Pemetaan Partisipatif

Dari Pulau Wawonii: Lahan Warga Terampas Tambang, Protes, Berbuah Aniaya dan Penangkapan

Tangan warga yang terkena tembakan polisi kala datang akan menangkap petani yang dianggap penggerak massa. Foto: KPA

Sudahlah jatuh terimpa tangga. Inilah nasib yang menimpa warga Pulau Wawonii. Mengapa tidak, tanah terampas tambang karena izin pemerintah daerah, kala melawan…aparat yang menjadi penjaga perusahaan datang menangkap dan menganiaya…

Aksi brutal aparat kepolisian kembali terjadi. Pada 3 Mei 2015 pukul 03.00,  aparat Polres Kota Kendari dan Brimob menembak, menganiaya sampai pelecehan seksual terhadap warga Desa Polara, Desa Tondonggito, Desa Waturai dan Desa Kekea di Pesisir Pulau Wawonii, Konawe, Sulawesi Tenggara. Lagi-lagi, kekerasan ini buntut aparat yang menjadi pengaman perusahaan tambang, PT Derawan Berjaya Mining (DBM), anak usaha Igawara Industrial Service and Trading PTE Ltd, yang berkonflik dengan warga. Sebanyak 14 orang menjadi korban.

Konflik warga dengan perusahaan sejak 2007 belum ada penyelesaian.”Dari empat warga ditangkap masih satu ditahan. Tindakan brutal kepolisian dengan melibatkan brimob dalam penanganan konflik agraria ini pelanggaran HAM serius,”  kata Dewi Kartika, Wakil Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), di Jakarta, Minggu (10/5/15).

Kepolisian, katanya,  telah menyiksa dan sewenang-wenang, merendahkan martabat, dan penghukuman kejam. “Sebagai institusi, Kapolri harus bertanggung jawab mengusut tuntas bawahan yang mengabaikan prinsip HAM dan keadilan.”

Konflik bermula saat Bupati Konawe, mengeluarkan SK nomor 63 tahun 2007 yang memasukkan empat desa dalam IUP DBM. Empat desa itu Desa Polara, Tondonggito, Waturai dan Kekea seluas 10.070 hektar. SK bupati tanpa melibatkan masyarakat di pulau itu. Tanah leluhur mereka masuk wilayah tambang.

Protes warga sejak lama namun tak didengar, baik oleh perusahaan maupun pemerintah. Dikutip dari Sultranews, menyebutkan, warga protes lahan masuk izin berujung kesepakatan. Sayangnya, jani perusahaan tak ada yang terealisasi dari soal penggantian nilai lahan sampai perusakan makam keramat.

Masih menurut website ini, poin-poin perjanjian antara lain, kesepakatan ganti rugi lahan dan tanaman masyarakat. Untuk kelapa disepakati diganti rugi Rp3,5 juta per pohon, oleh perusahaan hanya ganti Rp1 juta. Pohon pala  Rp7 juta, realisasi Rp500.000 per pohon. Warga kecewa ganti rugi tanah hanya Rp1.200 per meter.

Tak hanya itu. Disebutkan juga perusahaan berjanji membangun sarana dan prasarana umum, seperti, jalan raya, listrik, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah, sarana olah raga dan bantuan organisasi kepemudaan. Lagi-lagi cuma janji. Situs budaya keramat warga, berupa makam Kapita Samaga, tokoh pahlawan sangat dihormati warga Batulu (Polara) rusak.   Janji manis perusahaan memperkerjakan masyarakat lokal dn pemberian beasiswa hanya isapan jempol.

Perusahaan juga tertutup terhadap warga. Soal dokumen berkaitan pengelolaan lingkungan perusahaan misal Amdal sama sekali tidak bisa diakses bahkan tak pernah sosialisasi.

Begitu juga dampak sosial dan lingkungan setelah  perusahaan hadir.  Konflik antara masyarakat dengan karyawan tambang sering terjadi dan  abrasi pantai dampak penggalian perusahaan. Bahkan, informasi dari Kelurahan Polara menyebut terjadi penyedotan pasir besar-besaran  dari pantai ke penampungan basecamp. Abrasi pantai terjadi sekitar perusahaan.

Puncak kemarahan pada Minggu (8/3/15).  Massa sekitar 500 orang, warga tiga desa/kelurahan, yakni Desa Kekea, Kelurahan Polara dan Desa Tondonggito, dari,  membakar aset DBM dari kantor, mess karyawan, enam truk dan tiga alat berat hexafator serta pabrik smelter DBM.    Mereka yang datang dari orang dewasa, laki-laki,  perempuan sampai anak-anaik. “Dalam aksi itu, warga tidak menyentuh atau melukai personil perusahaan seperti  pimpinan, karyawan maupun aparat keamanan yang berjaga,” tulis Sultranews

Peta tambang yang menggerumuni pulau kecil Wawonii. Foto: KPA

Pada 2 Mei 2015, kata Dewi, Kapolsek Waworete bersama delapan personil mendatangi rumah Hasim Lasao, etani Desa Polara, yang dianggap penggerak aksi masa. Kapolsek datang untuk menginformasikan penangkapan esok hari. Pukul 18.00, tiga pleton Polisi dan Brimob Sultra dan Polres Kendari tiba di Desa Batulu dan Tekonea menggunakan kapal.

Keesokan hari,  pukul 04.00, dua tim bersenjata lengkap memasuki Desa Batulu dan Tekonea ke rumah Ismail dan Hasim untuk menangkap Muamar dan Hasim Lasao. Kekerasan terhadap wargapun terjadi.

“Muamar tidak melawan disiksa 50 polisi dan ditodongkan senjata tepat di kepala. Ada empat orang ditangkap, yaitu Muamar, Hasrudin, Firman dan Ardiansyah. Friman dan Ardiansyah di tengah jalan dilepaskan polisi,” kata Dewi.

Warga kaget dan terbangun serta langsung menghadang Brimob untuk membebaskan mereka. Desakan itu dibalas tindakan brutal dengan menembaki dan menganiaya mereka. Adam dan Malinta terkena tembakan.

“Kami menuntut kapolri menindak aparat Brimob Polda Sultra dan Polresta Kendari. Kapolri harus mengusut tuntas kriminalisasi warga ini.”

Pulau Wawonii,  seluas 867,58 km persegi. Merujuk pada UU Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, seharusnya tak boleh ada pertambangan.

“Wilayah ini sebenarnya untuk perikanan, bukan pertambangan. Pemberian izin DBM menyalahi tata ruang. Pertambangan berdampak buruk pada ekologis dan masyarakat.”

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2010 menunjukkan, grup DBM punya empat konsesi tambang kromit di situ lewat izin SK nomor 23, 24, 25 dan 26 tahun 2010. Keempat SK diterbitkan hari bersamaan, 5 Januari 2010. Total konsesi 5.686 hektar. “Pemerintah harus mencabut izin perusahaan itu.”

Umbu Wulang, Koordinator Penggalang Dukungan Jaringan Advokasi Tambang mengatakan, tragedi Pulau Wawonii menunjukkan, pemerintah tidak berpihak pada rakyat pulau kecil. “Pulau kecil seharusnya dilindungi, bukan diekspolitasi. Sudah saatnya Presiden berhenti mengundang investor datang ke Indonesia dan menjarah lahan-lahan produktif rakyat termasuk pulau kecil,” katanya.

Priadi Talman, advokat Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) mengatakan, tindakan represif aparat membuat miris. Terlebih, tindakan ini dilakukan pada warga selama ini kurang mendapatkan akses pemerintah.

“Di lokasi ada terjadi pelecehan terhadap ibu petani. Ini sebelum subuh, waktu warga masih tidur. Apa ini utusan resmi komandannya? Atau oknum, kami masih selidiki. Kami akan laporkan ke Mabes Polri.” ”Kami mau melihat kesungguhan Kapolri baru bagaimana menangani ini secara internal dan keseluruhan.”

Menurut Ferry Widodo dari Aliansi Petani Indonesia kasus ini menambah daftar panjang konflik agraria di Indonesia.  Keadaan ini menunjukkan tidak ada komimten pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria.

“Konflik ini makin mengkhawatirkan. Pemerintah harus segera bentuk lembaga penyelesaian konflik agraria. Kita ingin dalam penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Konflik di Wawonii menunjukan kekerasan terjadi.  Ini menyalahi komitmen Polri.”

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan Koaliasi Rakyat untuk Perikanan mengatakan, keinginan Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia hanya omong kosong jika kasus pertambangan di pulau kecil terus terjadi.

“Wawonii pulau kecil dan dibagi-bagi dalam perusahaan besar. Warga Wawonii bikin aksi perlawanan karena banyak lahan milik mereka jadi wilayah pertambangan.”

Marthin mengatakan, dalam waktu dekat akan mengadukan permasalahan ini ke Komnas HAM, Mabes Polri, Kompolnas, KPK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.”Jadi ini dapat menarik atensi perhatian lembaga nasional.
Kami juga akan audiensi dengan parlemen.”

Punggung warga yang terkena tembakan. Foto: KPA

Sumber: Koalisi nasional untuk Wawonii

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/05/12/dari-pulau-wawonii-lahan-warga-terampas-tambang-protes-berbuah-aniaya-dan-penangkapan/