Pemetaan Partisipatif

Ditagih, Janji Jokowi Bagikan 9 Juta Hektar Lahan

TRIBUN MEDAN / RISKI CAHYADI Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelum menaiki helikopter yang akan diterbangkan menuju Pelabuhan Kualatanjung, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, Selasa (27/1/2015). Dalam kunjungan kerjanya ke Sumut, presiden akan meresmikan proyek pembangunan Terminal Multipurpose Pelabuhan Kualatanjung, proyek diversifikasi produk (ingot menjadi billet) dan pengembangan pabrik peleburan alumunium PT Inalum, pencanangan Kawasan Industri Terpadu Kualatanjung-Sei Mangkei, pembangunan Gardu induk Sei Mangkei, pembangunan pabrik minyak goreng di Sei Mangkei serta pencanangan operasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei.

BENGKULU, KOMPAS.com – Aktivis Walhi Bengkulu, Feri Fadli, menagih janji Presiden Joko Widodo saat kampanye Pilpres beberapa waktu lalu soal pendistribusian tanah untuk rakyat.

“Presiden Joko Widodo saat kampanye menjanjikan akan mendistribusikan sembilan juta hektar lahan untuk rakyat. Hingga kini, langkah ke arah itu belum terlihat, rakyat menagih janji kampanye itu sekarang,” kata Feri Fadli dalam sebuah diskusi menyoal konflik agraria di Bengkulu, Kamis (29/1/2015).

Ia melanjutkan, konflik agraria cukup tinggi terjadi di Indonesia dengan melibatkan ratusan ribu kepala keluarga. Jika janji tersebut dipenuhi setidaknya terdapat 4,5 juta Kepala Keluarga (KK) rakyat terselamatkan

“Sembilan juta hektar lahan itu jika dibagikan satu KK mendapatkan dua hektar lahan, ada 4,5 juta KK yang terselamatkan, ini sungguh luar biasa,” tambah dia.

Aktivis Yayasan Akar Bengkulu, MA Prihatno, juga menyampaikan hal senada, Menurut dia, persoalan konflik agraria di Indonesia kerap kali menjadikan rakyat sebagai kelompok termarjinalkan akibat aturan negara (hukum positif). Hal ini disebabkan perbedaan cara pandang antara negara, pengusaha tambang, perkebunan dan rakyat dalam melihat tanah.

“Penyelesaian konflik agraria sering melihat dari kepemilikan tanah berdasarkan sertifikat, padahal masih banyak di beberapa daerah, masyarakat desa termasuk masyarakat adat mengelola tanah secara temurun tanpa memiliki sertifikat. Pola ini harus diperbaiki, dalam UUD 45, negara juga mengakui keberadaan masyarakat adat,” kata Prihatno.

Dia juga menyesalkan pedoman pengelolaan agraria yang diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tak menjadi acuan bahkan banyak dikangkangi oleh aturan yang lebih rendah dari undang-undang tersebut.

“Dalam pantauan kami, ada 159 aturan dibawah UUPA mengangkangi undang-undang pokok tersebut, bahkan dalam membuat kebijakan justru aturan yang mengangkangi UUPA itu justru diambil sebagai rujukan, ini kan aneh,” pungkas Prihatno.

Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/01/29/1242011/Ditagih.Janji.Jokowi.Bagikan.9.Juta.Hektar.Lahan