Inkuiri nasional Komnas HAM di Kantor Hukum dan HAM Sumatera Utara, Medan selama tiga hari, menghadirkan sekitar 12 tokoh masyarakat adat dari wilayah Sumatera.
Kesaksian mereka didengarkan oleh perwakilan pemerintah baik kabupaten dan kota maupun provinsi, aparat penegak hukum seperti kepolisian, pakar, sampai akademisi serta dari kalangan NGO. Pemerintah daerah juga dimintai keterangan terkait konflik lahan masyarakat adat di lima provinsi ini. Dari kesaksian 12 komunitas adat ini terlihat dampak kebijakan pemerintah yang menghilangkan wilayah kelola masyarakat.
Kala para tokoh adat bersaksi, bak sidang peradilan umum, komisioner Komnas HAM, fokus mengorek informasi yang mereka perlukan.
Haposan Sinambela, dan Opung Putra, dua masyarakat adat dari Desa Pandumaan dan Sipatuhuta di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut, pertama didengarkan keterangannya. Dua desa ini masih berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari, karena izin konsesi dari pemerintah masuk wilayah adat mereka.
Sinambela, juga pendeta memberikan penjelasan dan memaparkan berurutan, bagaimana konflik terjadi, dan bagaimana masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, bertahan menjaga hutan adat agar tidak dirusak TPL..
“Masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta sudah ada sebelum republik ini berdiri. Kami menjaga hutan tetap subur, dan mengelola dengan tidak merusak, yang berdampak pada hutan hancur, satwa marti. “Termasuk hutan haminjon, rusak, selama turun temurun dikelola buat menambah ekonomi masyarakat.â€
Sedang Opung Putra, bercerita bagaimana peristiwa kekerasan dan teror terjadi di desa mereka, karena menolak hutan kemenyan hancur dan berganti pohon ekaliptus milik TPL. Tak pelak pohon penyimpan air berkurang hingga kekeringan.
“Terjadi pelanggaran HAM ketika kami menolak hutan kemenyan dihancurkan TPL. Brimob datang menggunakan senjata api, letusan, penangkapan, penyekapan terhadap perempuan dan anak terjadi, †kata Putra, sambil menghusap airmata yang menetes di pipinya yang mulai berkerut.
Wina Khairina, direktur Hutan Rakyat Institue (HaRI), mengatakan, hari pertama inkuiri nasional mendengarkan keterangan masyarakat adat Pandumaan- Sipituhuta di Sumut dan Desa Margo Semende Nasal di Bengkulu.
Kesimpulannya, ditemukan kebijakan negara berdampak tanah kelola masyarakat adat hilang di dua wilayah Sumatera ini.
Dari inkuiri ini, diduga terjadi pelanggaran atas hak akses budaya, untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam, hak atas pemulihan (redress) yang adil untuk sumber penghidupan dan pembangunan dirampas. Lalu, hak tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau digunakan atau warisi. Juga terjadi pelanggaran hak mendapatkan akses kepada keputusan cepat melalui cara-cara adil dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan dengan negara atau dengan pihak lain. “Juga perampasan tanah kelola masyarakat adat melalui kebijakan negara,†katanya.
Sedangkan kasus Masyarakat Adat Margo Semende Nasal, juga dihadirkan dalam inkuiri  ini. Akar masalah, konflik pertanahan antara masyarakat adat ini, dengan Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.Â
Konflik dalam bentuk perebutan lahan karena terbit sejumlah peraturan dari 1982 sampai 2007, terkait penetapan TNBBS, secara sepihak tanpa benar-benar melibatkan mayarakat, dan memperhatikan realitas sosial masyarakat disana.
Dari keterangan masyarakat adat juga terungkap pemberian label ‘perambah hutan’ oleh BTNBBS, Kepolisian Resort Kaur, dan Pemerintah Kabupaten Kaur, menyebabkan tindakan kekerasan mulai intimidasi atau ancaman, pembakaran rumah dan lahan pertanian, penangkapan secara paksa. Bahkan vonis penjara.
Masyarakat Margo Semende Nasal, katanya, terancam kehilangan tanah adat, pemukiman, dan kehilangan lahan pertanian. “Potensi kehilangan adat istiadat juga sangat besar.â€
Dari inkuiri ini diduga terjadi pelanggaran hak mendapatkan perlindungan reputasi, karena dituduh perambah hutan, hak persamaan di depan hukum, hak sebagai subyek hukum, hak atas keamanan dan integritas pribadi. Juga hak mendapatkan perlindungan reputasi, hak menikmati kondisi hidup memadai, terutama yang berhubungan dengan perumahan. Lalu, hak rasa aman dan hak perlindungan oleh negara dari kekerasan.
Bungaran Antonius Simanjuntak, Pakar Antropologi Sosial dan Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed), menyikapi putusan MK 35, yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara.
Bungaran mengatakan, putusan MK ini harus terealisasi di lapangan hingga menyelesaikan konflik-konflik yang ada.
Fakta perampasan hak-hak masyarakat adat telah berlangsung sejak lama, tanpa ada penyelesaian adil  karena kebijakan negara pro pemodal. Korupsi di jajaran lembaga negara pun menggila, seperti di Kementerian Kehutanan.
“Putusan MK ini, makin menguatkan fakta buruk ada pengelolaan salah dalam mengatur hutan negara. Hutan adat selama ini diklaim milik negara. Reformasi birokrasi dan penuntasan korupsi di tubuh instansi pemerintahan perlu segera,†kata Bungaran.
Sedangkan Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM, menambahkan, perlu ada mekanisme yang baik menindaklanjuti keputusan MK Â ini. Dalam momentum kepemimpinan nasional yang baru, tim nasional inkuiri dipimpin Komnas HAM, akan mengusulkan kepada para pengambil kebijakan, terutama Presiden untuk harmonisasi atas berbagai peraturan perundang-undangan. Juga mengkaji dan revisi UU agraria, karena tidak mungkin ada penyelesaian adil tanpa pembenahan hukum.