Memasuki 57 tahun paska diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960 atau yang biasa diperingati sebagai Hari Tani Nasional, situasi agraria di tanah air belum sepenuhnya lepas dari corak feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme. Situasi di atas tentu menjadi anomali, sebab UUPA 1960 merupakan mandat konstitusi Negara dalam rangka pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berlandaskan keadilan sosial sebagai amanat pasal 33 UUD 1945.
Dewasa ini, ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih ramai terjadi. Monopoli kekayaan agraria terjadi di hampir semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 % dikuasai korporasi kehutanan, 16 % oleh korporasi perkebunan skala besar, 7 % dikuasai oleh para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 % kekayaan nasional, dan 10 % orang terkaya menguasai 77 % kekayaan nasional.
Politik kebijakan agraria nasional semakin tidak bersahabat dengan petani, sebab tanah dan kekayaan agraria lainnya telah dirubah fungsinya menjadi objek investasi dan bisnis oleh pemerintah yang berkuasa. Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5 hektar dan tidak bertanah. Per-Maret 20017, sebanyak 17,10 juta penduduk miskin hidup di pedesaan dan ditandai dengan terus naiknya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. (BPS, 2017). Situasi ini telah berkontribusi besar meningkatkan angka pengangguran dan buruh murah di perkotaan akibat arus urbanisasi yang terus membesar.
Meskipun beberapa kali menjadi program kerja para penguasa, faktanya reforma agraria yang sejati sesuai amanat UUPA 1960 tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Seperti halnya dengan pemerintahan sebelumnya, Jokowi-JK juga telah memasukkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas kerja nasional yang terdapat pada butir ke-5 program Nawacita. Bahkan pada tahun 2016, Jokowi telah mengeluarkan Perpres No. 45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 yang menempatkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas nasional dalam pembangunan Indonesia.
Namun begitu, memasuki tiga tahun pemerintahannya, Jokowi-JK belum benar-benar melaksanakan reforma agraria sejati. Dari sisi kebijakan, walaupun sudah ada kemauan politik (political will), akan tetapi belumlah kuat. Indikasinya, Perpres Reforma Agraria sejauh ini masih belum ditandatangani. Sementara tuntutan untuk membentuk badan/lembaga otoritatif pelaksana reforma agraria malah dikerdilkan menjadi tim pelaksana reforma agraria yang berada di bawah Kementrian Kordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan dibagi ke dalam tiga Pokja yang diketuai oleh Kementrian LHK, Kementiran ATR//BPN, dan Kementrian Desa PDTT. Artinya reforma agraria hanya dimaknai sebagai persoalan ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek keadilan sosial.
Di sisi lain, terdapat beberapa kebijkan yang berpotensi membiaskan makna dari reforma agraria sejati. Misal, kebijakan Perhutanan Sosial (PS) yang diatur melalui Permen LHK No. 83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial yang kemudian diperbaharui melalui Permen LHK No. 93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Masalahnya, perhutanan sosial hendak dipaksakan masuk ke dalam skema reforma agraria. Perlu ditekankan, bawah reforma agraria dan perhutanan sosial mempunyai skema hukum yang berbeda dalam pelaksanaannya. Jika dalam reforma agraria salah satunya menguatkan secara legal formal hak atas tanah masyarakat, sebaliknya PS bisa menjadi kemunduran jikalau diterapkan pada wilayah yang sudah menjadi pemukiman, tanah pertanian dan fasilitas umum desa-desa. Mengapa demikian, mengingat adanya penegasan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara pada utusan MK 35, seharusnya masyarakat menegaskan hal tersebut bukan malah dipaksakan mengambil PS dengan kata lain mengakui status hutan negara di dalam wilayah adatnya. Melihat buruknya pengelolaan kawasan hutan selama ini oleh pemerintah, situasi ini berpotensi meneruskan konflik dan tumpang tindih klaim antara rakyat dengan pemerintah maupun korporasi swasta di wilayah kawasan hutan.
Situasi ini ditambah dengan keengganan KLHK untuk menerapkan skema reforma agraria di Jawa, Bali dan Lampung dengan alasan bahwa di tiga wilayah tersebut sudah kurang dari batas minimum 30 % kawasan hutan. Kebijakan ini dinilai sebagai standar ganda yang sedang ingin didorong pemerintah mengingat banyaknya izin-izin tambang, konsesi-konsesi perkebunan besar dan tanah-tanah terlantar Perhutani yang seharusnya ditertibkan malah dipertahankan.
Dari sisi pelaksanaan, tercatat redistribusi tanah yang berasal dari HGU habis, tanah terlantar, dan tanah Negara lainnya sejak tahun 2015 hanya seluas 182.750 hektar. Redistribusi melalui transmigrasi sejak 2015 tercatat hanya 32.146 hektar. Sementara redistribusi melalu pelepasan kawasan hutan masing urung terlaksanan sejauh ini. Justru legalisasi asset melalui proses sertifikasi yang menunjukkan kemajuan siginifikan yakni seluas 609.349 hektar hingga tahun 2015 tanpa melihat sisi penguasaan tanah terlebih dahulu. Artinya kebijakan ini justru melegitimasi ketimpangan penguasaan tanah.
Di tengah mandeknya dan biasnya pelaksanaaan reforma agraria tersebut. Perampasan dan kriminalisasi petani justru semakin marak terjadi. Dari tahun 2015 hingga 2016, telah terjadi sedikitnya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1.665.457 juta hektar dan mengorbankan 195.459 KK petani (KPA, 2015 dan 2016). Artinya, dalam satu hari telah terjadi satu konflik agraria di tanah air. Sementara, dalam rentang waktu tersebut sedikitnya 455 petani dikriminalisasi/ditahan, 229 petani mengalami kekerasan/ditembak, dan 18 orang tewas. Angka ini jauh berbanding terbalik jika dibandingkan dengan pelaksanaan reforma agrarian di era pemerintahan saat ini.
Perempuan menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan dari fenomena-fenomena perampasan lahan dan konflik agraria di atas. Laporan Solidaritas Perempuan tahun 2017 menunjukkan jumlah rumah tangga miskin dengan kepala keluarga perempuan mengalami kenaikan sebesar 16,12 % dari 14,9 % pada tahun 2014. Hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga maupun ekonomi keluarga berdampak kepada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan keluarga.
Tidak hanya perempuan, situasi ini juga telah berdampak buruk kepada masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Bukannya ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang lebih berkeadilan, mereka malah menjadi korban dari kebijakan maritime Jokowi-JK. Reklamasi, pertambangan, konservasi, dan pariwisata pesisir telah berubah menjadi mimpi buruk bagi masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Pusat Data dan Informasi KIARA tahun 2016 mencatat lebih dari 107.000 KK nelayan telah merasakan dampak buruk 16 proyek reklamasi yang tersebar di berbagai daerah. Masih di tahun yang sama, pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersebar di 20 wilayah di tanah air telah berkontribusi menghilangkan penghidupan masyarakat pesisir dan menghancurkan ekologi pesisir.
Dari jabaran-jabaran di atas, kami dari aliansi Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) untuk Hari Tani Nasional 2017 (HTN 2017) menilai bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat agraria. Oleh sebab itu, dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional tahun ini dan 57 tahun UUPA 1960, KNPA akan melakukan berbagai rangkaian kegiatan aksi di nasional dan daerah dalam rangka menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan beragam persoalan agraria tersebut.
Selain melakukan konferensi pers yang dilaksanakan pada hari ini, Minggu, (24/9). Senin tanggal 25 September 2015, kami akan mendatangi MPR RI untuk menuntut agar legislatif turut melaksanakan TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UUPA No. 5/1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria sebagaimana mandat konsitusi Negara, pasal 33 UUD 1945.
Selasa, tanggal 26 September 2017 dilanjutkan dengan mendatangi MK dan KPK untuk menuntut dua lembaga Negara tersebut agar segera melakukan penertiban terhadap UU yang dinilai bertentangan dengan hak konstitusional khususnya para petani serta menindak beragam tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor agraria, baik berupa penyalahgunaan wewenang, gratifikasi dan pemberian izin-izin diluar prosedur yang dilakukan pemerintah beserta perusahaan.
Di berbagai daerah turut pula merayakan HTN 2017 dengan tema bersama Indonesi Darurat Agraria, menuntut adanya penyelesaian konflik agraria di daerah masing-masing. Sedangkan puncak rangkaian aksi HTN 2017 ini adalah aksi turun ke jalan dengan estimasi 7000 massa aksi yang terdiri dari organisasi gerakan rakyat (petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, buruh, mahasiswa) dan organisasi masyarakat sipil lainnya menuju Istana Negara menuntut pemerintah Jokowi-JK melaksanakan reforma agraria yang sejati, yakni reforma agraria yang berlandaskan TAP MPR No. IX/2001, UUPA 1960, dan UUD 1945 sebagai pondasi dasar pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berkeadilan dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Demikian Siaran Pers ini, agar menjadi perhatian semua pihak
Jakarta, 24 September 2017
Hormat Kami,
A.n. Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)/Aliansi HTN 2017
Daftar Aliansi Hari Tani Nasional 2017
1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2. Serikat Petani Pasundan (SPP) 3. Serikat Tani Indramayu (STI) 4. Serikat Petani Majalengka (SPM)
5. Indonesian Human Rights Comittee for Social Justice (IHCS), 6. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), 7. Solidaritas Perempuan (SP), 8. Aliansi Petani Indonesia (API), 9. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), 10. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
(KNTI), 11. Sawit Watch (SW), 12. Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS), 13. Bina Desa, 14. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),
15. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), 16. Solidaritas Pemuda Desa untuk Demokrasi (SPDD), 17. Serikat Petani Indonesia (SPI)
18. Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP), 19. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 20. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN),
21. Sarekat Pengorganisasian Rakyat (SPR), 22. Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), 23. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK),
24. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), 25. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 26. Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif (AMANAT), 27. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, 28. Rimbawa Muda Indonesia (RMI), 29. Yayasan Pusaka, 30. Serikat Nelayan Indonesia (SNI), 31. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), 32. Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I), 33. Konfederasi Serikat Nasional (KSN), 34. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), 35. Sajogyo Institute (SAINS), 36. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS), 37. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, 38. Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, 39. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 40. Perkumpulan Inisiatif, 41. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jabar, 42. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
43. Gerbang Tani, 44. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), 45. Solidaritas Perempuan (SP) Jabotabek
46. Persatuan Petani Banten (P2B), 47. Jaringan Kerja Tani (Jakatani), 48. Serikat Tani Telukjambe Bersatu (STTB) Karawang, 49. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 50. Komite Perjuangan Rakyat (KPR), 51. Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD),
52. Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK), 53. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jabar, 54. Paguyuban Petani Cianjur (PPC), 55. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB), 56. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP), 57. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bandung,
58. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (HITAMBARA), 59. Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG), 60. Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (FARMACI), 61. Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat Tasikmalaya (FPMR), 62. Yayasan Petani Pasundan Indonesia (YP2I)
63. Serikat Pemuda Mahasiswa Nusantara (SPMN), 64. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jabar, 65. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), 65. Ciliwung Merdeka
Add Comment