Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai banyak potensi keunikan dan kearifan. Namun hingga kini Indonesia belum mempunyai satu peta utuh yang jelas batas-batasnya dan bisa diterima semua pihak.
Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Imam Hanafi mengakui kita memang belum memiliki satu peta. Bahkan belum memiliki peta dasar yang mencerminkan keunikan tentang masing-masing wilayah di Indonesia.
Jangankan peta untuk komunitas, peta dasar yang berupa peta desa pun mungkin baru sekitar 19% yang sudah selesai dibuat. Selebihnya masih berupa peta indikatif. Akhirnya terjadi tumpang tindih perizinan sehingga mengakibatkan konflik terjadi di mana-mana
Dalam konteks pengadaan data dan peta, kewenangan dan tanggung jawabnya ada di pemerintah. Ketika itu tidak ada, maka mau tidak mau masyarakat harus melakukan langkah inisiatif dengan membuat terobosan untuk membuat petanya sendiri. Itu mengapa kemudian muncul pemetaan partisipatif.
Pemetaan partisipatif turut mendukung menciptakan kebijakan satu peta. Sayangnya hal ini terkendala payung hukum yang melandasi pembuatan peta partisipatif, dan kebijakan wali data agar peta partisipatif bisa diintegrasikan dengan peta-peta lain di tingkat sektoral.
Berikut wawancara dengan narasumber Imam Hanafi.
Kita sudah lama melihat peta Indonesia, dari Sabang sampai Marauke. Apakah betul Indonesia belum mempunyai suatu peta utuh yang jelas batas-batas wilayahnya dan bisa diterima semua pihak?
Kalau kita bicara konteks Indonesia, negara ini relatif unik. Negara yang berupa kepulauan kemudian dipersatukan oleh laut. Indonesia mempunyai banyak potensi, keunikan, dan kearifan. Hanya saja saat bicara dalam konteks peta, kita memang belum memiliki satu peta.
Bahkan belum memiliki peta dasar yang mencerminkan keunikan tentang masing-masing wilayah di Indonesia. Jangankan peta untuk komunitas, peta dasar yang berupa peta desa pun mungkin baru sekitar 19% yang sudah selesai dibuat. Selebihnya masih berupa peta indikatif.
Mengapa Indonesia yang telah merdeka selama hampir 70 tahun belum mempunyai satu peta yang utuh?
Pasca kemerdekaan, kita mungkin disibukkan dengan beberapa kasus yang terkait dengan pertahanan, nasionalisasi, dan pertanahan. Kemudian masuk ke era pembangunan.
Di situ mulai dengan masuknya modal dari dalam dan luar negeri. Fokusnya adalah bagaimana peningkatan ekonomi Indonesia terjadi secara cepat.
Sementara itu aspek dasar dari sebuah pembangunan, proses pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut data base ketersediaan informasi dasar ini yang terlewati. Semua orang hanya fokus pada penguasaan antara hak individu perorangan dan negara.
Penguasaan ini juga didasarkan pada proses identifikasi yang tidak holistik karena kemudian tidak semua kasus pertanahan itu clear. Tidak semua informasi pertanahan itu jelas.
Salah satu contohnya adalah peta desa. Desa yang merupakan unit terkecil pemerintahan di daerah sampai saat ini masih banyak yang belum memiliki peta, sehingga terkadang informasi masih bisa di bilang “kiralogi†atau menggunakan ilmu kira-kira.
Lalu, apa dampaknya bagi masyarakat dengan belum adanya satu peta utuh, padahal peta tadi sangat penting sebagai informasi dasar?
Peta pertama kali ditemukan di Irak sekitar 1500-2500 tahun Sebelum Masehi (SM). Saat itu, peta dibuat untuk alat penguasaan. Dalam kebijakan institusi, diakui tentang bagaimana negara ini mengakui hakikat masyarakat berdasarkan sejarah tradisonal dan asal-usul.
Ketika informasi berupa peta ini tidak tersedia, khususnya peta informasi yang menggambarkan penguasaan ruang oleh komunitas, maka efeknya akan ada tumpang tindih, ketidakjelasan batas, menimbulkan konflik dan lain-lain.
Masyarakat selaku entitas inti dari sebuah negara, justru mereka yang tidak memiliki informasi tentang bagaimana mereka menguasai ruang, tidak ada informasi mengenai ruang-ruang yang merupakan hak kearifan.
Semua penentuan fungsi lahan oleh pemerintah. Akhirnya terjadi tumpang tindih perizinan sehingga mengakibatkan konflik terjadi dimana-mana.
Apa yang bisa kita lakukan agar kita sebagai masyarakat tidak terkena dampaknya?
Dalam konteks pengadaan data dan peta, kewenangan dan tanggung jawabnya ada di pemerintah. Ketika itu tidak ada, maka mau tidak mau masyarakat harus melakukan langkah inisiatif dengan membuat terobosan untuk membuat petanya sendiri.
Itu mengapa kemudian muncul pemetaan partisipatif. Itu adalah kondisi tentang masyarakat di kampung-kampung, yang membuat petanya sendiri. Mereka yang paling tahu sejarah, asal usulnya penguasaan lahan, serta bagaimana tata guna lahan ke depannya. Itu hanya masyarakat yang tahu.
Apakah masyarakat dibolehkan membuat peta sendiri?
Dalam konteks peran serta masyarakat dalam penataan ruang, itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Kemudian juga dalam konteks desa, ada dua Peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 27 Tahun 2006 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa.
Jadi hal itu diperbolehkan, dalam konteks masyarakat berpartisipasi memberikan informasi data spasial dan sosial yang menyangkut masyarakat itu sendiri. Ini seperti mengambil alih peran negara ketika masyarakat membuat petanya sendiri.
Jadi masyarakat boleh berpartisipasi dalam pembuatan peta. Apakah ini yang dimaksud dengan peta partisipatif?
Peta partisipatif itu adalah sebuah proses pembuatan gambar wilayah. Gambar ditarik bedasarkan titik garis dan poligon. Titik garis poligon itu merupakan titik, garis, dan poligon kesepakatan.
Jadi memang masyarakat yang membuat petanya sendiri. Informasi yang ada di dalam peta merupakan informasi yang berasal dari masyarakat, yang diambil berdasarkan sejarah asal-usul tanah dan komunitas itu.
Lalu apa saja isi dari peta partisipatif ini?
Pertama adalah batas wilayah, dalam konteks batas wilayah adat dan batas wilayah desa. Memang dalam kondisinya, ada masyarakat yang mengklaim dirinya sebagai masyarakat adat, ada juga yang mengklaim mereka masyarakat biasa atau desa.
Biasanya batas itu berisi tentang nama-nama tempat atau tempat-tempat, yang menurut masyarakat berdasarkan sejarahnya itu adalah batas. Kedua, mengenai informasi tata guna lahan.
Bagaimana masyarakat itu hidup, mengelola ruang hidup, mendapatkan sumber-sumber penghidupan. Itu adalah tematik tentang tata guna lahan. Di luar itu, masyarakat juga mempunyai peta tentang tempat-tempat keramat yang menyangkut kesejarahan.
Tempat keramat itu bisa berupa makam yang dikeramatkan atau tempat-tempat religi lain, yang bagi masyarakat mengandung nilai spiritual yang penting. Di luar itu, pemetaan partisipatif sifatnya luas dan tergantung kelompok-kelompok pengguna.
Bagaimana cara kita sebagai masyarakat biasa membuat peta paristipatif ini?
Sebetulnya kita punya beberapa kriteria. Yang paling sederhana adalah sketsa. Kemudian sedikit agak lebih maju, menggunakan kompas dan meteran. Walaupun itu belum memiliki koordinat, tapi paling tidak sudah memiliki skala. Kemudian masuk ke peta-peta modern.
Misalnya menggunakan Global Positioning System (GPS) dan Geographic Information System (GIS). Yang terpenting dalam proses pemetaan sebenarnya adalah bagaimana masyarakat lebih bersepakat.
Kesepakatan itu dibuat di tingkat lokal, baik di internal komunitas atau antar komunitas. Peta itu bukan soal menggambar wilayah saja, tapi menggambarkan kesepakatan sehingga tidak ada konflik.
Informasi itu didapat sevalid mungkin dari komunitas. Selebihnya tinggal masyarakat berkumpul menentukan rencana pemetaan. Apa saja yang dibutuhkan, siapa yang akan diminta untuk membantu, kemudian peta ini akan digunakan untuk apa. Itu hal-hal penting untuk didiskusikan di komunitas.
Tadi disebutkan bahwa salah satu cara membuat peta partisipatif bisa menggunakan kompas dan GPS. Pertanyaannya adalah apakah hasil peta parispatif ini sudah diakui oleh pemerintah?
Dalam konteks pengakuan, kita dalam proses bernegosiasi dan membangun persepsi bersama dengan pemerintah. Memang ada situasi yang responsif dan sporadis pada peta parispatif itu sendiri.
Ada beberapa daerah yang menerima, ada juga yang sifatnya masih wait and see. Kami khawatir, jangan-jangan peta paristipatif ini kemudian dianggap tidak sesuai oleh negara.
Misalnya dalam konteks dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), kami belum mendapatkan payung hukum atau legalitas mengenai pemetaan partisipatif.
Data peta partisipatif yang masuk ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan digunakan untuk usulan hutan desa atau hutan kemasyarakatan, itu tidak masalah.
Tapi kalau kita bicara konteks wilayah adat, disitulah kita mulai dipertanyakan metodologinya. Ini legal atau tidak, alat yang digunakan ini standar atau tidak, pelaku pemetaannya mempunyai lisensi atau tidak, dengan dalih ini terkait langsung dengan UU No.4/2011 tentang Informasi Geospasial.
Setelah membuat peta partisipatif, apa proses selanjutnya?
Peta partisipatif masih bersifat data dan informasi, sifatnya sepihak, milik masyarakat karena konteksnya untuk menyelesaikan konflik atau resolusi konflik. Jadi peta ini harus dikoordinasikan ke semua pihak khususnya pemerintah.
Pembuatan peta tidak sekadar untuk ditempel di dinding, tapi agar semua proses pengambilan keputusan, proses pengaturan mengacu kepada informasi di peta yang dibuat oleh masyarakat.
Hal ini diharapkan agar tidak terjadi adanya tumpang tindih karena semua mengacu pada peta partisipatif masyarakat. Misalnya, untuk perencanaan tata ruang wilayah atau dalam pemberian perizinan atau alih fungsi lahan.
Ketika peta selesai dibuat, maka masyarakat perlu bernegosiasi atau berkomunikasi dengan pihak pemerintah. Ini bertujuan untuk mendiskusikan bahwa ada situasi kemungkinan konflik atau ada situasi pembangunan yang tidak tepat sasaran.
Hal itu bisa disampaikan kepada pemerintah. Harapannya berdasarkan data yang dibawa masyarakat itu, akan muncul proses verifikasi terhadap proses penyelesaian konflik di lapangan.
Jadi setelah masyarakat membuat peta partisipatif harus dikomunikasikan, disosialisasikan ke pemerintah. Siapa yang harus menampung peta partisipatif ini. Kalau kita bicara konteks peta di Indonesia, sebenarnya penanggung jawab peta partisipatif berdasarkan UU tentang Informasi Geospasial adalah BIG.
Terkait dengan peta, salah satu informasinya adalah penguasaan ruang. Penguasaan ruang sifatnya sektoral, ada kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan lain-lain.
Ketika konteks peta dibuat masyarakat, kemudian negosiasi dilakukan untuk menyelesaikan konflik, maka yang dituju adalah pihak yang berwenang. Jika konfliknya dengan kawasan hutan, baik taman nasional, hutan lindung, hutan produksi, dan lain-lain, maka yang dituju adalah Menteri Kehutanan.
Sebaiknya hal ini diketahui semua pihak misalnya bupati, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) agar semuanya bisa paham dan mengerti posisi bila terjadi konflik.
Apakah pemetaan partisipatif bisa membantu kebijakan satu peta?
Sebetulnya dalam rakornas infrastruktur informasi geospasial pada 2012 yang diselenggarakan BIG sudah mengakomodir peta partisipatif. Hanya saja kita belum tahu secara pasti apakah peta partisipatif ini akan memerlukan wali data.
Wali data adalah pihak kementerian atau lembaga pemerintah yang mengelola dan menggunakan peta partisipatif, sehingga ketika peta tersebut diintegrasikan, ada pihak kementerian yang memang menggunakan data peta itu.
Menurut JKPP, siapa seharusnya yang menjadi wali data dalam hal ini?
Informasi pemetaan partisipatif mencakup wilayah adat, desa, hutan, kemudian ada juga perencanaan, sehingga memang agak sulit menentukan kira-kira peta partisipatif ini ada di kementerian mana. Tapi kalau bicara mengenai konteks wilayah desa, sebaiknya ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Perencanaan tata ruang desa mungkin akan masuk ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Ketika peta bersinggungan dengan kehutanan bisa jadi akan masuk ke KLHK.
Proses wali data ini penting. Selain adanya kelembagaannya, harus juga ada payung kebijakan. Jadi tidak disebutkan secara langsung bahwa Kemendagri atau KLKH yang menjadi wali data.
Tapi ada sebuah UU yang memayungi bahwa pemetaan partisipatif perlu didorong dan dilakukan di daerah-daerah. Masyarakat boleh melakukan pemetaan partisipatif untuk berkontribusi memenuhi data dan informasi spasial di Indonesia.
Legalitas ini yang dibutuhkan. Wali data bisa berupa kelembagaan atau sifatnya payung kebijakan, sehingga peta itu bisa masuk ke BIG untuk diintegrasikan dengan peta-peta yang lain di sektoral.
Jadi ketika peta partisipatif diintegrasikan dengan peta-peta yang lain, maka diharapkan terwujud kebijakan satu peta. Sampai mana tahap gerakan satu peta tersebut saat ini?
Gerakan satu peta secara nasional masih mencoba menyamakan persepsi antara kementerian, civil society organization (CSO) dan pihak-pihak lain termasuk dengan pemerintah daerah. Ini harus dilakukan karena persepsinya memang banyak, dan sangat interpretatif.
Sejauh ini kita baru mengomunikasikan ke pihak kementerian bahwa peta partisipatif ini penting. Peta partisipatif layak untuk diintegrasikan karena peta partisipatif adalah informasi langsung dari masyarakat. Informasi yang langsung diambil dari lapangan dan merupakan data primer.
Selanjutnya peta partisipatif akan disandingkan, di-overlay dengan peta-peta yang lain, maka ada proses identifikasi dan verifikasi. Setelah fixed, akan muncul satu peta yang bisa dijadikan sebagai referensi dan database bersama. Kemudian ini bisa ditampilkan dalam satu geoportal, sesuai dengan prinsip one map.
Mengapa sampai saat ini proses integrasi peta-peta yang beragam masih lamban untuk dilakukan. Apakah karena tidak ada lembaga khusus atau ada kendala lainnya?
Kami masih mencoba membangun persepsi dengan pihak pemerintah, khususnya terkait pemetaan partisipatif karena tidak semua pemerintah mengetahuinya. Kendalanya secara teknis ada di BIG karena berkaitan dengan metodologi pemetaan partisipatif.
Akibat belum diakui, metodologinya belum menjadi standar dan belum memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI). Kemudian alat-alat yang digunakan oleh para pemeta partisipatif cenderung sederhana, murah, dan mudah. Hal itu dianggap tidak qualified, tidak sesuai dengan standard BIG.
Produk pemetaan partisipatif masih memiliki perbedaan. Skala peta dasar BIG yang paling besar hanya 1:25.000, sementara pemetaan partisipatif bisa mencapai 1:5.000, 1:2.500.
Jadi dibutuhkan kesepahaman semua pihak. Dibutuhkan kebijakan pendukung lainnya, agar data pemetaan partisipatif bisa diintegrasikan ke dalam satu peta.
Agar bisa diintegrasikan tentu harus ada petugas atau orang yang menanganinya. Siapa yang bertugas menangani pengintegrasian tersebut saat ini?
Sejauh ini kami mencoba berkoordinasi dengan pihak kementerian, antara lain Kemendagri, KLHK, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Dari beberapa diskusi, memang belum merujuk pada satu lembaga yang akan menjadi eksekutor dari proses integrasi ini.
Walaupun seharusnya kalau mengikuti UU tentang Informasi Geospasial, “palu†itu ada di BIG. Namun kita perlu ingat bahwa proses one map adalah proses pelepasan dan verifikasi kawasan, sehingga tidak mudah bagi BIG mendudukkan KLHK dan Kemendagri.
Dari diskusi yang dikembangkan, kemungkinan petugasnya bukan lembaga tapi berupa payung hukum.
Misalnya Kemendagri menyatakan sebaiknya ada Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tentang integrasi peta, sehingga peta tidak berada di tangan salah satu kementerian atau lembaga, tapi berada pada semua orang dan menjadi tanggung jawab semua orang.
Hal ini bertujuan agar bersama-sama mengimplementasikan penyatuan peta data, sehingga ada satu data yang bisa dirujuk oleh semua orang tanpa konflik.
Jadi pemetaan partisipatif ini sangat penting bagi kita, juga sangat penting untuk gerakan one map, dan sangat membantu pemerintah. Kemana masyarakat jika ingin bisa melakukan pemetaan partisipatif?
Kalau di tingkat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemetaan partisipatif dikembangkan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Jadi bisa menghubungi JKPP karena JKPP punya anggota hampir di semua daerah. (*)
Sumber: http://m.padek.co/detail.php?news=23355