Pemetaan Partisipatif

Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Adat Wilayah Sulawesi Selesai. Apa Hasilnya? (Bagian 1)

Dengar keterangan umum dalam inkuiri nasional regional Sulawesi. Foto: Christopel Paino

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah berhasil menyelesaikan dengar keterangan umum inkuiri nasional hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya di kawasan hutan regional Sulawesi. Kegiatan dengar keterangan umum itu berlangsung tiga hari, 27-29 Agustus 2014, di Aula Kantor Wilayah Hukum dan HAM Kota Palu. 

Ada lima komunitas masyarakat adat yang dimintai keterangan dalam inkuiri nasional. Tiga komunitas adat dari Sulawesi Selatan, yaitu masyarakat hukum adat Matteko, Desa Erelembang, Kecamatan Tombolopao, Kabupaten Gowa; masyarakat hukum adat Karunsi’e di Kampung Dongi, Desa Magani Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur; dan masyarakat hukum adat Barambang Katute, Desa Barambang, Kecamatan Bonto Katute, Kabupaten Sinjai. Sementara, dua dari komunitas adat di Sulawesi Tengah adalaah masyarakat adat Tau Taa Wana, Posangke, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali, dan masyarakat hukum adat Sedoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso.

Untuk pemangku kebijakan yang bersengketa dengan masyarakat hukum adat atas wilayahnya, Komnas HAM telah memanggil instansi terkait. Mereka adalah Direktorat Planologi Kementerian Kehutanan RI, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha Kementerian Pertanian RI, Bupati Gowa, Bupati Luwu Timur, Pemerintah Kabupaten Sinjai, Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Kepolisian Resor Gowa, Kepolisian Resor Banggai, Kepolisian Resor Poso, Brimob Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa, BPKH Palu, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai, DPRD Kabupaten Sinjai, Polres Sinjai, PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), PT. Inhutani I, dan PT. Vale Indonesia.

Hari pertama dengar keterangan umum itu, komisioner inkuiri yang terdiri dari Sandra Moniaga, Enny Soeprapto, Hariadi Kartodihardjo, dan Saur Situmorang, memintai keterangan dari masyarakat adat Matteko. Hari kedua, giliran masyarakat adat Tau Taa Wana dan masyarakat adat Karansie Dongi serta hari ketiga, mendengarkan keterangan masyarakat adat Barambang Katute dan masyarakat adat Sedoa. Yang menarik, panitia menyediakan sebuah tempat khusus yang tertutup kain biru bagi saksi korban yang tak ingin wajahnya terlihat. Bahkan, usai memberikan keterangan, masyarakat adat tidak bisa diwawancara. Hal ini dilakukan karena keamanan masyarakat adat itu sendiri. Wartawan yang meliput hanya bisa mengetahuinya lewat keterangan yang diberikan komisioner inkuiri.

Posisi duduk masyarakat adat juga ketika dengar keterangan umum ini berhadap-hadapan dengan para pemangku kebijakan yang ikut dimintai keterangannya. Namun modelnya, komisioner inkuiri nasional tidak mengkonfrontir keterangan kedua belah pihak. Komisioner hanya mengumpulkan informasi, data, dan fakta, serta sifat-sifat dan jangkauan atas indikasi pola pelanggaran HAM pada masyarakat hukum adat atas wilayahnya di kawasan hutan. Kemudian oleh para komisioner inkuiri akan dipelajari lagi.

Proses dengar keterangan umum

Masyarakat adat Matteko yang mendapat giliran pertama, bercerita mengenai kronologis hilangnya akses maereka untuk mengelola wilayahnya. Masyarakat hukum adat Matteko berada di Desa Erelembeng, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Secara geografis bentang wilayah Dusun Matteko berbukit-bukit dengan ketinggian antara 900-1.400 meter dari permukaan laut.

Seorang saksi korban mengatakan, pada tahun 1997, Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa menyarankan kepada masyarakat Matteko untuk melakukan penanaman pohon pinus. Dinas tidak hanya meminta menanami lereng gunung yang miring tapi juga termasuk menanami lahan-lahan yang agak datar yang biasa digunakan untuk berkebun. Penanaman pohon pinus menyebabkan hutan menjadi homogen yang berakibat pada ruang kelola masyarakat Matteko semakin terbatas untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

Ruang kelola masyarakat yang dibatasi ini akhirnya semakin legal ketika Kementerian Pertanian mengeluarkan surat keputusan dengan nomor: 760/kpts/Um/10/1982 tertanggal 12 Oktober 1982, terkait penunjukan areal hutan provinsi daerah tingkat I Sulawesi Selatan seluas kurang lebih 3.615.164 hektar. Kemudian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan kembali mengeluarkan surat keputusan nomor: 890/kpts-II/1999, tentang penunjukan kawasan hutan di wilayah provinsi daerah tingkat I Sulawesi Selatan seluas kurang lebih 3.879.771 hektar.

Dugaan pelanggaran hak terhadap masyarakat adat Matteko berlanjut ketika Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo menerbitkan surat rekomendasi terkait izin penyadapan getah pinus bernomor: 03/026/Ekonomi/2007, dilanjutkan dengan izin Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa nomor: 522.2/25/V/2007. Izin ini didapatkan oleh perusahaan penyadap getah pinus PT. Adimitra Pinus Utama hingga tahun 2018. Ini menjadi persoalan baru bagi masyarakat Matteko. Masyarakat menjadi ketakutan apabila ingin memanfaatkan pohon pinus yang sudah rebah atau ranting-ranting pohon untuk kebutuhan rumah tangga seperti dijadikan kayu bakar. PT. Adimitra Pinus Utama juga melakukan perusakan lingkungan karena dalam menyadap getah pinus menggunakan metode yang merusak pohon pinus dan membahayakan masyarakat yang melakukan penyadapan.

Namun sayangnya, pihak perusahaan PT. Adimitra Pinus Utama tidak menghadiri undangan Komnas HAM. Yang hadir hanyalah pemerintah terkait. Saat dimintai keterangan, Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan mengaku baru tahu kalau ada masyarakat adat Matteko. Menurutnya, selama ini yang ia tahu di Sulawesi Selatan hanya masyarakat adat Kajang di Kabupaten Bulukumba, dan masyarakat adat Seko di Kabupaten Luwu Utara.

“Mohon maaf sebelumnya bapak-bapak dan ibu-ibu. Mungkin karena ketidaktahuan saya. Saya baru tahu kalau ada masyarakat adat di Kabupaten Gowa. Yang saya tahu, masyarakat adat di Sulawesi Selatan itu hanya ada dua, Kajang dan Seko, itu saja,” kata Kepala Dinas Kehutanan kepada komisioner inkuiri nasional.

Usai mengatakan itu, sang kepala dinas melanjutkan penjelasan mengenai status kawasan hutan di Desa Erelembang, Kecamatan Tombolopao, tempat masyarakat Matteko hidup. Menurutnya, izin penyadapan pohon pinus kepada perusahaan tersebut berada dalam kawasan hutan. Perusahaan juga dalam klausul perjanjiannya menggunakan tenaga lokal yang bekerja menyadap pinus sebesar 80-90 persen.

Peserta dengar keterangan umum dari masyarakat adat dan pemangku kebijakan diperhadapkan, namun pendapat mereka tidak dikonfrontir. Foto: Christopel Paino

Hari kedua giliran mendengarkan keterangan umum masyarakat adat Tau Taa Wana. Dengar keterangan ini dilakukan tertutup. Komunitas adat ini bersengketa dengan perusahaan sawit PT. KLS (Kurnia Luwuk Sejati) milik taipan lokal Murad Husain. Mereka tidak berani berhadap-hadapan dengan aparat pemerintah, polisi, dan perusahaan. Sehingga dengar keterangan dilakukan di bilik yang tertutup kain biru.

Berdasarkan kronologis kasusnya, sengketa ini terjadi karena tumpang-tindih kepemilikan hutan antara pihak masyarakat adat Tau Taa Wana dengan PT. KLS yang mendapat hak guna usaha (HGU) dari pihak kehutanan. Sengketa dengan PT. KLS ini pula yang menyebabkan beberapa orang aktivis dan pendamping masyarakat ditangkap dan dihukum. Salah satunya adalah aktivis perempuan Eva Bande yang hingga saat ini masih mendekam di penjara Kota Luwuk, Kabupaten Banggai.

Fakta awal ditemukan bahwa telah terjadi perampasan tanah oleh pihak perusahaan yang melibatkan aparat penegak hukum dan militer. Diduga, telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman, hak atas keadilan, dan hak atas kesejateraan bagi masyarakat hukum adat Tau Taa Wana dan aktivis pendamping yang telah ditangkap.

“PT. KLS tidak punya peta kebun sawit di Morowali Utara yang menjadi wilayah adat Tau Taa Wana,” kata Andika, pendamping Tau Taa Wana ketika dengar keterangan umum.

Hal serupa juga diungkapkan oleh BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) Palu. Menurut mereka, di Morowali Utara tidak ada pelepasan kawasan untuk perkebunan sawit PT. KLS. Yang mereka tahu hanya ada di Kabupaten Banggai. Begitu pun dengan lokasi adat Tau Taa Wana, BPKH mengaku tidak tahu.

“Tugas pokok kami hanyalah penataan batas. Dan penataan batas sudah dilakukan sejak tahun 1986. Kami juga sudah tidak lagi berkunjung ke Cagar Alam Morowali. Karena itu kewenangan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam),” ungkap perwakilan BPKH.

Sementara itu, Direktur Umum PT. KLS, Yulius Tipa, mengatakan bahwa kebun sawit perusahaan mereka berada di Morowali, Desa Tarombo. Kalau ada orang Desa Tarombo dari komunitas adat Tau Taa Wana, katanya, maka ada masyarakat adat yang bekerja di perkebunan sawit. Dalam setiap harinya, sebanyak 1.500 buruh harian lepas bekerja di PT. KLS, dan 50 persennya adalah perempuan.

“Tapi, anak dibawah 16 tahun tidak kami pekerjakan,” kata Yulius.

Kepada Mongabay, Yulius mengaku izin yang mereka kantongi untuk wilayah Morowali Utara itu sejak daerah tersebut masih bergabung dengan Kabupaten Poso tahun 1999. Selain itu, katanya, izin HGU terus diperbarui. Ia juga membantah bahwa konsesi PT. KLS berada dalam wilayah adat Tau Taa Wana. Yang ada selama ini, PT. KLS hanya berada di lahan bekas transmigrasi.

Terkait dengan penangkapan aktivis perempuan Eva Bande, menurut Yulianus, memang pantas dihukum. Karena telah memprovokasi warga membakar 2 alat berat dan 1 kantor lapangan milik perusahaan.

“Total kerugian kami ketika itu Rp5 miliar. Jadi memang Eva Bande pantas dihukum,” katanya.

Setelah mendengarkan keterangan dari masyarakat adat Tau Taa Wana, dilanjutkan dengan keterangan masyarakat adat Karonsi’e Dongi. Komunitas adat ini terletak di Kelurahan Magani, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Komunitas ini mengalami pelanggaran hak sejak masa kolonial Belanda. Pelanggaran hak berlanjut paska kemerdekaan RI, yang diawali dengan banyaknya diantara mereka mengungsi karena pergolakan pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Kemudian pada masa awal pemerintahan  orde baru, PT. Vale Indonesia (dulunya PT. Inco), yang dibekingi oleh negara melakukan teror dengan tujuan perampasan lahan milik masyarakat Karensi’e di kampung Dongi. PT. Vale melakukan ekspolitasi sumber daya alam milik masyarakat Karonsi’e tanpa memberikan kompensasi apapun.

Pasca-pemerintahan orden baru, masyarakat Karonsi’e kembali ke Kampung Dongi yang merupakan tanah ulayat mereka walaupun masih dikuasai PT. Vale. Masyarakat mulai menduduki lahan yang telah terampas dengan mendirikan bangunan. Aksi mereka direspon pihak perusahaan dengan ancaman akan membakar rumah penduduk dan melakukan penangkapan terhadap enam orang masyarakat adat Karonsi’e oleh kepolisian. Saat ini keberadaan masyarakat adat Karonsi’e di Kampung Dongi telah diakui oleh pemerintah Kabupaten Luwu Timur dengan SK No.166. Pemerintah setempat pun telah membentuk tim penyelesaian kasus, namun sampai hari ini belum ada hasil yang dicapai dari kebijakan pemerintah tersebut. Pemerintah masih kurang merespon kasus ini sehingga masih terjadi konflik hingga saat ini.

“Dulu kaum perempuan bekerja menganyam, mengambil hasil di lahan kami. Pohon yang kami tanam itu durian, mangga, atau bambu. Tapi sekarang lahan sudah dijadikan perumahan dan lapangan golf. Dan perempuan sekarang kerja jadi pembantu, mencuci kain, menjaga anak di Sorowako. Saya sekarang kerja sebagai pemulung sampah-sampah plastik milik perusahaan PT. Vale,” kata salah seorang warga.

“Harapan kami, kembalikan tanah adat kami. Kami sering disebut pencuri, tapi merekalah sebenarnya yang telah mencuri tanah kami.”

Basri Kamba, Direktur Eksternal PT. Vale menjelaskan bahwa kontrak karya PT. Inco kemudian berganti menjadi PT. Vale sudah ada sejak tahun 1968. Untuk pembangunan fasilitas seperti perumahan dan lapangan golf dibantu oleh Pemda setempat melalui pembebasan lahan. Perusahaan menurutnya tidak pernah melakukan tindakan represif untuk menggusur masyarakat. Perusahaan mengaku penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah dan mufakat dan dibantu oleh pemerintah.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/09/04/inkuiri-nasional-hak-masyarakat-adat-wilayah-sulawesi-selesai-apa-hasilnya-bagian-1/