi seorang tabib di Desa Pering Baru, Kabupaten Seluma, Bengkulu, Datuk Anan (73), tergusurnya hutan akibat perkebunan, tambang, dan permukiman punya dampak lain. Untuk Anan, hilangnya hutan itu berarti lenyapnya tanaman obat.

Usia senja tak mengaburkan mata, mengurangi pendengaran, ataupun menggerus ingatan Anan. Dia bahkan masih kuat meniup serunai dengan napas panjang setiap kali ada acara adat digelar. Penampilan Anan di upacara adat pada Sabtu (15/2/2014) itu pula yang pertama kali memukau Kompas.com.

Anan dikenal sebagai tokoh tua kampung yang memiliki banyak pengetahuan, mulai dari seni bela diri suku serawai, tarian, berejung (semacam pantun), hingga ilmu pengobatan tradisional. Soal hilangnya hutan ini, dia bertutur secara khusus soal obat-obatan tradisional yang turut musnah.

Beberapa puluh tahun terakhir, tutur Anan, dia tak akan pusing bila ada warga mengeluh sakit dengan gejala TBC, hernia, asam urat, atau penyakit lain. “Pengobatan saya hanya bersandarkan pada ramuan alam dari hutan. (Pengobatan berbahan) daun, batang, akar, dan getah pohon tertentu. Dahulu semua tersedia di sekitar desa,” ujar dia dengan mata berbinar.

Namun, keluh Anan, banyak hal kini tinggal cerita. Termasuk soal obat-obatan tradisional berbahan racikan dari hutan. Banyak pohon yang menjadi bahan utama obat racikannya, kini tak ada lagi.

“Bahan-bahan itu telah hilang. Jangankan di pekarangan warga, mencari ke dalam hutan saja sudah susah ditemukan. Semua hilang digusur perkebunan, tambang, dan permukiman warga,” beber Anan dengan logat bahasa Suku Serawai yang kental.

Hilangnya bahan-bahan alami ini, ujar Anan, akhirnya memaksa pengobatan sekarang tergantung pada obat-obatan modern berbahan zat kimia buatan. Padahal, ujar dia, bahan kimia itu berbahaya dan sudah begitu pun lebih mahal.

Menurut Anan, pengobatan berbahan alami memang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan dibandingkan bila pengobatan menggunakan bahan kimia buatan di obat-obat modern. Namun, ujar dia, tak ada pantangan maupun efek negatif bila pengobatan menggunakan bahan-bahan alami ini.

“Sekarang karena bahan baku obat alami sudah musnah, pengobatan alami tradisional tidak disukai. Saya saja kalau berobat terpaksa ke rumah sakit,” keluh Anan. Padahal, imbuh dia, setidaknya ada dua keuntungan bila pengobatan masih menggunakan bahan alami.

Keuntungan yang pertama, sebut dia, adalah terjalinnya silaturahmi antara tabib dan pasiennya. Kedua, tak perlu biaya mahal. Karenanya, dia menyarankan budi daya tanaman obat alami dapat digalakkan lagi.

“Sayang saya sudah tak kuat lagi berjalan masuk hutan untuk mengumpulkan dan melestarikan tumbuhan itu. Semoga ada kaum muda yang mau melakukannya,” harap Anan. Dia mengaku khawatir pula soal rendahnya semangat anak-anak muda mempelajari pengobatan alami.

Anan mengaku sangat ingin mewariskan pengetahuan pengobatan berbahan alami yang dia miliki pada generasi muda. “Sayangnya anak muda sekarang tak ada yang berminat,” ujar dia muram.

Kemampuan pengobatan Datuk Anan diakui ampuh oleh masyarakat. “Saya jika sakit sering berobat padaa datuk Anan dan sering sembuh, tergantung ada tidaknya ramuan,” kata warga setempat, Nahadin.

Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAM) Bengkulu, Def Tri Hamdi, membenarkan apa yang dikeluhkan Datuk Anan. Menurut dia upaya mengumpulkan kembali tumbuh-tumbuhan obat dari alam memang harus dilakukan, termasuk pencatatan pengobatan tradisional yang dimiliki Datuk Anan.

“Kearifan lokal ini merupakan warisan asli bangsa Indonesia. Kemampuan seperti Datuk Anan mulai tergerus oleh modernisasi. Ada baiknya pemerintah dan kita semua melestarikannya secara arif,” harap Def Tri.


Penulis : Kontributor Bengkulu, Firmansyah
Editor : Palupi Annisa Auliani

Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/02/17/0851130/Arti.Hilangnya.Hutan.Bagi.Tabib.Sepuh.dan.Kearifan.Lokal