Kebijakan Satu Peta telah berusia 6 tahun, sejak digagas pertama kali di akhir tahun 2010.Dimana Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2016 untuk mempercepat pelaksanaan kebijakan Satu Peta ini baru ditetapkan pada bulan Februari 2016 bersamaan dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Ekonomi ke VIII. Bagi JKPP, kebijakan satu peta merupakan salah satu peluang dalam pengakuan (rekognisi) dan adopsi data spasial partisipatif, dimana, hal ini dapat membantu pemerintah secara partisipatifmenyelesaikan konflik ruang dan lahan, termasuk memastikan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang.
Terutama dalam momentum kebijakan satu peta, JKPP telah merintis beberapa jenis IGT tematik seperti IGT Hak Ulayat dan IGT Batas Wilayah Administrasi Desa yang siap disandingkan dan diverifikasi dengan data pemerintah.Informasi tematik tersebut dapat berkontribusi pada kebijakan satu peta, khususnya terkait status penguasaan ruang di Indonesia.Sampai saat ini, pemerintah telah menyiapkan struktur dan infrastruktur guna mendukung implementasikebijakan satu peta.Dari peningkatan peran dan fungsi Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG).
Salah satu pondasi percepatan kebijakan satu peta adalah Perpres 9/2016, yang dalam pelaksanaanya membutuhkan perangkat operasional yang sistematis dan efisien.Urusan “collecting, verifying dan synchronizing” peta-peta yang menyebar di setiap Kementerian/Lembaga (K/L) sejauh ini telah diakomodir dengan pembentukan kelompok kerja yang bertanggungjawab atas Informasi Geospasial Tematik (IGT) tertentu.Organisasi kerja pelaksana Perpres 9/2016 yaitu Tim Percepatan KSP yang diketuai oleh Menko Bidang Perekonomian. Tim Percepatan KSPdibantu oleh Tim Pelaksana KSP yang diketuai oleh Kepala BIG dan Sekretariat yang dipimpin oleh Deputi Bidang Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah pada Kemenko Bidang Perekonomian.Tim Percepatan KSP berwenang dalam melakukan koordinasi strategis, membuat dan menetapkan kebijakan, melakukan pemantauan dan evaluasi dalam pelaksanaan KSP.Secara khusus, Tim Percepatan KSP ini bertugas untuk memberikan arahan kepada Tim Pelaksana agar sesuai dengan tujuan percepatan pelaksanaan KSP yang telah ditetapkan.
Sementara itu, Tim Pelaksana KSP memiliki tugas pertama; melakukan koordinasi teknis percepatan pelaksanaan KSP terkait pelaksanaan Rencana Aksi dan hasil kerja dari Kelompok Kerja Nasional IGT dan Walidata IGT.Kedua; menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam rangka penyelesaian permasalahan dan hambatan teknis percepatan pelaksanaan KSP. Ketiga; mengarahkan langkah-langkah dan kegiatan prioritas bagi Kelompok Kerja Nasional IGT dan Walidata IGT, dan tugas terakhir adalah monitoring dan evaluasi pelaksanaan rencana aksi percepatan pelaksanaan KSP; dan penyusunan mekanisme berbagi data IGT melalui Jaringan IGN.
Kewenangan dalam percepatan KSP ini berada pada Sekretariat KSP yang membawahi dua Satuan Tugas, yaitu Satuan Tugas 1 dan Satuan Tugas 2.Satuan Tugas 1 bertugas untuk melakukan inventarisasi dan kompilasi, pengelompokan IGT, melakukan proses integrasi IGT. Serta, mendukung pelaksanaan koordinasi teknis terkait perwujudan Rencana Aksi antara Tim Percepatan KSP dengan kementerian/ lembaga, Kelompok Kerja Nasional IGT, dan pemerintah daerah terutama dalam kegiatan kompilasi dan integrasi IGT.Sementara, Satuan Tugas 2 memiliki tugas untuk melakukan sinkronisasi antar data IGT.Dan tak kalah pentingnya, Satuan Tugas 2 ini berwenang untuk memberikan rekomendasi penyelesaian masalah terkait sinkronisasi data IGT.Termasuk di dalamnya untuk membuat rumusan penyelesaian konflik antar data IGT. Tugas-tugas ini untuk mendukung pelaksanaan koordinasi teknis terkait perwujudan Rencana Aksi antara Tim Percepatan KSP dengan kementerian/ lembaga, Kelompok Kerja Nasional IGT, dan pemerintah daerah terutama dalam kegiatan sinkronisasi data IGT.
SK Walidata IGT (telah ditetapkan dengan SK Kepala BIG No. 54 tahun 2015 Tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik), memiliki tugas menyusun dan mengembangkan kebijakan teknis di bidang IGT. Serta juga untuk mengelola dan memberikan akses berbagi data IGT melalui Jaringan IGN. Sementara Kelompok Kerja Nasional IGT/Pokja IGT (telah ditetapkan dengan SK Kepala BIG No. 13 Tahun 2016 tentang Kelompok Kerja Nasional Informasi Geospasial Tematik), memiliki tugas untuk menyusun Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) data IGT sesuai dengan Tema. Kelompok Kerja Nasional ini melaksanakan percepatan KSP ini bersama-sama dengan Satuan Tugas 1 dan Satuan Tugas 2.
Mengingat kompleksitas dari pelaksanaan Kebijakan Satu Peta ini maka Tim Percepatan KSP dalam melaksanakan tugas dapat melibatkan, bekerjasama, dan/atau berkoordinasi dengan kementerian/ lembaga, pemerintah daerah, pemangku kepentingan, badan usaha, dan/atau pihak lain. Oleh karena itu, Mitra Pembangunan (organisasi masyarakat sipil) adalah salah satu yang dilibatkan dalam upaya mempercepat terealisasinya Kebijakan Satu Peta ini. Maka sesuai dengan organisasi dan mekanisme kerja percepatan Kebijakan Satu Peta ini, JKPP telah dan akan tetap menjalin komunikasi dengan Tim Percepatan KSP, Tim Pelaksana KSP dan Sekretaris KSP sesuai dengan lingkup kewenangannya.
Dengan dibentuknya Kelompok Kerja Nasional IGT (Pokja IGT) di pertengahan tahun 2016, sedikit banyak memberi harapan bahwa kebijakan satu peta ini, selainuntuk membangun satu data dasar (peta dasar), juga untuk membangun peta tematik.Dimana, Satu Peta yang akan dibangun ini mencakup data IGT Status, IGT Perencanaan Ruang, dan IGT Potensi. Oleh karena itu, harapan untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam serta penyelesaian konflik yang selama ini terjadi bisa diselesaikan melalui kebijakan satu peta.Membangun satu peta tematik untuk Indonesia yang dilengkapi dengan peta Status Penguasaan Ruang di Indonesia, selain peta dengan tema fungsi dan pemanfaatan,tentunya membutuhkan pelibatan masyarakat.Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu komponen yang diunggulkan dalam Pemetaan Partisipatif yang selama ini telah dilakoni JKPP di Indonesia.
Pelibatan (peran serta) masyarakat sebagaimana yang telahdipraktikkan di lapangan oleh JKPP bersama-sama masyarakat dan Pemerintah Daerah serta Unit Pelaksana Teknis K/L membutuhkan acuan mekanisme. Sesuai dengan mandate perpres 6/2016, perumusan dan penetapan NSPK(norma, standar, prosedur dan kriteria) yang jelas tentang data, proses serah terima data kepada walidata, sinkronisasi, verifikasi, integrasi dan registrasi terhadap wilayah kelola masyarakat (baik yang dikelola oleh masyarakat Adat maupun Masyarakat Lokal) sebagaimana data yang tertuang dalam peta partisipatif.Pada kenyataanya hingga saat ini, pemerintah belum menyediakan acuan mekanisme tersebut, yang berakibat pada sulitnya implementasi kebijakan satu peta.
Salah satu alasan JKPP menyambut baik gagasan kebijakan satu peta ini adalah karena adanya rencana pemerintah untuk menyatukan semua pemangku kepentingan yang dimulai dari kesamaan persepsi terhadap data keruangan. Satu data yang baik dan valid yang diolah melaluiproses sinkronisasi, verifikasi, integrasi dan registrasi dari dan bagi semua pihak.JKPP meminta kepada pemerintahagar kebijakan satu peta bukan sebatas mengumpulkan gambar wilayah parsial dari para pihak, melainkan juga memandang penting adanya proses check and recheck dilapangan melalui satu model sistem verifikasi, registrasi dan integrasi yang legal, memiliki legitimasi dan partisipatif. Prosesverifikasi dalam bayangan JKPP akan terdiri dari tiga tahapan dan dilanjutkan dengan proses registrasi dan integrasi :
- Verifikasi kartografis (dalam istilah pemerintah, tahapan ini yang disebut sinkronisasi). Yaitu menyamakan sistem posisi kartografis (verifikasi peta) data keruangan antar semua pemangku kepentingan (khususnya pemerintah dan masyarakat).
- Verifikasi Status penguasaan ruang. Yaitu proses verifikasi lapangan (groundcheck) terhadap status dan sistem penguasaan ruang masyarakat, khususnya yang bertumpang tindih dengan klaim status kawasan hutan dan perijinan (termasuk penetapan fungsi ruang sepihak), yang didasarkan pada sistem pembuktian keruangan sesuai perundang-undanganyang ada. Verifikasi status ruang dan lahan bagi masyarakat hukum adat menggunakan mekanisme aturan perundangan terkait adat, sedangkan mekanisme verifikasi status ruang dan lahan bagi masyarakat lokal, menggunakan mekanisme sesuai aturan perundangan tentang tanah dan ruang. Salah satu bentuk yang dihasilkan dari tahapan ini adalah adanya kesepakatan dan resolusi konflik akibat tumpang tindih penguasaan ruang (status ruang). Sedangkan proses selanjutnya adalah berupa adanya Penetapan Status Ruang.
- Verifikasi fungsi ruang. Yaitu proses verifikasi terhadap fungsi, penggunaan dan pemanfaatan ruang. Hal ini akan sangat terkait dengan keseimbangan sosial ekonomi dan ekologi sistem kelola ruang. Salah satu bentuk yang dihasilkan dari tahapan ini adalah adanya kesepakatan dan resolusi konflik akibat perbedaan fungsi ruang. Sedangkan proses berikutnya adalah penetapan fungsi ruang dan insentif/disinsentif.
- Registrasi status dan fungsi ruang. Yaitu memasukkan data hasil verifikasi dalam catatan administrasi pertanahan. Dari proses registrasi ini akan terlihat dan tercatat mana tanah Negara, mana tanah masyarakat, mana fungsi lindung dan konservasi dan mana produksi, mana tanah komunal, mana tanah perorangan, mana wilayah masyarakat adat dan mana wilayah desa, serta mana kawasan hutan mana bukan kawasan hutan (APL).
- Integrasi, yaitu proses menyatukan semua tematik peta melalui ketetapan oleh pemerintah dan menjadikannya sebagai rujukan semua pihak dalam pengambilan keputusan dan kebijakan atas ruang. Sehingga dengan demikian kedepan diharapkan tidak adalagi konflik status penguasaan ruang dan konflik penentuan fungsi ruang.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan secara cermat oleh JKPP, pelaksanaan percepatan KSP harus segera dibarengi dengan perumusan NSPK oleh tiap-tiap Wali Data dan Pokja IGT untuk mengakomodir data spasial dan sosial dari masyarakat yang tercantum dalam peta partisipatif. Apabila dinilai ada kendala dalam proses-proses integrasi dan sinkronisasi tersebut maka Tim Pelaksana KSP harus segera membuat dan menetapkan kebijakan dalam rangka penyelesaian permasalahan dan hambatan percepatan pelaksanaan KSP.Oleh karena itu, ke depannya peta partisipatif yang telah dihasilkan selama ini tidak lagi dijadikan sebagai data pelengkap atau indikatif bagi kepentingan karikatif pemerintah, tetapi dapat dipergunakan untuk penyelesaian konflik dan keadilan ruang bagi masyarakat.Bagaimana pun juga Pemerintah harus menyadari bahwa bantuan Masyarakat Sipil sangat diperlukan dalam percepatan KSP sebagaimana disebutkan dalam Perpres 9/2016.
Berdasarkan pengalaman dalam Pemetaan Partisipatif selama ini, JKPP menilai ada beberapa hal yang harus disesuaikan oleh Pemerintah. Dalam konteks status dan fungsi ruang, selainIGT Tanah Ulayat yang telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat),Pemerintah juga perlu untuk menentukan dan mengakomodir ruang hidup masyarakat (wilayah kelola masyarakat) yang tidak lagi menggunakan adat sebagai landasan pembuktian ikatan antara masyarakat dengan tanahnya.Hal ini ditemukan juga oleh JKPP selama menjalankan pemetaan partisipatif,yang rata-rata berkonflik dengan kawasan hutan dan perijinan lainnya.
JKPP juga menilai perlu ada penyesuaian antara Wali Data dan Pokja IGT, sehingga setiap proses untuk menghasilkan IGT didukung juga dengan Wali Data yang kompeten dari aspek kewenangan dan keahlian.Tim Percepatan KSP perlu mengevaluasi Tim Pelaksana KSP dalam menyelesaikan ketidaksinkronan antara Walidata dan Pokja IGT. Dalam SK Walidata, IGT wilayah adat menjadi kewenangan Direktorat Survei dan Pemetaan Tematik pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Kemudian, IGT Status penguasaan tanah dengan menjadi kewenangan Direktorat Penetapan Hak pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.Sementara itu dalam SK Pokja IGT, tidak ada Pokja Hak Ulayat melainkan yang ada adalah Pokja Masyarakat dan Hukum Adat. Lalu, dalam Perpres No. 9/2016 disebutkan bahwa IGT status terdiri dari IGT Kehutanan, IGT Migas dan Minerba, IGT Pertanahan (HGU, Hak kelola dan HGB), IGT Tanah Ulayat (Peta Perda), IGT Ijin Lokasi, IGT Kawasan khusus, dan IGT Transmigrasi (daftar IGT terlampir).
Sampaidengan akhir tahun 2016 ini, proses Implementasi Kebijakan Satu Peta masih memerlukan aturan operasional yang lebih terperinci dan solutif. Penyiapan struktur dan infrastruktur bagi IGT masyarakat, peran dan kewenangan struktural pemerintah secara kongkrit dari pusat hingga ke desa dan komunitas perlu untuk dibuat lebih jelas.Akselerasi peranserta masyarakat melalui pemetaan partisipatif masih karikatif.Mekanisme Proses sinkronisasi, verifikasi, registrasi dan integrasi (baik status maupun fungsi) data keruangan masyarakat yang tercantum dalam peta partisipatifharus segera disediakan.
JKPP juga memberi perhatian khusus pada Rencana Aksi Pemerintah untuk percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.Dimana penyusunan grand design kebijakan satu peta akan dilakukan pada Desember 2017. Lalu verifikasi data IGT antar kementerian akan dilakukan pada Februari 2019. Sedangkan target penyelesaian IGT Tanah Ulayat (peta perda) pada Juni 2019.Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta sebagai subyek utama.
Dalam pengalaman JKPP, peta partisipatif dapat menunjukkan informasi faktual masyarakat (adat/lokal), menunjukkan bukti penguasaan dan sistem pengelolaan masyarakat, serta menunjukkan bagaimana sejarah ikatan masyarakat dengan ruang dan tanahnya. Selain itu, peta partisipatif juga menunjukkan kesepakatan penguasaan ruang dan sistem kelola ruang masyarakat yang pernah dibuat di masa lalu, masa sekarang dan rencana ke depan. Dalam realitasnya, tanah/ruang inilah yang banyak berkonflik dengan kebijakan penentuan, penggunaan dan peruntukan ruang oleh Pemerintah.
Masyarakat Adat/ Masyarakat Lokal sebagai salah satu aktor dan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang, harus dilibatkan dengan metode Pemetaan Partisipatif.Dimana, mekanisme integrasi dan sinkronisasi Peta Partisipatif yang dihasilkan dalam prosesnya ke dalam percepatan Kebijakan Satu Peta.Sudah saatnya Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) turut terlibat aktif dalam upaya penyelesaian konflik ruang dan lahanbersama pengambil kebijakan yaitu Pemerintah (kementerian/Lembaga)dan pemangku kepentingan lainnya seperti korporasi.Oleh karena itu, percepatan Kebijakan Satu Peta sudah selayaknya melibatkan subjek yang terlibat langsung dalam pemanfaatan ruang itu sendiri yaitu Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal.
Add Comment