a
Jakarta — Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengajak Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar mengintegrasikan pemetaan partisipatif ke dalam kebijakan Satu Peta (one map policy) yang telah diinisiasi pemerintah sejak era kepemimpinan mantan Presiden SBY.
Juru bicara JKPP Adi Syaputra di Jakarta, Jumat (20/3/2015), mengatakan bahwa pemetaan partisipatif yang merupakan proses pemetaan dilakukan sendiri oleh masyarakat secara partisipatif telah dilakukan di Indonesia sejak era tahun 1990-an.
Hingga tahun 2014 data pemetaan partisipatif yang telah terkonsolidasikan mencapai 5,6 juta hektare (ha) yang meliputi 24 provinsi, 81 kabupaten, 148 kecamatan dan 300 desa serta terdiri dari 228 wilayah adat.
JKPP dan koalisi berharap bahwa hasil pemetaan partisipatif yang dibuat oleh masyarakat akan dijadikan referensi data spasial dan sosial terkait wilayah kelola rakyat. Serta menjadi acuan penyelesaian konflik agraria, pengaturan ruang dalam perencanaan dan pembangunan ruang di daerah.
Audiensi telah dilakukan antara tim BPN dengan tim JKPP yang melibatkan koalisi dari Sawit Watch, Rimbawan Muda Indonesia, Sajogyo Institute, Epistema Institute, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Eksekutif Nasional WALHI, Perkumpulan HuMA, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yayasan PUSAKA, Kosorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), BRWA, dan Yayasan Perspektif Baru.
JKPP, menurut Adi, mengharapkan produk dan metodologi pemetaan partisipatif dapat diakomodir melalui payung kebijakan nasional yang menjadi ladasan semua pihak. JKPP mendorong kejelasan wali data (custodian) dalam pengelolaan dan penggunaan peta partsipatif dari level nasional hingga daerah seperti yang diatur dalam Perpres Nomor 27 Tahun 2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN).
Menurut dia, ada dua persoalan utama yang melatarbelakangi dialog pentingnya pemetaan partisipatif. Karena saat ini 81 persen wilayah kelola masyarakat yang kami petakan tumpang tindih dengan kawasan hutan dan sebagiannya tumpang tindih dengan perizinan seperti perkebunan dan tambang.
Persoalan utama lainnya, menurut dia, terus meningkatknya jumlah konflik agraria setiap tahunnya. Kondisi tersebut tersebut terus meningkat seiring dengan tumpang tindihnya wilayah kelola masyarakat dengan kawasan hutan dan perizinan pertambangan maupun perkebunan.
Berdasarkan data konflik agraria dari KPA sepanjang tahun 2013 menunjukkan bahwa telah terjadi ratusan konflik dengan rincian 180 kasus di bidang perkebunan, 125 kasus di bidang infrastruktur, 38 kasus di bidang pertambangan, 31 kasus di bidang kehutanan, 9 kasus di bidang pesisir/kelautan, dan 6 kasus lain-lain.
Kepala Deputi Survey dan Pemetaan BPN Irawan Sumarto mengatakan bahwa berbagi informasi dengan JKPP merupakan kesempatan baik karena pihaknya saat ini kesulitan karena tidak memiliki data-data wilayah adat.
Sementara itu, Direktur Pemetaan Dasar BPN Rowland Sijabat mengatakan informasi ini sangat berharga sekali bahwa telah dilakukan pemetaan 5,6 juta ha. Namun demikian metode pengolahan dan penyajian datanya mungkin perlu kembali didiskusikan.
Meskipun masih data awal, namun data memang sangat diperlukan BPN karena salah satu target BPN ialah pada 2019 harus selesai melakukan pematokan dan pengukuran sekitar 189 ribu hektar kawasan hutan.
Sumber : http://lampost.co/berita/