Pemetaan Partisipatif

Berikut Perkembangan Rencana Moratorium Sawit, Apa Komentar Pakar?

Seorang warga desa di Katingan, Kalteng, menunjukkan perusahaan membuka kebun di lahan yang masuk kawasan moratorium. Semoga saja, moratorium sawit yang akan dibuat tak mengalami nasib serupa, aturan yang tampak keren di atas kertas tetapi lemah di lapangan.

Setelah melalui kajian termasuk evaluasi perizinan kebun sawit baik yang baru permohonan maupun izin-izin lama, akhirnya pemerintah merencanakan moratorium sawit selama lima tahun. Optimalisasi kebun yang ada antara lain, dengan peningkatan produktivitas menjadi salah satu fokus ke depan. Demikian antara lain hasil pertemuan lintas kementerian di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Jumat (15/7/16).

“Kita ingin menata kembali lahan sawit, termasuk meningkatkan produksi lahan yang sudah ada dan menanam kembali,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution dalam rapat koordinasi itu.

Hadir dalam pertemuan itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, Menteri Perindustrian Saleh Husin, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursidan Baldan, dan beberapa eselon kementerian terkait. Beberapa perwakilan perusahaan perkebunan turut ambil bagian dalam pengkajian moratorium sawit ini.

Sebelumnya, sudah ada kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut ada sejak 2011, lewat Instruksi Presiden. Moratorium sawit kali ini, menjadi rangkaian kebijakan itu. ”Kali ini kita harus sudah siapkan data. Kebetulan kita punya program One Map Policy. Sekarang kita sudah punya peta dasar. Harapannya kebijakan ini bisa lebih operasional. Selama ini izin lokasi dimana, kebun dimana,” kata Darmin dalam keterangan tertulis.

Menteri ATR/Kepala BPN Ferry Mursida Baldan pun merespon baik kebijakan ini. Terkait data, ATR merujuk data KLHK.

Menteri LHK, Siti Nurbaya menegaskan, dengan moratorium, tak ada izin keluar untuk pelepasan hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan sawit.

Sedangkan penyusunan rancangan Inpres dan norma-norma moratorium sawit ini, bakal tuntas dalam rakor berikutnya. Setiap kementerian terkait, katanya,  wajib menjalankan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Fokus optimalisasi produk

Kala moratorium pembukaan lahan sawit, optimalisasi produk menjadi penting. Jadi, perlu ada rencana aksi pemerintah daerah dalam memastikan produktivitas. Terlebih, petani sawit banyak masalah produktivitas karena beragam kendala seperti sarana produksi, bibit dan pupuk.

Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, Dwi Praptomo Sudjatmiko menyebutkan pemerintah fokus produktivitas berkelanjutan dan mempertahankan suplai sawit.

Adapun langkah ditempuh dalam peningkatan produktivitas didasarkan pada ulang dengan mengganti bibit baru dan bersertifikat. ”Volume akan kita tingkatkan termasuk keterlibatan Badan Pengelola Dana Perkebunan sawit.”

Selama ini, dana BPDP sebagian besar untuk biodesel. Dwipun akan mengusulkan menaikkan dana replanting antara 10-20%. ”Kami turut pantau siapa saja target petani, agar tepat sasaran,” katanya.

Langkah lain, dengan penggunaan kredit usaha rakyat (KUR) bagi petani sawit ataupn skala kecil. ”Nanti akan diusulkan peraturan terkait tanaman tahunan, yang mampu mengembalikan dana setelah berbuah. Komoditas sawit, karet tiga empat tahun baru berbuah.”

 

Jangan sebatas pembatasan

Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Hariadi Kartodiharjo menilai Inpres ini sangatlah penting namun ada beberapa catatan. Evaluasi perizinan penting, tetapi perlu dingat, kerusakah hutan juga banyak dari izin-izin tak resmi.

Kelahiran moratorium, katanya, menjadi dasar penguatan pengendalian dan penegakan hukum. Sama seperti regulasi sebelumnya, aturan jangan jadi sebatas aturan administratif.

Hariadi mengingatkan, jika hanya mengandalkan Inpres atau Perpres, kala tak dibarengi penguatan kelembagaan di lapangan.

Jadi, katanya, aturan tak hanya berjalan di pusat namun perlu operasional di daerah. Operasional ini, perlu merujuk regulasi yang ada, seperti di pemerintahan daerah, Dinas Perkebunan atau Kehutanan daerah.

”Jadi ada task force untuk daerah dalam memastikan (ilegal atau legal). Tak hanya sebatas pembatasan izin.”

Dia mencontohkan, di Riau, PT Hutani Sola Lestari (HSL), kala pengecekan HPH akhir tahun lalu, ternyata sudah 76 lokasi perkebunan sawit. ”Umur telah 7-8 tahun, jadi sudah selama itu berada disana.” Hal ini, katanya,  jelas melanggar aturan.

Dwi mengakui pelaksanaan kelembagaan di daerah masih kurang. Kementan mengaku cukup sulit intervensi karena izin seringkali di daerah. ”Pengawasan laporan enam bulan sekali untuk dilaporkan ke Kementerian Pertanian namun tak berjalan efektif,” katanya.

Dia berharap, melalui moratorium ini,  menjadi solusi menjaga hutan. ”Bupati sudah tak ada hak, melanggar akan diberi sanksi. Lembaga yang ada akan lebih dimanfaatkan dan diperkuat.”

Utamakan tata kelola lahan

Tak sebatas moratorium, kata Hariadi, perbaikan tata kelola menjadi kunci utama penyelamatan lingkungan. Salah satu, terkait data izin pengelolaan perkebunan sawit di daerah yang masih buruk.

Serupa dilontarkan Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribussiness Strategic Policy Institute (PASPI). ”Jauh lebih bermanfaat jika Presiden keluarkan Inpres perbaikan tata kelola hutan dan percepatan restorasi hutan kritis,” katanya kepada Mongabay.  Pasalnya, moratorium sebelumnya telah dilakukan dan masih berlaku.

Data PASPI, sejak 1960-2014, konversi hutan menjadi non hutan di Indonesia seluas 62 juta hektar, 11 juta hektar luas kebun sawit. Sisanya, untuk proses pembagunan dan non hutan selain sawit.

Dia menilai, moratorium sawit tak menjawab persoalan tata kelola sawit, izin tumpang tindih dan peningkatan produktivitas. ”Yang diperlukan, perbaikan tata kelola sawit berkelanjutan bukan moratorium sawit.”

Tata kelola hutanlah yang menjadi lebih bermanfaat dan mampu mengakomodir semua. ”Larang HPH, tangkap pemburu satwa liar, hijaukan kembali hutan lindung dan kritis, juga bekas terbakar. Jangan hanya terus bicara proyek, namun tanamlah,” katanya.

Hariadi menambahkan, transparansi sebagai penyebab utama penghambat penyelamatan hutan. ”Makin data esklusif terhadap masyarakat, akan makin tak terkontrol,” ucap Hariadi.

Harapannya, moratorium mengakomodir dan mempertimbangkan penggunaan UU Keterbukaan Informasi Publik.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/07/17/berikut-perkembangan-rencana-moratorium-sawit-apa-komentar-pakar/